Topic
Home / Berita / Internasional / Asia / 1 Tahun Pemboikotan Qatar, Benarkah Para Pemboikot Ogah Selesaikan Masalah?

1 Tahun Pemboikotan Qatar, Benarkah Para Pemboikot Ogah Selesaikan Masalah?

Menlu Qatar. (Aljazeera)
dakwatuna.com – Doha. Krisis diplomatik yang melanda negara-negara Teluk telah berlangsung satu tahun. Satu tahun pula Qatar menjadi negara terisolasi oleh tetangga-tetangganya, darat, laut maupun udara.

Semuanya bermula pada 24 Mei 2017 silam. Malam itu, Kantor Berita Qatar (QNA) dan akun media sosial pemerintah diretas. Rekaman video yang mengatasnamakan Emir Qatar kemudian tersebar luas.

Beberapa saat setelahnya, rekaman video dusta itu masif diperbincangkan warganet, terutama Arab Saudi dan UEA. Hal itu diperparah dengan pemberitaan di media-media cetak kedua negara itu keesokan paginya.

Qatar membantah keras berbagai tudingan yang diarahkan, berdasarkan rekaman video itu. Dengan lantang, Doha pun menyebut telah terjadi peretasan terhadap situs web QNA.

Namun itu tidak serta merta menghentikan saling curiga. Bahkan kondisi kian hari kian parah. Puncaknya pada 05 Juni 2017, Arab Saudi beserta UEA, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Doha.

Keputusan itu diikuti pula dengan pemboikotan Qatar darat, laut dan udara. Keempat negara juga memanggil pulang misi diplomatik dan rakyat mereka yang ada di Qatar. Sebaliknya, rakyat Qatar yang tinggal diwilayah mereka juga diusir dalam waktu yang cukup singkat.

Untuk mengenang satu tahun berjalannya krisis dan pemboikotan atas Qatar itu, Aljazeera melakukan wawancara ekslusif dengan Menlu Qatar, Syaikh Muhammad bin Abdulrahman Al Tsani pada Selasa (05/06) kemarin.

Menurut Syaikh Muhammad, Amerika Serikat sejak awal terjadinya krisis terus mendesak agar segera diselesaikan. Hal itu ditegaskan dengan pertemuan Presiden Donald Trump dan Emir Tamim bin Hamad Al Tsani beberapa kali dalam kurun waktu satu tahun. Begitu pula dengan serangkaian pertemuan antara pejabat kedua negara.

Ia menambahkan, Washington juga berupaya mengadakan pertemuan tingkat tinggi antara AS dan Teluk pada September mendatang di Camp David. Namun Doha belum menerima konfirmasi resmi dari Washington.

Turki dan Iran

Secara tidak langsung, Turki dan Iran juga turut terlibat dalam krisis tersebut. Hal ini dapat diketahui dari tuntutan yang diajukan para pemboikot kepada Qatar satu bulan pascaboikot.

Tuntutan tersebut berisi 13 poin, dan harus dipenuhi apabila Qatar ingin krisis diakhiri. Di antara tuntutan itu adalah Qatar harus mengakhiri semua hubungan dengan Iran. Selain juga Doha dituntut untuk mengakhiri kerja sama militer dengan Turki.

Pada kesempatan tersebut, Menlu Qatar juga membahas soal hubungan negaranya dengan Turki. Menurutnya antara Doha dan Ankara terjalin hubungan historis dan strategis yang berlangsung sangat lama. Hubungan itu juga dilengkapi kerja sama di bidang ekonomi, politik dan militer.

Menlu Qatar menjelaskan, pihaknya tidak khawatir adanya perubahan politik di Turki. Mengingat pada 24 Juni nanti, Turki akan menggelar pemilihan umum untuk parlemen dan presiden.

“Perubahan-perubahan politik di Turki adalah urusan internal rakyat Turki. Qatar tidak boleh ikut campur dalam hal itu. Hubungan kami dengan Turki dibangun dengan fondasi yang kuat. Di sana juga ada perjanjian-perjanjian kerja sama antara kedua negara,” jelasnya.

Sementara dengan Iran, Menlu Qatar menyebut tuduhan yang dialamatkan oleh para pemboikot tidaklah benar. Menurutnya, antara Doha dan Teheran memiliki berbagai perbedaan dalam masalah-masalah regional.

Namun perbedaan-perbedaan itu hendaknya diselesaikan dengan dialog, imbuhnya. Menlu juga menyebut volume perdagangan Qatar-Iran tidak sampai 10% dari jalinan dagang antara UEA dan Iran. (whc/dakwatuna)

Redaktur: William

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization