Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Tentang Usia Pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tentang Usia Pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Assalamu ‘Alaikum, Ustadz .., apa benar hadits yang menyebut bahwa ‘Aisyah menikah usia enam tahun adalah dhaif? Padahal itu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, saya baca artikel yang mengatakan itu. Penulisnya bilang ada beberapa alasan:

  • Karena semua hadits dalam sanadnya ada Hisyam bin ‘Urwah, seorang yang terpercaya tapi ketika di Iraq hadits darinya tidak lagi bisa dipercaya, dan hadits pernikahan tersebut termasuk yang dia riwayatkan setelah tinggal di Iraq.
  • Katanya juga, Imam Bukhari dan Imam Muslim telah menggampangkan masalah ini karena menurut mereka ini bukan masalah hukum halal haram jadi tidak apa-apa sanadnya dikendurkan, sehingga Hisyam bin ‘Urwah pun diambil riwayatnya.
  • Lalu, sepertinya si penulis menyalahkan kedua imam ini, katanya riwayat nabi menikahi ‘Aisyah di usia enam tahun adalah fitnah yang keji terhadap nabi dan tidak rasional
  • Penulisnya menyebut inilah sebab orientalis barat menyerang kepribadian nabi pada abad ini dengan menyebut nabi Pedofilia.

Jadi sebenarnya bagaimana? (Hamba Allah)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Ada satu hakikat yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun dalam mendiskusikan masalah ini, yaitu perbedaan pendapat para pakar tentang berapakah usia ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha ketika menikah dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukanlah perbedaan dalam perkara aqidah yang pokok, dasar-dasar agama, dan bukan pula domain untuk mengeluarkan seseorang dari Islam. Bukan hanya masalah ini, para imam pun tidak ada kata sepakat dan final dalam memastikan kapan tanggal, bulan, dan tahun pasti tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, walau di sisi lain mereka sepakat lahirnya di hari Senin dan di tahun Gajah. Mereka juga tidak ada kata sepakat tentang kapan peristiwa Isra Mi’raj terjadi secara pasti, dan sebagainya. Oleh karenanya, perbedaan seperti ini –bukan hanya jangan menimbulkan fitnah saling mengkafirkan- tetapi jangan sampai menodai kehormatan para imam yang memiliki pendapat lain terhadap lainnya.

Sangat tidak pantas jika generasi kemudian menyalahkan amirul mu’minin fil hadits, Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim, dua imam hadits yang karya mereka berdua (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) diakui kitab paling shahih setelah Al Quran, dengan menuduh mereka sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas fitnah kaum kafirin masa modern karena telah meriwayatkan kisah pernikahan tersebut. Kaum kuffar memfitnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pengidap Pedofilia (Seorang yang orientasi seksualnya kepada anak-anak), hanya karena Beliau menikahi ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha saat masih enam tahun (atau tujuh tahun)!

Tegas kami katakan, ada atau tidak ada riwayat tersebut, ada atau tidak ada kisah-kisah lainnya yang dianggap kontroversi, bukankah memang mereka selalu memfitnah kaum muslimin dan nabinya sepanjang zaman? Bukankah memang sejak awal fajar Islam mereka menuding Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan segala macam fitnah? Janganlah karena ingin meredakan fitnah mereka, akhirnya kita berapologi dengan bermuka manis untuk mereka, sambil basa basi ikut-ikutan menyalahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, serta imam-imam muhadditsin lainnya yang menshahihkan hadits itu?

Seandainya hadits tentang ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menikah di usia enam tahun adalah dhaif bahkan palsu, apakah kaum kuffar akan berhenti memfitnah Islam dan kaum muslimin? Bahagiakah mereka? Puaskah? Tidak, Karena kebencian terhadap risalah Islam sudah mendarah daging dan beragam upaya mereka lakukan untuk memadamkan cahaya agama Allah ini.

Tudingan bahwa riwayat tersebut tidak rasional, lalu dengannya juga menjadi sebab penolakannya, maka sudah berapa banyak rasio manusia menjadi tolok ukur keautentikan sebuah hadits? Haruskan hadits itu dicocokkan dulu dengan akal dan tradisi, barulah shahih, kalau tidak cocok maka tidak shahih? Terburu-buru menolak hadits shahih, yang telah diyakini sedemikian panjang para imam dari zaman ke zaman, hanya karena bertentangan dengan akal dan tradisi manusia zaman sekarang, adalah perbuatan yang melampaui batas. Apalagi sampai menuduh pihak lain dengan sebutan taklid, bodoh, dan..?

Banyak hal-hal yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan/atau Imam Muslim, yang menurut akal manusia tidak rasional. Seperti butanya mata malaikat maut karena dicolok oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam pada saat Nabi Musa hendak dicabut nyawanya, perdebatan antara Nabi Adam dan Nabi Musa ‘Alaihismassalam tentang sebab apa Nabi Adam dikeluarkan dari surga, Nabi Muhammad melihat Nabi Musa sedang shalat di dalam kuburnya, ibu yang membunuh bayinya maka si ibu dan bayinya masuk ke neraka; apa salah bayinya? …….. Dan masih banyak lagi, apakah serta merta semua ini langsung didhaifkan? Apalagi hanya karena takut difitnah oleh orientalis barat, lalu supaya mereka tidak menuding lagi maka kita katakan secara apologetic: “Sudah ya jangan fitnah kami lagi, kan hadits yang kalian jadikan alasan menyerang Islam itu ternyata dhaif lho!?”

Sesungguhnya, menggunakan hadits dhaif sama juga memasukkan ke dalam Islam sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Sebagaimana terburu-buru mendhaifkan hadits shahih sama juga menghapuskan sesuatu yang merupakan sebenarnya dari Islam.

Selanjutnya….

Hadits yang ditolak itu…..

Berikut ini hadits yang dimaksud:

حَدَّثَنِي فَرْوَةُ بْنُ أَبِي الْمَغْرَاءِ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَج …..

(Imam Bukhari berkata) berkata kepadaku Farwah bin Abu Al Maghra’, berkata kepada kami Ali bin Mushir, dari Hisyam (bin ‘Urwah), dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami mendatangi Madinah dan kami singgah di Bani Al Harits bin Khazraj ………. dst. (HR. Bukhari No. 3894)

Riwayat lain:

وَنَكَحَ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ثُمَّ بَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Nabi menikahi ‘Aisyah dan dia adalah seorang gadis berusia enam tahun kemudian dia membina rumah tangganya pada saat usia sembilan tahun. (HR. Bukhari No. 3896, dengan sanad: ‘Ubaid bin Isma’il, Abu Usamah, Hisyam bin ‘Urwah, dan ayahnya yakni ‘Urwah bin Az Zubeir)

Dalam riwayat Imam Muslim:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

Nabi Shallallahu ‘Alaihiw wa Sallam menikahiku saat itu aku berusia enam tahun, dan Beliau membina rumah tangga denganku saat aku sembilan tahun. (HR. Muslim No. 1422, dengan dua sanad: Pertama, Yahya bin Yahya, Abu Mu’awiyah, Hisyam bin ‘Urwah, sanad kedua, Ibnu Numair, ‘Abdah bin Sulaiman, Hisyam bin ‘Urwah, ayahnya, ‘Aisyah)

Semua riwayat di atas melalui Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, lantaran Hisyam inilah hadits ini menjadi dhaif menurut mereka.

Siapa Hisyam bin ‘Urwah Radhiallahu ‘Anhu?

Beliau adalah Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubeir bin ‘Awwam bin Khuwalid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay bin Kilaab. Ibunya berasal dari Khurasan, yakni Shaafiyah. Kun-yah beliau adalah Abu Al Mundzir, ada juga yang mengatakan Abu Bakar Al Qursyi Al Madini.

‘Amru bin ‘Ali berkata: Hisyam bin ‘Urwah dilahirkan pada tahun 61 H.

‘Amru bin ‘Ali juga berkata: dari Abdullah bin Daud: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku seusia dengan Umar bin Abdul Aziz.

Beliau juga berkata: aku mendengar Waki’ berkata: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku pernah berjumpa dengan Abdullah bin Jabir dan Abdullah bin Umar, masing-masing keduanya memiliki ilmu yang melimpah.

