Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Pahlawan dari Masa ke Masa

Pahlawan dari Masa ke Masa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Lelaki di Afghan shalat di sebuah bukit dekat Kabul, Afghanistan, pada tanggal 8 September 2008, selama bulan suci Ramadhan. (SHAH Marai / AFP / Getty Images)
Ilustrasi –

dakwatuna.com – Dunia ini adalah pertarungan, perlombaan, dan kompetisi; antara kebenaran dan kebatilan, antara kejujuran dan ketamakan, antara pengikut para nabi dan penyembah setan, hawa nafsu, dan materi. Maka, akan selalu muncul pahlawan dan pemenang, juga akan selalu menyisakan para pecundang dan orang-orang yang terpinggirkan.

Penyair Mutanabbi mengingatkan hanya ada dua pilihan bagi pahlawan, hidup terhormat tanpa tekanan, atau mati mulia di tertikam tombak demi mempertahankan berkibarnya panji kehormatan:

عش عزيزاً أو مت وأنت كريم                       بين طعن القنا وخفق البنود

Karenanya, mereka selalu berjuang untuk menang melawan musuh yang jauh di depan sana, maupun musuh terdekat; hawa nafsu, kelemahan dan kekerdilan jiwanya. Mereka tak rela membiarkan dirinya menyerah kalah. Dan kekalahan yang paling menyakitkan adalah kalah melawan godaan diri, gagal mempertahankan prinsip dan nilai, sehingga mudah menjadi budak nafsu, menjual kehormatan dirinya atau menggadaikan martabat agama dan bangsanya, itulah seburuk-buruknya pecundang.

Ka’ab bin Malik yang menolak tawaran raja Ghassan adalah sepotong kisah gemilang tentang kesetiaan pada prinsip meski dalam kondisi ‘terbuang’. Di kemudian hari, sahabat Muawiyah juga mendamprat Heraklius yang ingin memanfaatkan perseteruannya yang kian memanas dengan Ali.

Kepahlawanan adalah tentang kokohnya akidah dan keyakinan, yang menjadi benteng saat gempuran ujian bertubi, yang mengulurkan sumbangan tenaga, kesabaran, dan rasa percaya diri saat terjepit dalam situasi tersulit, sehingga ia tetap menemukan celah untuk menyelamatkan aqidahnya dan membela orang-orang yang lemah dan terdzhalimi. Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Rasul tercinta mengajarkan kita tentang hal ini. Karena kekuatan akidahlah Maxsimilian atau Maxsalmena dan rekan-rekannya tetap tegar menghadapi keganasan Dikyanus dan pengikut setianya, dan kisah perjuangannya, bahkan dialog mereka abadi dalam surat Al-Kahfi.

Kepahlawanan adalah tentang kepiawaian memimpin, mengemban amanah, dan menegakkan neraca keadilan. Sehingga kegembiraan Umar atas kedatangan Jabalah bin Aiham yang datang dengan pasukan dan segala lambang kebesaran tak membuatnya kagok dan sungkan untuk menyidang raja dari Ghassan tersebut dan mendudukkannya sejajar dengan pria jelata yang mengadu telah di pukul karena tak sengaja menginjak ujung kain mewahnya ketika tawaf.

Kita juga masih ingat bagaimana Khalifah kedua tersebut rela berlari-lari dalam panasnya udara padang pasir yang membakar demi mengejar onta yang lepas dari baitulmal karena takut kalau onta itu hilang akan menjadi sandungan langkahnya menuju surga.

Termasuk pahlawan adalah mereka yang tidak tersandera oleh cinta, kasih sayang dan keberpihakan, entah datang dari pihak keluarga, kerabat, teman dekat atau para penyokong, sehingga ia tak perlu repot untuk membahagiakan mereka dengan cara tak wajar dan melanggar muruahnya . Bahkan seringkali mereka cenderung bersikap ketat, keras dan tak memberi akses dan kelonggaran bagi orang dekatnya untuk memanfaatkan ketenaran, nama baik, atau jabatannya, karena keyakinan bahwa itu bisa menyeretnya ke pintu kebinasaan yang bermuara di lubang neraka.

Lihatlah Umar bin Abdul Aziz dan para pemimpin shalih lain yang membuat sebagian kerabat dan orang dekatnya sebal dan bosan dengan ketegasan, sikap adil dan kejujurannya.

Pahlawan juga bukan melulu tentang kisah otot kawat balung wesi, tentang kebiasaan sesumbar dan pamer kekuatan amunisi, tapi juga tentang ketajaman strategi, ketrampilan, dan ketepatan yang berbalut seni, ibarat permainan Taka Tiki yang membuat permainan bola jadi asyik dan menarik.

