Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Memahami KKN, Wajah Fenomena Dulu dan Kini

Memahami KKN, Wajah Fenomena Dulu dan Kini

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Secangkir kopi menemani saya mengawali rutinitas pagi. Tapi sayang, pagi itu tidak semanis kopi yang saya nikmati. Salah satu surat kabar kembali mengangkat headline korupsi sebagai bahan pemberitaannya. Kali ini dugaan merujuk pada salah satu instansi strategis di negeri ini. Saya mungkin tidak akan membahas panjang lebar berita terkait. Toh, bukan hal itu yang menjadi tujuan saya menulis itu disini.

Semakin hari rakyat semakin merana karena terus dijejali kabar prihatin tentang negeri. Keboborokan moral birokrat kembali diumbar. Masyarakat mulai gusar. Mereka haus hal positif yang bisa dibaca pada lembaran koran pagi. Penyakit sosial ini menjadi akut, sehingga timbul satu pertanyaan. Mungkinkah negeri ini mampu bangkit dari derita moral berkepanjangan ini?

Saya pikir, hukumnya absolut jika korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang harus diperangi. Namun, apakah benak kolektif kita harus dipenuhi pesimisme bahwa moral bangsa ini begitu jatuh? sehingga tidak ada ruang di pikiran kita untuk mendiskusikan sebuah narasi besar penuh optimisme untuk republik yang lebih baik?

Mengutip pandangan Fahri Hamzah, bahwa korupsi bukanlah suatu budaya. Namun, masalahnya adalah ia telah menjalar kemana-mana. Salah satunya, ia menyatu dalam aspek pemerintahan di berbagai level. Ia menyatu dalam nafas birokrasi dan menjadi alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.

Masih mengutip pandangan Fahri Hamzah, salah satu yang menjadi bibit persoalan korupsi adalah persoalan sistem. Sistem yang berdasar pada aturan yang samar dan lemah menimbulkan potensi terjadinya transaksi hukum ilegal. Sistem birokrasi berbelit melahirkan kegusaran bagi mereka yang ingin dilayani. Gayung pun bersambut. Tidak hanya keramahan, kemudahan dan kelancaran seketika hadir seiring dengan gepokan rupiah dibalik lampiran berkas yang disodorkan.

Jangankan di institusi strategis, di dunia politik kampus pun tidak kalah kompleks. Pelayan utama yang berhasil terpilih punya tanggung jawab pada konstituennya (baca: pendukung utama). Transaksi politik kecil-kecilan begitu kentara. Tidak dipungkiri, potensi KKN (baca; nepotisme) terjadi pada pembagian kursi strategis di pemerintahan kampus. Distribusi politik berdasar pada ikatan golongan dan dukungan bukan pada profesionalisme. Kualitas SDM kampus yang besar dan varian terdelusi oleh dorongan rasa “pekeweuh” perengkuh tahta. Melahirkan gambaran jelas siapa yang membudak dan diperbudak. Tesis kekuasaan milik rakyat harus di-antitesiskan-kan oleh kekuasaan adalah yang memiliki kekuatan. Tanggung jawab moral? Bisa dibicarakan seiring dengan berjalannya kepengurusan atau bahkan tidak sama sekali.

Memahami Korupsi: Korupsi dan Sejarah Singkat

Sejak bangku SMP sampai SMA, kita dijejali fakta umum bahwa perpecahan Kerajaan Mataram diakibatkan oleh intervensi VOC. Tapi tahukah kalian, perpecahan internal tidak lepas akibat dorongan dari para bangsawan untuk memperkaya diri beserta sanak keluarganya. Korupsi pada masa kerajaan masih didominasi oleh kalangan pemegang kekuasaan dan saat itu segalanya terpusat pada keputusan Raja, maka korupsi di tingkat pamong bawah dilakukan melalui “penyunatan” pajak atau upeti. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya pengawasan dan standar baku terkait besaran pajak/ upeti.