Abu Hatim berkata: Dia adalah imam yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.

Yahya bin Ma’in mengatakan: Beliau wafat di Baghdad pada tahun 146 H. (Diterangkan oleh Imam Abul Walid Sulaiman Khalaf Al Baji, At Ta’dil wat Tajrih, 3/1333, No. 1398)

Abu Nu’aim mengatakan bahwa Hisyam wafat 145 H, Adz Dzuhli dan Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan seperti Abu Nu’aim. Yahya bin Bakir menyebut 146 H. Sementara ‘Amru bin ‘Ali menyebutkannya wafat 147 H. (Lihat Rijaal Shahih Al Bukhari, 2/770)

Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad mengatakan, bahwa Hisyam adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Sa’ad menambahkan bahwa hadits dari Hisyam banyak, kuat dan hujjah. Sedangkan Ya’qub bin Syaibah mengatakan Hisyam adalah orang yang tsiqah tidak ada yang diingkari darinya kecuali riwayat setelah dia pergi ke Iraq. Abdurrahman bin Kharrasy mengatakan bahwa Malik tidak menyukai riwayat Hisyam yang berasal dari penduduk Iraq. Yahya bin Ma’in dan jama’ah mengatakan tsiqah. Ali bin Al Madini mengatakan dia memiliki 400 hadits. Adz Dzahabi sendiri menyebut lebih dari 1000 hadits. Banyak manusia yang mengambil hadits darinya seperti Syu’bah, Sufyan Ats Tsauri, Malik, dan banyak lagi. (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala, 6/45-47, Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 11/45. Al ‘Ijli, Ma’rifah Ats Tsiqaat, No. 1906).

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutnya sebagai orang yang tsiqah dan faqih, hanya saja barangkali dia melakukan tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, No. 7302)

Beliau dituduh mengalami kekacauan hafalan pada akhir hayatnya, khususnya ketika di pindah ke Iraq, namun hal itu telah dikomentari oleh Imam Adz Dzahabi –dalam Mizanul I’tidal- sebagai berikut:

“Dia adalah salah satu tokoh besar (Al A’laam), hujjah lagi imam, tetapi di usia tuanya hafalannya berkurang, namun selamanya tidak pernah mengalami kekacauan! Jangan hiraukan apa yang dikatakan Abul Hasan bin Al Qahththan yang menyebutkan bahwa Beliau dan Suhail bin Abu Shalih hafalannya menjadi kacau dan berubah. Betul! Seseorang akan mengalami perubahan sedikit pada hafalannya, dan tidak lagi sama sebagaimana ketika dia masih muda, maka wajar dia lupa pada sebagian hafalannya atau mengalami wahm (ragu), dan itu apa salahnya! Apakah dia ma’shum (terjaga) dari lupa?

Ketika Beliau datang ke Iraq di akhir hidupnya, dia banyak sekali membawa ilmu ke sana, bersamaan dengan itu dia juga membawa sedikit hadits-hadits yang tidak bagus, hal seperti ini juga dialami oleh para imam besar terpercaya seperti Malik, Syu’bah, dan Waki’, maka tinggalkanlah olehmu menikam para imam yang mengalami itu dengan menyebut mereka sebagai orang-orang dhaif dan kacau, dan Hisyam adalah seorang Syaikhul Islam.” (Mizanul I’tidal, 4/302. Lihat juga Imam Ibrahim bin Muhammad bin Khalil Ath Tharablusi, Al Ightibath Lima’rifati Man Ramaa bil Ikhtilath, Hal. 68, No. 98)

Imam Adz Dzahabi juga membela Hisyam bin ‘Urwah dalam kitabnya yang lain, katanya:

“Aku berkata: secara mutlak dia adalah seorang yang terpercaya, jangan hiraukan apa yang dikatakan oleh Al Hafizh Abul Hasan bin Al Qaththan bahwa dia (Hisyam) dan Suhail bin Abu Shalih hafalannya menjadi kacau dan berubah. Sebab seorang yang haafizh dia akan berkurang hafalannya ketika usia tuanya serta terbatas kecerdasannya. Keadaannya ketika sudah tua tidak akan sama dengan ketika masih muda. Tidak ada seorang pun yang terjaga dari lupa, dan tidak pula perubahan itu membawa mudharat. Yang membawa mudharat itu jika dia mengalami kekacauan (ikhtilath) dalam hafalannya, sedangkan Hisyam sedikit pun tidak mengalaminya. Maka, ucapan Ibnul Qaththan bahwa Hisyam telah kacau hafalannya adalah ucapan yang tertolak dan buruk.

Saya melihat para imam besar pun mengalami kesalahan dan wahm (ragu). Lihatlah Syu’bah, ketika sudah beruban dia pun mengalami ragu dalam hafalannya, begitu pula Al Auza’i, Ma’mar, dan juga Malik Rahmatullah ‘Alaihim.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/35-36)

Pembelaan yang begitu bersemangat dari Imam Adz Dzahabi ini tentu menjadi koreksi atas pihak yang menciderai kedudukan Hisyam, khususnya penolakan mereka terhadap hadits Hisyam bin ‘Urwah Radhiallahu ‘Anhu ketika akhir hidupnya di Iraq. Jadi, mayoritas imam menilainya tsiqah secara mutlak, kecuali menurut Imam Malik, Imam Ya’qub bin Syaibah, dan Imam Abul Hasan bin Al Qaththan, yang menyebutnya tsiqah-nya Hisyam adalah sebelum ke Iraq.

Benarkah hadits ini hanya dari Hisyam bin ‘Urwah?

Adalah TIDAK BENAR hadits ini hanya bersumber dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dan dari ‘Aisyah. Hadits ini memiliki jalur-jalur lain selain dirinya:

– Di antaranya dari Al Aswad bin Yazid sebagai berikut:

و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ يَحْيَى وَإِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

(Imam Muslim berkata:) Berkata kepada kami Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Abu Kuraib, berkata Yahya dan Ishaq: telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan dua yang lain (Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib) berkata: berkata kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Ibrahim, dari Al Aswad, dari ‘Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya dan dia berusia enam tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun, dan Beliau wafat saat ‘Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim No. 1422, 72)

Hadits ini pun shahih, seluruh rawinya adalah tsiqaat.

– Lalu, jalur lain yakni Yahya bin Abdurrahman bin Haathib, sebagai berikut:

حدثنا عبد الله بن عامر بن زرارة الحضرمي حدثنا يحيى بن زكريا بن أبي زائدة عن محمد بن عمرو عن يحيى بن عبد الرحمن بن حاطب : عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم تزوجها وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين زوجها إياه أبو بكر

(Imam Abu Ya’la berkata): berkata kepada kami Abdullah bin ‘Amir bin Zurarah Al Hadhrami, berkata kepada kami Yahya bin Zakaria bin Abi Zaaidah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Yahya bin Abdurrahman bin Haathib, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya dan dia berusia enam tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun, dan Beliau wafat saat ‘Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Musnad Abu Ya’la No. 4673, Syaikh Husein Salim Asad berkata: hasan)

– Jalur lain, dalam Shahih Muslim juga yakni Az Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Berkata kepada kami Abdu bin Humaid, mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya pada saat berusia tujuh tahun dan mulai memboyongnya pada saat sembilan tahun, Beliau bercengkerama dengannya dan wafat pada saat ‘Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim No. 1422, 71)

Pada riwayat ini disebut tujuh tahun, dan sama sekali tidak masalah bagi riwayat yang menyebut enam tahun. Sebab sering manusia menyebut usianya dengan angka yang bisa berbeda satu tahun. Hal itu bisa terjadi karena menurut tahunnya dia sudah masuk usia tujuh tahun, walau menurut bulannya dia belum tujuh tahun. Istilah di negeri kita, usia enam tahun jalan tujuh, atau tujuh tahun jalan. Syaikh Ibnul ‘Utsaimin Rahimahullah dalam Syarh Arbain Nawawiyah mengatakan bahwa jika orang-orang Arab menggunakan kasrah dalam angka menunjukkan makna “sekitar/lebih kurang”. Jika disebut Arba’in (empat puluh) maka itu bisa bermakna 41, 42, atau 38, 39, sebagaimana hadits Arba’in Nawawi ternyata jumlahnya adalah 42 bukan 40, walau ditulis arba’in (empat puluh). Maka, ucapan ‘Aisyah bahwa beliau dinikahkan pada usia sittin (enam) atau sab’in (tujuh), bermakna sekitar 6 atau sekitar 7, namun riwayat yang menyebut 6 tahun jauh lebih banyak. Wallahu A’lam