Karenanya, Shalahuddin hanya tersenyum saat Richard tertawa jumawa setelah berhasil mematahkan lempengan besi dengan pedangnya, dan panglima Islam yang terkenal dengan kesantunannya itu hanya berujar:

ليس الحرب صلابة سيف وقوة ساعد   إنما هي مضاء حد وسداد يد

Lalu dengan gerakan lincah, ia menyambut secarik sutra tipis yang melayang di udara dan terbagilah dua dengan sempurna, “Dengan pedang seperti inilah besok kami akan menemui kalian!”. Kata Shalahuddin penuh wibawa.

Kepahlawan juga tentang usaha gigih melawan nafsu ingin dikenal, dikenang dan diperhitungkan. Maka, selain sang pembebas legendaris, Maslamah bin Abdil Malik, kita mengenal pahlawan yang berjuang mengubur identitas dirinya dan dengan cerdik berhasil membuat Maslamah penasaran sampai-sampai ia berdoa dalam tiap shalatnya agar kelak di surga dibangkitkan dengan laki-laki misterius itu. Dengan memakai penutup wajah ia memporak-porandakan barisan musuh dan berhasil melobangi benteng hingga pasukan Islam mampu menembus pertahanan musuh. Setelah mengetahui dirinya di cari-cari, dan ia mendengar pengumuman bahwa Maslamah meminta pasukan untuk menemukannya, diam-diam ia memasuki tenda panglimanya dan berkata dengan sopan dan rendah hati: Saya akan memberi tahu siapa pria bertopeng itu asal Anda menyanggupi syarat yang saya ajukan. Setelah panglimanya menyetujui, ia berkata: Akulah orangnya, dan aku minta janganlah Anda mencari-cari tahu tentang jati diri dan namaku dan jangan memberi balasan apa-apa!”.

Ini juga bukan tentang mereka yang buas dan ganas, yang tak kenal bahasa kasih sayang, dan terlanjur kasmaran dengan pedang dan perang. Kepahlawanan sangat erat kaitannya dengan akhlak mulia dan perangai nan indah, jiwa lembut, belas kasih, kepekaan, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Maka episode memaafkan musuh yang tertunduk hina setelah kalah perang adalah hal yang sudah biasa dalam kisah-kisah pembebasan Islam. Rasulullah SAW menunggu sepuluh tahun untuk bisa membebaskan Mekah, namun beliau memasukinya dengan kerendahan hati dan memaafkan mereka yang dahulu menyakiti, bahkan tanpa mengungkit sedikitpun dosa mereka yang menggunung, persis dengan akhlak nabi Yusuf AS yang sangat menjaga perasaan kakak-kakaknya yang dahulu membuat makar untuk membunuhnya. Ketika melepas pasukan, Rasul juga selalu berwasiat agar tidak memerangi kecuali pemimpin kuffar itu menolak Islam dan menghalangi rakyatnya mendengar seruan dakwah dan tidak pula mau tunduk pada kekuasaan Islam dengan membayar jizyah, memerangi mereka juga semata-mata karena Allah, dengan tidak melakukan kecurangan, tidak merusak tanaman, tidak membunuh binatang kecuali untuk di makan, tidak membunuh ahli kitab yang beribadah di rumah suci mereka, dan tidak membunuh wanita dan anak-anak. Beliau juga melarang untuk memerangi ahlu dzimmah atau orang kafir yang dilindungi pemerintah Islam.

Lalu datang Umar yang menghidupkan nilai kepahlawanan ini, hingga suatu hari ia menjumpai orang tua dari ahlu dzimah yang mengemis di pintu masjid, maka Umar berkata: Sungguh tidak adil kalau kami mewajibkanmu membayar jizyah di masa muda, lalu menelantarkanmu saat kau tua. Umar akhirnya menyantuni orang tadi, serta membebaskan jizyah yang harus dibayarnya.

Bahkan jaminan keamanan yang diberikan Umar untuk pemeluk agama Nashrani di Palestina di anggap para ahli sejarah dunia sebagai yang paling mulia, adil, dan toleran. Yang mana didalamnya tertulis: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah, ini adalah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar bin Khattab, amirul mukminin kepada penduduk Al-Quds berupa jaminan keamanan. Umar memberikan mereka keamanan atas jiwa, harta, dan gereja mereka, mereka tidak di paksa dalam masalah agama dan tidak di ganggu”.

