Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Dari Pengamen Aku Belajar

Dari Pengamen Aku Belajar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sore tadi aku melakukan perjalanan menuju kota untuk menimba ilmu, dari Sragen ke Surabaya. Duduk di barisan belakang bus ekonomi yang setia menemani setiap perjalananku ke kota ini. Silih berganti, penumpang bergantian naik dan turun di hadapanku di pintu belakang bus itu. Anak-anak, muda, dewasa, semua ada. Yang masih berseragam sekolah, berseragam dinas kantornya, atau berteman dengan barang dagangannya juga ada. Tak terkecuali yang satu ini, pengamen yang setia menemani setiap perjalanan dengan dendangan lagu dangdutnya. Maklum, ini bus ekonomi bus kelas menengah ke bawah.

Rambut yang sedikit basah, ditambah jaket yang masih terasa bekas-bekas air hujan ini menambah dingin dalam bus yang ber-ac bak kipas angin ini. “Tak apalah, siapa juga yang memperhatikan” gumam dalam hatiku sambil mengusap-usap kepalaku. Tengok kanan dan kiri, nampak mereka yang sibuk dengan diri masing masing. Dengan teman seperjalanannya, dengan gadget-nya, dan ada pula yang pulas dalam tidur sorenya. Aku-pun ikut menyibukkan diri dengan gadget yang menemaniku hampir di setiap waktu. Sesekali diskusi di media sosial, dan membaca dalam hati kalam Ilahi yang sengaja aku pasang di handphon­e-ku ini.

Tak lama berselang, dua laki-laki dengan perawakan besar berisi menaiki tangga pintu masuk belakang bus itu. Satu orang berkalung-kan gitar kentrong dengan khas gaya topi diputar ke belakang, kaos oblong yang nampak sedikit lusuh dan gigi ompong yang nampak hasil kecelakaan, menjadi bagian yang sulit dilupakan darinya. Yang lain, menenteng ketipung pengamen jalanan dengan pakaian yang sedikit lebih rapi, dan style gondrong khas jalanan. Mereka sejenak duduk dan mempersilahkan pedagang asongan meraup rejekinya dahulu, sambil mereka bercanda di jok bagian belakang dengan kernet bus.

Akhirnya, mereka beraksi dengan dua lagu yang nampak mereka mainkan dengan nikmat. Akupun menikmatinya hingga akhir lagu, hingga langkah mereka beranjak dari bangku depan hingga belakang dengan mengajukan sebuah kantong plastik di hadapan setiap penumpang, dengan harapan mereka mendapatkan imbalan atas hiburan yang mereka berikan. Ya, setiap perbuatan pasti ada balasan, mungkin itu yang mereka pahami.

Setelah selesai dengan aktivitas ngamennya, mereka kembali duduk di bagian belakang bus. Ngobrol dengan kernet bus itu tentang dunia transportasi. Tentang gaya sopir yang ugal-ugal an dalam mengemudi hingga sopir yang paling nyaman menurut mereka. Awalnya aku tak mau ambil pusing dengan perbincangan mereka, hingga dalam diamku aku perhatikan apa yang mereka perbincangkan, ketika mereka menyinggung tentang korupsi.

“Lha itu lho rumah sakit hasil korupsi, uang haram itu” kata pengamen yang bertopi teralik itu sambil menunjuk pada bangunan rumah sakit baru di seberang jalan. “Wong lulus sma ae jare s1” jelasnya menanggapi pernyataan lawan bicaranya yang cukup antusias dengan topik itu. Sekadar informasi bahwa rumah sakit yang dimaksud adalah rumah sakit yang dimiliki oleh mantan salah satu bupati di Jawa Tengah. “Wuihh, update juga ni orang”, pikirku. Mereka melanjutkan diskusi tentang pemilik rumah sakit itu yang katanya, saat ini sudah keluar dari jeruji besi.

Entah bermula dari apa, mereka mulai sedikit serius dalam perbincangan itu. Tentang keadilan, tentang hukum yang tak memihak kaum yang lemah. Si topi terbalik itu nampak menguasai pembicaraan, dan wawasannya-pun cukup baik. Ia mengatakan mengapa kok bukan yang diseret-seret dalam pengadilan itu mereka yang korupsi milyaran rupiah, jutaan rupiah, mengapa yang hanya mencuri kayu di hutan, bahkan seorang nenek yang sudah lanjut usia itu yang sampai diseret-seret dalam pengadilan. “seharus e, sing korupsi-korupsi itu yang diseret di pengadilan, kalau perlu digorok ndas e (kepalanya-red), bukan mbah mbah tua yang dari mana itu? Ya, situbondo atau mana itu”, ujarnya dengan nada yang telihat cukup kesal menanggapi ketidak-adilan ini.

Aku berpikir, ternyata orang seperti ini masih memikirkan nasib bangsa juga ya. Ternyata kita perlu merubah mindset, benar bahwa kita tidak boleh menghakimi orang hanya karena penampilan, terlalu dini, terlalu sempit berpikirnya. Meskipun orang itu tadi ada tidak sopannya, ada yang tidak baik dalam dirinya, tetap saja ada yang bisa kita ambil pelajaran darinya. Layaknya kata mahatma gandhi,”Bahkan dari seorang bayi pun aku belajar”. Dan benar kata orang itu, bahwa di negara kita ini banyak hal yang harus dibenahi, banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, tanpa melupakan bahwa bangsa ini memiliki banyak pula kebaikan, termasuk keadilan.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa ITS Surabaya. Peserta PPSDMS Nurul Fikri Angkatan VII (2014-2016).

Lihat Juga

Oposisi Israel Ramai-Ramai Desak Benyamin Netanyahu Mundur

Figure
Organization