Maka, berbagai jalur di atas menunjukkan jelas keliru jika menganggap hadits ini hanya berasal dari riwayat Hisyam bin ‘Urwah saja.

Benarkah Imam Al Bukhari dan Imam Muslim memudah-mudahkan?

Mereka menuduh Imam Bukhari dan Imam Muslim telah melonggarkan masalah ini, sehingga mereka memasukkan hadits ini dalam kitab shahihnya masing-masing. Tuduhan itu sama sekali tidak benar jika dilihat dari banyak sisi:

Pertama, Bagaimana mungkin mereka dianggap memudahkan (mutasahil), padahal standard dan syarat mereka berdua untuk menshahihkan hadits adalah yang paling ketat?

Berkata Imam An Nawawi dalam kitab At Taqrib:

أول مصنف في الصحيح المجرد، صحيح البخاري، ثم مسلم، وهما أصح الكتب بعد القرآن، والبخاري أصحهما وأكثرهما فوائد، وقيل مسلم أصح، والصواب الأول

“Kitab pertama yang paling shahih adalah Shahih Al Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran. Dan Shahih Al Bukhari paling shahih di antara keduanya dan paling banyak manfaatnya. Ada yang mengatakan Shahih Muslim paling shahih, tapi yang benar adalah yang pertama.” (Imam An Nawawi, At Taqrib wat Taisir, Hal. 1. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Beliau menambahkan:

الصحيح أقسام: أعلاها ما اتفق عليه البخاري ومسلم، ثم ما انفرد به البخاري، ثم مسلم، ثم ما على شرطهما، ثم على شرط البخاري، ثم مسلم، ثم صحيح عند غيرهما، وإذا قاولوا صحيح متفق عليه أو على صحته فمرادهم اتفاق الشيخين

“Hadits Shahih itu terbagi-bagi, paling tinggi adalah yang disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim, kemudian Al Bukhari saja, kemudian Muslim, kemudian hadits yang sesuai syarat keduanya, kemudian yang sesuai syarat Al Bukhari, kemudian Muslim, kemudian shahih menurut selain keduanya. Jika mereka mengatakan: Shahih Muttafaq ‘Alaih atau ‘Ala Shihatihi maksudnya adalah disepakati oleh Syaikhain (dua syaikh yakni Al Bukhari dan Muslim).” (Ibid)

Kedua, terkenal bahwa Imam Al Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang menolak menggunakan hadits dhaif dalam semua urusan dan perkara, termasuk dalam masalah selain aqidah, hukum, halal dan haram, yang para ulama istilahkan perkara fadhailul a’mal, targhib wat tarhib, akhlak, dan semisalnya. Ini juga menjadi pendapat Imam Ibnu Hazm, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al Albani, dan lainnya.

Bagaimana mungkin Imam Bukhari mengendorkan sanad, padahal dia termasuk ulama yang menolak memakai hadits dhaif dalam hal apa pun?

Ketiga, ini yang paling penting, bahwa Hisyam bin ‘Urwah telah dipakai oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka di ratusan hadits dengan berbagai tema sampai-sampai kami pun sulit menghitungnya karena saking banyaknya, baik tema-tema aqidah, halal haram, dan hukum, dan tentunya fadhailul a’mal. Apa artinya? Artinya menurut standar mereka berdua Hisyam bin ‘Urwah adalah tsiqah (terpercaya) dalam meriwayatkan semua tema hadits, bukan hanya fadhailul a’mal.

Benarkah tidak rasional?

