Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ibadah Puluhan Tahun yang Sia-Sia

Ibadah Puluhan Tahun yang Sia-Sia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (visokoin.com)
Ilustrasi. (visokoin.com)

dakwatuna.com – Tidak sedikit dari umat muslim, lebih banyak memperhatikan sesuatu dari luarnya. Menilai kualitas orang dari kekayaan, pekerjaan, kecantikan, dan sebagainya. Tak terlepas dari itu, bahkan kita hanya melihat sisi luar ibadah yang selama ini kita dirikan, Shalat, Zakat, Puasa, bahkan Haji telah tuntas kita kerjakan sesuai dengan tuntunan yang diajarkan agama melalui bab Fikih Ibadah.

Selama ini, kita telah menunaikan kewajiban sebagai muslim, yang kita anggap sebagai tabungan akhirat kelak. Mungkin dalam benak, kita akan bertanya-tanya: Seberapa beratkah timbangan amalan yang kita tabung? Berapa derajat pahalakah yang akan kita peroleh? Itulah pertanyaan umum yang sering kita khayalkan. Berangan mendapat pahala yang layak atas amalan di dunia untuk akhirat kelak. Namun, ada satu hal penting yang sebenarnya kita lupakan, yaitu: diterimakah amalan kita selama ini? Atau justru malah saldo tabungan akhirat kita secuil, padahal sudah merasa melakukan banyak ibadah. Atau bahkan saldonya minus? Yaa lalkhosaaroh!

Tersebut dalam sebuah hadits Nabi Saw di Arbain Nawawi hadits ke 4, riwayat Abdullah bin Mas’ud r.a.:”Dan sungguh seseorang dari kalian akan ada yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan surga kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka dan ada juga seseorang yang beramal hingga dirinya berada dekat dengan neraka kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdir) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga”.

Syeikh Usamah Al-Azhari dalam sebuah muhadoroh berkata:

Poin penting yang tersirat dalam hadits ini yang sering terlupakan oleh banyak orang adalah, perbedaan antara amal perbuatan, dan apakah amal tersebut diterima atau tidak.

Dalam hadits disebutkan orang tersebut mengerjakan perbuatan ahli surga hingga saat usianya senja mendekati kematian, lalu ia mengerjakan amalan ahli neraka, dan masuk ke neraka. Apakah ia terzolimi?

Sebenarnya amal perbuatannya selama itu tidak diterima. Karena ia tidak memperhatikan perbedaan antara amal yang sahih dan amal yang diterima. Betapa sedikit orang yang memperhatikan “apakah amalnya diterima atau tidak”. Sebaliknya, kebanyakan hanya memperhatikan sahih tidaknya amal perbuatan. Lalu ia hanya mengerjakan amal shalih, layaknya shalat fardhu. Setelah itu ia lupa, apakah amalnya diterima Allah atau tidak. Maka tidak mustahil seorang hamba beribadah seperti itu selama 40 sampai 50 tahun tanpa tau amalnya diterima atau tidak. Tidak mustahil pula, di akhir hayatnya, ia justru mengakhirinya dengan perbuatan ahli neraka yang terhina. Nauzubillah!

Dari sini, ternyata, perhatian kita terhadap syarat sebuah ibadah diterima atau tidak, jauh lebih penting ketimbang mengerjakan ibadah itu sendiri. Yaitu, sebelum beramal shalih, wajib hukumnya memperhatikan syarat diterimanya sebuah amal shalih. Apa syarat diterimanya sebuah amal shalih? Bilmitsal yattadhihul maqol!

Contoh, Shalat. Dalam sebuah hadits qudsi riwayat Ibn Abbas yang ditulis oleh Bazzar, Rasul bersabda: Allah berfirman: “Aku menerima shalat hambaKu yang berendah diri karena kebesaranKu, yang tidak buruk perkataannya terhadap makhlukKu, tidak terbiasa berbuat maksiat/fasiq,   menyempatkan waktunya untuk berzikir padaKu, dan menyayangi orang miskin, ibnu sabil, janda, dan orang yang mendapat musibah”

Artinya, shalat yang tidak makbul bukan berarti Shalatnya tidak sah. Karena, Shalat seorang muslim bisa jadi Sahih sesuai hukum Fikih dengan memenuhi syarat sahnya Shalat, namun Shalatnya tidak makbul karena tidak memenuhi syarat diterimanya sebuah amal ibadah.

Shalat seorang hamba yang hanya memperhatikan kesahihannya, tanpa peduli apakah shalatnya sudah memenuhi syarat makbul atau tidak, maka ia akan sangat merugi. Tersebut dalam hadits qudsi di atas, syarat Shalat yang makbul adalah “yang tidak buruk perkataannya”. Artinya, selain mengerjakan Shalat fardhu, ia juga memperhatikan bagaimana ia bermuamalah dengan orang lain. Menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak menzolimi orang lain dengan melakukan hal-hal yang diharamkan seperti ghibah, mencela, hasad, mengadu domba dan sebagainya. Tak hanya itu, ia juga harus mampu menjaga diri agar tidak terbiasa bermaksiat yang dapat menyebabkan Shalatnya tidak diterima Allah. Hal-hal maksiat itulah yang menutupi terkabulnya do’a dan Shalat seorang hamba. Sehingga jika ada seorang hamba yang berbuat demikian, Shalat dan beribadah selama puluhan tahun namun tetap bermaksiat kepada Allah atau menzolimi orang lain, maka saat ia mengira amalan ibadahnya telah terkumpul, ternyata yang ia dapatkan hanya timbangan kosong. Lantaran ibadahnya tidak diterima oleh Allah selama hidupnya kecuali hanya sedikit saja. Semoga kita termasuk muslim yang tidak hanya memperhatikan ibadah dari segi kesahihannya saja, namun juga memperhatikan segi diterima atau tidaknya ibadah itu oleh Allah. Sehingga waktu dan usia yang kita habiskan selama puluhan tahun tidak akan terbuang sia-sia. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa pasca sarjana Universitas Al-Azhar jurusan Hadits. Lulusan pelatihan fatwa Dar al-Ifta Mesir 2016. Aktif di dunia broadcasting sejak 2008 akhir hingga sekarang. Suka menulis artikel Islami di media sosial atau blog. Domisili sekarang di Mesir.

Lihat Juga

Launcing Rumah Quran Nusantara di Kotawaringin Barat

Figure
Organization