Di Indonesia, korupsi terjadi sejak zaman VOC dan korupsi pula yang menyebabkan mereka bangkrut pada awal abad ke-20. Pasca proklamasi, banyak petinggi Belanda yang kembali ke tanah airnya. Menyisakan bangku kosong di bangku kepemimpinan yang kemudian diisi oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda (ambtenaar) yang tumbuh dan berkembang di tengah kultur korup semasa kolonial. Celakanya, kultur korup tersebut terwariskan sampai ke zaman Orde Lama bahkan Orde Baru.

Korupsi dan Relativitas Budaya

Perbedaan budaya menjadikan sulit untuk menemukan definisi global yang konsisten tentang korupsi. Beberapa budaya memandang penyuapan sebagai bentuk korupsi, sementara yang lain menganggapnya sebagai pemberian hadiah atau wujud apresiasi.

Persoalan korupsi memang kompleks. Setiap masa memiliki permasalahan dan jalan keluarnya, tergantung konteks. Namun, kita tidak boleh dikalahkan oleh besarnya dimensi masalah korupsi ini. Justru yang menjadi dimensi persoalan adalah saat kita menjadi pesimis dan putus asa sebelum maju ke medan perang. Selalu ada jalan keluar dari setiap permasalahan.

Mengacu pada Prof. Ramli Atmasasmita, beliau menawarkan strategi pemberantasan korupsi dengan menggunakan empat pendekatan; pendekatan hukum, sosio-kutural, moralistik dan keimanan, edukatif. Pendekatan hukum memegang peranan penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Pendekatan hukum menempatkan kepentingan bangsa atau hak-hak ekonomi dan sosial rakyat diatas kepentingan yang lain. Penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi harus dijalankan dengan tegas tanpa kompromi untuk mencegah merajalelanya praktik korupsi.

Pendekatan sosio-kultural, pendekatan ini berfungsi membangun kultur masyarakat yang membenci tindak pidana korupsi melalui kampanye publik yang meluas dan massif sehingga mencapai semua kalangan. Pendekatan moralistik dan keimanan berperan sebagai rambu-rambu pembatas untuk meluruskan jalannya penegakan hukum tersebut dan memperkuat integritas penyelenggara negara untuk selalu memegang teguh dan menjunjung tinggi keadilan berdasarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap korupsi.

Dan yang terakhir adalah pendekatan edukatif. Mendidik pikiran tanpa mendidik hati bukanlah pendidikan sesungguhnya. Pendekatan edukatif berperan melengkapi pendekatan-pendekatan diatas. Berfungsi menggerakan nurani serta meningkatkan daya nalar masyarakat sehingga dapat memahami secara komprehensif latar belakang dan sebab-sebab terjadinya korupsi serta langkah pencegahannya.

Saya optimis, keempat pendekatan diatas bisa menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam pemberantasan korupsi yang harus dilakukan secara sinergis-kolaboratif dalam satu tindakan untuk satu tujuan; mengenyahkan korupsi dan kroni-kroninya. Saya optimis ini bisa menjadi pembuka narasi drama perang terhadap korupsi di bumi pertiwi. Memang berat dan penuh resiko. Tetapi bukan kah pelaut yang hebat lahir dari besarnya ombak?

Rahmat Abdullah pernah berkata, orang-orang hebat lahir dari beban perjuangan, bukan mereka yang menghindari peperangan. Begitu pun dengan suatu bangsa. Dalam konteks ini, fenomena korupsi yang telah lama menjangkit di setiap lini kehidupan menjadi hal yang harus diperangi secara kolektif oleh setiap elemen bangsa. Toh, semua aktivitas individu yang dilakukan secara kolektif akan lebih efisien, efektif, dan produktif. Keterbatasan-keterbatasan yang ada pada individu dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka dengan kekuatan yang ada pada individu yang lain.

Rakyat lama merintih. Menanti sebuah orkestra pemberantasan korupsi untuk mengukir senyum di wajah ibu pertiwi. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Semarang. Saat ini diberi amanah sebagai Menteri Sosial Politik BEM Undip 2017

Lihat Juga

Oposisi Israel Ramai-Ramai Desak Benyamin Netanyahu Mundur

Figure
Organization