Ya, jika kita menggunakan kaca mata manusia saat ini, maka apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah tidak rasional dan bertentangan dengan tradisi manusia saat ini! Tetapi pandanglah dengan kaca mata manusia yang hidup zaman itu, masa Beliau dan ‘Aisyah hidup bersama-sama dan itu kebiasaan bangsa Arab saat itu dan beberapa abad setelahnya. Justru tidak rasional jika ada manusia zaman ini yang menilai manusia masa lalu dengan sudut pandang manusia masa kini. Tidak masuk akal menilai standar kepantasan manusia lalu dengan standar kepantasan manusia masa kini.

Lihatlah sejarah, dan lihatlah kebiasaan mereka, dan lihatlah buku-buku yang ditulis para fuqaha. Niscaya akan kita pahami dan maklumi, itulah kebiasaan mereka saat itu. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ‘Aisyah termasuk manusia yang hidup pada zaman itu, tentu dia akan seperti masyarakatnya.

Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash hanya berbeda 11 tahun dengan ayahnya (Amr bin Al ‘Ash). (Lihat Siyar A’lamin Nubala, 3/ 17-18) apa artinya? Amr bin Al Ash menikah pada usia sangat belia, sekitar 10 – 13 tahun!

Para fuqaha di berbagi mazhab fiqih ramai membicarakan dalam kitab-kitab mereka tentang pernikahan sesama anak-anak, bahkan sebagian mereka ada yang membicarakan pernikahan bayi, apakah sah atau tidak?! Apa artinya ini? Ini menunjukkan pernikahan anak di bawah umur sudah biasa terjadi saat itu dan merupakan tradisi mereka, dan saat itu bukan dianggap aneh, apalagi dianggap kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur. Lalu hari ini kita hidup di zaman modern menghakimi tradisi masa itu dengan standar tradisi manusia hari ini? Jelas sangat tidak rasional!

Kira-kira enam tahun lalu, ada yang bertanya kepada kami kenapa Firaun ikut-ikutan mengejar Nabi Musa ‘Alaihissalam? Bukankah Firaun seorang raja yang memiliki ribuan pasukan? Seharusnya cukuplah anak buahnya saja yang mengejar, dia tidak usah ikut mengejar. Saat itu kami jawab: “Karena Firaun hidup pada masa dulu, di mana para pemimpin ketika itu, jika rakyatnya perang mereka juga ikut ambil bagian bahkan menjadi pemimpinnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga ikut berperang dan menjadi pemimpin pasukannya dalam banyak peperangan, Abu Jahal pun ikut berperang bersama kaumnya melawan pasukan kaum muslimin. Jangan gunakan pikiran dan realita saat ini, di mana jenderal duduk manis di belakang meja, sementara prajuritnya yang mati-matian bertempur.”

Nah, cara berpikirlah yang harus kita benahi agar tidak kaku dan lebih rasional dalam membaca sejarah.

Imam Bukhari dan Imam Muslim sama sekali tidak salah

Dalam masalah ini, kedua imam ini sama sekali tidak memiliki saham kesalahan yang membuat orientalis barat memfitnah Islam dan kaum muslimin masa kini. Tidak pada awal dan tidak pada akhirnya, tidak pada sebagian dan tidak pula pada keseluruhannya. Justru bagi kami, yang keliru adalah sikap kaum muslimin dan sebagian ulamanya yang nampaknya begitu inferior, minder. Dan ketakutan di hadapan tudingan-tudingan itu. Seharusnya mereka memberikan pembelaan yang benar dan cerdas, bukan malah menyalahkan dan meragukan keabsahan nash-nash yang shahih pada kitab mereka berdua, apalagi menyebut hadits-hadits tersebut merupakan fitnah keji kepada nabi, dengan tujuan supaya kaum kuffar tidak lagi menuduh Islam.

