Puisi dan Syair

Pada wajah-wajah mereka Yang sehari-harinya tak kudengar ujung keluh buta Mereka yang matanya senantiasa bersinar Menyambut binaan yang dadanya juga bergetar Karena hatinya sedang gusar

Hijrah pertama yang begitu menggoda, Meski berat namun menyenangkan, Meski terkadang sakit namun mendamaikan, Meski lelah namun tetap bertahan, Karena Allah dan Rasul yang menjadi motivasi

Dulu, Kita saling berangkulan Tak ingin saling lepas, Berharap kekal hingga ke surga

aku ada dengan cinta-Nya, saat diri terasa bagai dedauanan hijau nan indah, saat diri serasa bui diantara gelombang dahsyatnya arus, saat diri akan tenggelam dalam hamparan lautan Dia mengulurkan tangan-Nya,

Bukan salahmu menjadi orang yang terasing Biarkan hati berteman harubiru Tak ahsan jika ia tak kenal aroma sendu Menangislah cinta

Kuberikan semua cintaku untuk ayah bunda Biarkan skenario Allah menuntunku Di setiap titian pencarian ridha-Mu Kuberikan semua cintaku untuk ayah bunda Aku mencintamu karena Allah

Tapi tadi aku melihatmu berkemas. “Kemana?” kataku. “Entahlah,” sahutmu. “Apa yang terjadi?” tanyaku. “Bukankah kau sudah tau?” jawabmu lagi. Aku panik. “Tunggu!” teriakku. Kau menoleh. “Beri aku waktu,” pintaku. “Untuk apa?” katamu. “Untuk sebuah kejujuran,” bisikku. Maka dengarkanlah, ini hatiku yang bicara.

Rasa di kala itu mulai bergejolak Seakan tampak pantai nan luas lalu hasrat hati ingin menghempaskan Beban melalui aluanan ombak nan dasyat, Gemericik suara tinta aliran hati perlahan tergores dalam khatulistiwa kusamnya kertas usang

Saat kesederhanaan memikul keluargaku, Serba kekurangan di penuhi senyuman penuh kebahagiaan, Sambutan hangat kelengkapan cinta menyesakkan rumah mungilku, Menyambut mentari pagi nan mencurigakan, Sepasang suami istri beserta anak-anak nakalnya asyik bersenda gurau, lalu semua larut dalam aktivitasnya.

Malam, aku bercerita padamu Tentang diriku yang terbungkam bisu dalam kesendirian Mengupas rindu berkepanjangan