Yang kadang terlupa, bahwa di antara sisi kepahlawanan adalah kepiawaian menahan syahwat bicara dan nafsu bercerita, seperti yang dicontohkan ibunda Aisyah ketika Rasululullah SAW memintanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang setelah Rasul melalui wahyu mengetahui pengkhianatan Quraisy beberapa hari sebelum beritanya sampai ke Madinah. Abu Bakar yang melihat putrinya sibuk berkemas bertanya, namun Aisyah hanya menjawab tak tahu menahu, padahal kalaupun cerita tak akan bahaya, karena dia adalah ayahandanya sendiri, sahabat terdekat Rasulullah, As-Siddiq, tak mungkin menyebarkan cerita, dan Rasululah pasti tak memarahinya,  namun ia tahu menjaga rahasia adalah karakter utama.

Sejarah juga mengenalkan kita pada sosok wanita tangguh, yang mampu mengendalikan perasaannya, memiliki kecerdasan dan keberanian luar biasa, kemudian menyusun strategi pada saat-saat genting yang tak pernah terprediksi sebelumnya. Dialah Syajarat ad-Durr, yang merahasiakan kematian suaminya, Sultan Shalih Najmuddin Ayyub, dan diam-diam mengendalikan jalannya peperangan hingga pasukan Islam berhasil mengalahkan pasukan Salib yang dipimpin oleh raja Louis IX.

Pahlawan bukanlah mereka yang selalu dalam stamina prima, tak pernah lemah, tak pernah goyah.  Ketika bala’ dan ujian terus mendera, bisa jadi ia juga ingin menepi atau berhenti, namun mereka mampu menepis keraguan dan kebimbangan dalam dirinya, bersegera sadar dan bangkit maju melawan godaan dan bisikan yang mengajaknya untuk menyerah.

Inilah yang dahulu dilakukan oleh para pahlawan yang gugur membela negeri ini meski dengan senjata seadanya, bahkan seringkali kelaparan dan penyakit menghantui mereka, namun mereka tak menyerah karena ingin mempertahankan kehormatan agama dan kedaulatan negeri tercinta.

Semoga semangat ini terus dimiliki oleh anak bangsa ini, sehingga mampu bertahan dengan segala kesulitan, kepayahan dan tantangan yang berusaha menggerogoti kekuatan mereka, dan membuat kita tak pernah kehabisan pahlawan-pahlawan yang mampu berdiri tegak dengan panji kejujuran, mental kesatria, dan energi membara untuk menjaga bangsa ini dari berbagai keburukan.

Pahlawan itu ada di mana-mana, dalam lintasan masa, suku, bangsa, warna kulit, dari jenis pria dan wanita, tapi mereka disatukan oleh kesamaan sifat; karakter unggul, sifat luhur dan mulia, bakat istimewa, kemampuan menelaah, melihat jauh ke depan, daya tahan, juga kemampuan memberi dan berkorban di atas rata-rata. Karena pertarungan memang tak selalu ada di medan perang, sebagaimana pemenang tidak selamanya di daulat untuk menerima tanda jasa.

Orang yang berjuang menjaga dan membela martabat dirinya adalah pahlawan, yang membela kehormatan keluarganya adalah pahlawan, yang membela negerinya adalah pahlawan, dan yang paling mulia adalah yang membela hal paling berharga dalam dirinya, yaitu keimanan, agama, dan akidahnya, itulah pemenang sejati.

Maka saat badannya di tombak hingga tembus dalam peristiwa Bi’ru Ma’unah, Haram bin Milhan meneriakkan: “ Allahu Akbar, aku menang, demi Rabb Ka’bah”. Kata-kata ini terus terngiang di telinga orang yang membunuhnya, ia bertanya-tanya; mengapa ia berkata telah menang, padahal dia kalah dan mati bermandikan darah. Pertanyaan itu terus mengusiknya hingga menuntunnya pada hidayah Islam.

Milhan benar, dia menang karena mati memperjuangkan agamanya, hingga turun ayat yang mengingatkan kita bahwa mereka yang terbunuh dalam usaha mempertahankan keyakinan sesungguhnya tidaklah mati, mereka hidup bahagia dengan limpahan rizki dan rahmat dari Rabb mereka. Dan itulah prestasi tertinggi yang ingin di raih para pahlawan sejati.

Walau a’lam bishowab. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar dan penerjemah yang memiliki minat pada issu seputar wanita dan pendidikan.

Lihat Juga

Keikhlasan Dalan Kerja Dakwah

Figure
Organization