Adalah hal yang terpuji jika kita melakukan upaya untuk menutup celah agar kaum kuffar tidak memiliki hujjah menyerang Islam. Hal itu patut diapresiasi. Tetapi, tidak dengan cara merobohkan bangunan kita sendiri, tidak dengan mengoyak tatanan yang sudah baku, yang telah dibangun para imam sepanjang zaman.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah menunaikan apa yang telah menjadi kewajibannya sebagai ‘aalim. Mereka telah bersusah payah menghabiskan semua umur dan waktunya untuk berkhidmat kepada As Sunnah, dan akhirnya Allah Ta’ala memberikan mereka kedudukan yang tinggi di dalam dada kaum muslimin dan ulamanya sesudah itu hingga saat ini. Telah banyak ulama yang bangkit membela kehormatan mereka dari serangan para orientalis dan kaki tangannya, sebut saja Asy Syaikh Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1, juga Asy Syaikh Mushthafa As Siba’i Rahimahullah dalam As Sunnah wa Makaanatuha fil Islam.

Karena riwayat ini mereka menuduh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang Pedofilia?

Kami sudah katakan sebelumnya, ada atau tidak ada hadits ini, mereka tidak akan pernah hilang menyerang kepribadian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yang mesti kita lakukan adalah menjawab tuduhan itu secara rasional, bukan serta merta mendhaifkan riwayat tersebut secara takalluf (baca: maksain), seakan mendhaifkan adalah jalan pintas untuk mereduksi segala tudingan mereka. Bukan begitu caranya.

Kita lihat, ketika kaum kuffar menuding Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang hyper sex karena Beliau beristri banyak, apakah serta merta kita dhaifkan saja berbagai riwayat yang menyebut berbilangnya istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Apakah ketika kaum kuffar menuduh Islam disebarkan dengan pedang karena ada hadits muttafaq ‘alaih: umirtu an uqaatilan naas hatta yasyhaduu alla ilaha illallah … (Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah  …dst), lalu untuk menjawab tuduhan mereka kita dhaifkan saja hadis ini? Tidak begitu. Tapi, jelaskanlah semuanya secara cerdas.

Termasuk dalam masalah tudingan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang pedofilia disebabkan adanya hadits ini.

Seharusnya kita katakan bahwa seseorang dikatakan pedofilia jika memang orientasi seksualnya hanya kepada anak-anak. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat jauh dari orientasi seperti itu. Kalau memang Beliau seorang pedofilia tentulah semua istrinya, atau sebagian besarnya, adalah wanita berusia anak-anak. Tapi kenyataannya tidak demikian, hanya ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang menikah dengannya pada usia sangat belia. Istri lainnya mayoritas adalah janda, wanita dewasa bahkan cukup tua. Kenyataan ini sudah cukup menggugurkan tudingan tersebut. Sebab semua teori dan tuduhan jika tidak sesuai dengan fakta maka teori dan tuduhan itu rapuh. Jika kaum kuffar masih menuding juga dan tidak puas dengan ini, tidak usah sampai: yaa sudahlah hadits ini dhaifkan saja! Biar tudingan mereka menjadi tidak berdasar. Maka, ini adalah kekalahan mental terhadap mereka.

Jika mereka menuding Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang hyper sex, maka kita jawab: bagaimana menurut kalian tentang Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam (King Solomon) yang memiliki 1000 istri menurut Bible? Atau Nabi Daud ‘Alaihis Salam yang 40 istri, kenapa kalian tidak menuding mereka berdua? Kami pun tidak ingin kalian menuding mereka berdua sebagai super hyper sex misalnya, tetapi kami ingin menegaskan betapa tidak fairnya kalian ini! Betapa api kebencian terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat kalian bertindak zhalim dan hina seperti ini. Demikianlah jawaban kita atas mereka, bukan dengan menyalahkan riwayat tersebut: aah riwayat tersebut dhaif.

Tetap Mengapresiasi

Demikian siap kami dalam hal ini. Tetapi, kami tetap mengapresiasi perjuangan setiap aktivis muslim yang meng-caunter serangan kaum kuffar, termasuk yang dilakukan para ulama dan pemikir muslim mana pun dan siapa pun dengan cara ilmiah dalam perkara pernikahan nabi dan ‘Aisyah ini. Perbedaan ini hendaklah didasarkan karena cinta dan ukhuwah yang sehat, untuk mencapai target yang sama, yakni kebenaran. Bukan karena kebencian apalagi i’tizaziyah (gaya-gayaan).

Demikian, semoga bermanfaat untuk saudara penanya dan sidang pembaca sekalian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (53 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization