Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Jika Punya Teman Sejati Kau tak Butuh Cermin Lagi

Jika Punya Teman Sejati Kau tak Butuh Cermin Lagi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Di antara nikmat Allah pada hamba-hambaNya adalah nikmat sahabat dan teman setia yang selalu mengajak pada kebaikan, bisa berbagi beban dan kegembiraan, juga peduli dengan fluktuasi keimanan sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab menilai sahabat yang baik adalah nikmat terbesar setelah nikmat Islam:

ما أعطي عبدٌ بعد الإسلام خيراً من أخٍ صالح

Tidaklah seorang hamba di beri karunia yang lebih baik setelah nikmat Islam melebihi saudara yang sholih”.

Sahabat menjadi demikian penting karena sesungguhnya merekalah yang punya peran besar mewarnai kehidupan kita dengan warna yang baik atau sebaliknya. Interaksi dengan mereka baik interaksi yang bersifat fisik , terlebih interaksi fikroh dan pemikiran sangat berperan menentukan arah hidup kita. Maka tak heran jika Rasulullah memberi taujih agar kita cermat dan selektif dalam memilih kawan karib, sebagaimana sabda beliau:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang berada dalam pengaruh agama sahabatnya, maka kendaknya setiap kalian mengamati siapa yang menjadi kawan karibnya”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Sehingga memilih teman akrab bukan masalah gengsi atau prestis semata, atau berdasarkan keuntungan dunia. Namun memilih orang yang mau membantu kita menjaga pikiran, hati dan perilaku.

Peran seorang sahabat akan bernilai ketika ia mampu memberi untaian nasehat, teguran, atau bahkan celaan dan amarah, serta tak segan menunjukkan sahabatnya pada aib dan kekurangan yang ada. Dan semua itu dilakukan karena rasa cinta , juga demi menunaikan amanah menjaga agama sahabatnya. Sungguh peran yang semakin sulit dilakukan dan langka kita temukan di zaman sekarang ini. Maka keberuntungan bagi yang dikaruniai teman sejati.

  • Persahabatan terindah

Rasulullah SAW dan para sahabat adalah potret terindah pertemanan yang pernah ada di bumi ini. Mereka adalah saudara yang lahir dari rahim iman, lewat tangan Rasulullah, sebagai orang tua, guru, dan sahabat sejati. Mereka tumbuh dalam rengkuhan tarbiyah, dalam suasana ukhuwah yang kadang sulit untuk di mengerti; bagaimana bisa sekelompok orang saling mencintai demikian rupa.

Apalagi saat permulaan hijrah, di antara strategi Rasulullah mempercepat terbentuknya masyarakat muslim yang kokoh adalah mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshor. Agar dua komunitas besar yang sebelumnya tidak saling mengenal tersebut cepat melebur menjadi satu jasad yang kuat dan kokoh. Sebagaimana sebelumnya Rasulullah juga pernah mempersaudarakan antar kaum muhajirin agar mereka tidak merasa terasing.

Mereka dikumpulkan, seperti penuturan sahabat Anas bin Malik, dan dipasang-pasangkan. Yang kaya dan kuat disandingkan dengan yang miskin dan lemah. Mereka dipersaudarakan, yang saat itu berjumlah sekitar sembilan puluh orang. Tugasnya saling mencintai, menolong, saling menjaga, saling berbagi, bahkan mereka sempat saling mewarisi sebagaimana layaknya saudara kandung:

Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”. (An-Nisa’: 33).

Hingga kemudian setelah kaum muslimin kondisinya membaik dan bangunan masyarakatnya solud, atas hikmah Allah, ketentuan tersebut dihapuskan dengan firman Allah Ta’ala:

Artinya: “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah”. (Al- Anfal: 75).

Begitulah, kisah persaudaraan karena iman ini abadi dalam hadis-hadis yang suci, bahkan Al-Qur’an turut membenarkannya.

Dan persaudaraan ini melahirkan kisah yang abadi dalam lembar sejarah, tentang cinta, pengorbanan dan saling mendahulukan, sekaligus keuletan dalam menjaga harga diri dan muruah dari menunggu bantuan dan meminta pertolongan. Ada sahabat Anshor yang memohon agar saudaranya dari kaum muhajirin mau menerima lahan perkebunan bahkan menawarkan salah satu dari istrinya. Di sisi lain kita menjumpai kaum muhajirin yang bersikeras tak mau menerima pemberian cuma-cuma .

Dan di antara mereka yang dipersaudarakan adalah:

Abu Bakar – Kharijah bin Zuhair

Umar bn Khathab – Itban bin Malik

Zubair bin Awwam – Salamah bin Salamah bin Waqsyin

Tholhah bin Ubaidilah – Ka’ab bin Malik

Mush’ab bin Umair – Abu Ayyub

Salman Al-Farisi – Abu Darda’.

Sa’ad bin Rabi’ – Abdurrahman bin Auf

Abu Ubaidah bin Jarrah – Abu Tholhah

Rasulullah mengajarkan pada sahabat hekekat persahabatan dan hak-hak yang harus ditunaikan. Seperti motivasi yang beliau sampaikan: “Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaiman ia mencintai untuk dirinya sendiri”. (Bukhari Muslim)

Beliau juga memotivasi dengan janji balasan bagi yang berjuang merealisasikan taujih beliau dalam menjalin persahabatan dan saling mencintai dalam bingkai ukhuwah, di antaranya adalah mendapat cinta Allah:

Cintaku pasti kuberikan untuk orang-orang yang saling mencintai karenaku”. (Mustadrok ala Shohihain lil Hakim, 6/153).

Rasulullah SAW menjanjikan jika seseorang mengunjungi sahabatnya, maka balasannya adalah limpahan rahmat Allah Ta’ala:

مَنْ زَارَ أَخَاهُ الْمُؤْمِن خَاضَ فِي الرَّحْمَة حَتَّى يَرْجِع

“Barangsiapa mengunjungi saudaranya yang mukmin, maka dia berada dalam naungan rahmat hingga ia kembali”. (HR. Thabarani).

Maka muncullah jenis pertemanan yang langka, unik, serta menakjubkan, saling mengunjungi, menasehati, dan memberi. Persahabatan yang tetap utuh meski berbagai goncangan dan fitnah, serta langgeng hingga setelah kematian mereka, karena persahabatan mereka akan berlanjut di surga.

Dan mereka adalah qudwah dalam urusan persahabatan dan persaudaraan. Mereka mampu menunaikan hak-hak sahabat yang berupa dukungan, bantuan, kebersamaan, dan tentu saja nasehat dan arahan. Mereka berusaha keras membahagiakan sahabatnya, dan tanpa lelah menjaga mereka dari keburukan yang membahayakan urusan dunia terlebih akherat mereka. Dan kita juga menyaksikan orang-orang yang tak pelit memberi nasehat, namun juga tak gengsi menerima teguran dan peringatan dari siapapun datangnya dan bagaimanapun bentuk nasehatnya, bahkan nasehat menjadi suatu hal yang mereka dambakan sebagaimana yang Umar ra katakan: ”Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkanku pada aibku”.

  • Cermin bening

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Ia menjaganya dari hal-hal yang merusak membuat rugi kehidupannya, dan akan membelanya dengan sekuat tenaganya baik saat di hadapannya maupun ketika di belakangnya.

Dan cermin yang bening akan memantulkan keindahan, sebagaimana ia akan menampakkan noda dan keburukan.

Bila kita tak peduli pada teman, bisa jadi itu tanda kalau hati kita bermasalah. Kita menjadi cermin yang keruh dan buram atau bahkan retak. Entah karena segan, tak tega, atau takut pertemanan menjadi renggang, sehingga kita tak mampu menjalankan peran kita secara maksimal. Dan jika di cari sumber perasalahannya, kita akan mendapati di antara sebabnya adalah kabut yang mengaburkan kebeningan bashirah kita. Bukankah hati adalah panglima dan komandan bagi seluruh anggota jasad kita?.

Dari Ali RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada satupun hati melainkan ada awannya seperti awan yang menghalangi cahaya bulan. Saat bulan memantulkan cahaya, bila awan menghalanginya maka ia berubah gelap. Namun bila awan berlalu, maka bulanpun kembali bercahaya.” (Al- Bukhari, Fathu al- Bari, 6441).

Dan Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh SAW bersabda: “Berbagai fitnah terus menimpa lubuk hati manusia sedikit demi sedikit bagaikan tenunan sehelai tikar. Hati yang menerimanya, niscaya timbul bercak (noktah) hitam, sedangkan hati yang mengingkarinya (menolak fitnah tersebut), niscaya akan tetap putih (cemerlang). Sehingga hati menjadi dua: yaitu hati yang putih seperti batu yang halus lagi licin, tidak ada fitnah yang membahayakannya selama langit dan bumi masih ada. Adapun hati yang terkena bercak (noktah) hitam, maka (sedikit demi sedikit) akan menjadi hitam legam bagaikan belanga yang tertelungkup (terbalik), tidak lagi mengenal yang ma’ruf (kebaikan) dan tidak mengingkari kemungkaran, kecuali ia mengikuti apa yang dicintai oleh hawa nafsunya.” (Shohih Muslim, 144).

Ada banyak kisah menarik tentang indahnya persahabatan. Namun yang paling indah adalah kisah yang menggambarkan peran sahabat dalam mengingatkan dan menjaga sahabatnya agar selalu dalam bingkai kebaikan.

Salman dan Abu darda’

Maka Salman al- Farisi dipersaudarakan dengan Abu Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi menginap di rumah sahabatnya dan ia melihat ada yang kurang beres dengan sahabatnya itu. ia mulai menunjukkan sikap berlebih-lebihan dalam ibadah semata dengan melalaikan kebutuhan fisik dan hak istrinya. Maka Salman tak mau menyantap makanan yang disuguhkan jika sahabatnya tetap puasa sunnah, dan saat malam tiba dan tuan rumah hendak shalat malam, ia malah menyuruh tuan rumah tidur lagi hingga menjelang pagi. Dan ia menasehati sahabatnya agar seimbang dalam menunaikan hak Allah, hak keluarga dan hak diri pribadinya. Meski awalnya protes hingga mengadu pada Rasulullah, namun akhirnya Abu Darda’ mau menerima dan berubah setelah Rasulullah membenarkan perkataan Salman.

Sebagai saudara, Salman tak melewatkan kesempatan kunjungannya, dan ia tak di belenggu oleh rasa segan, sungkan atau perasaan tak enak untuk menasehati tuan rumah yang menjamunya. Dan ketulusannya telah menyelamatkan sahabatnya dari sikap yang kurang tepat dalam memahami perintah agama.

As-Shiddiq dan Al-Faruq

Mari mengamati apa yang dilakukan Abu Bakar untuk meluruskan Umar saat sahabat ini merasa gusar dan tidak puas dengan point-point perjanjian Hudaibaiyah yang telah di tanda tangani Rasulullah SAW. Dengan penuh keyakinan Abu Bakar berkata:

الْزَمْ غَرْزه فَإِنَّهُ رَسُول اللَّه

Tetaplah mentaatinya, sesungguhnya dia adalah Rasulullah”.

Dan pada peristiwa Riddah setelah wafatnya Rasulullah SAW, Umar termasuk yang menentang ide memerangi orang-orang yang murtad, maka Abu Bakar As- Siddiq menghardik Umar dengan ungkapan:

أجبار في الجاهلية خوار في الإسلام

Apakah kau ganas di masa jahiliyah tapi lembek di masa Islam?”.

Dan sikap Abu Bakar ini turut beperan menempa kepribadian Umar menjadi yang teguh terutama kelak di masa ia menjadi pemimpin.

Burung yang patah sayapnya

Ibrahim bin Adham mengamati sahabatnya, Syaqiq bin Ibrahim Al-Balkhi tampak mulai melenceng dari jalan yang semestinya karena hanya fokus ibadah dan meninggalkan kerja mencari maisyah karena menyangka ini merupakan bentuk kesempurnaan tawakal. Dan orang alim ini mengunjungi sahabatnya untuk mengetahui apa di balik perubahan sikap sahabatnya tersebut. Dan ternyata sebabnya adalah karena sahabatnya itu melihat seekor burung yang kedua sayapnya patah. Burung yang sakit itu didatangai oleh burung yang sehat yang membawa belalang dalam paruhnya. Sejak itu ia memutuskan berhenti bekerja dan menyibukkan diri dengan beribadah saja.

Setelah tahu duduk permasalahnnya, Ibrahim berkata dengan bijak: Lalu mengapa kau tak memilih menjadi burung yang sehat yang memberi makan burung yang sakit hingga kau lebih baik darinya? Tidakkah kau mendengar bahwa Nabi SAW bersabda: “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah?” Dan termasuk ciri orang beriman adalah menggapai derajat yang paling tinggi dalam segala perkara hingga ia sampai pada manzilah hamba yang berbakti”.

Kadang, seseorang bersikap aneh bukan karena niatnya yang buruk, tapi karena cara berfikirnya yang salah. Dan seorang sahabat yang baik akan bersabar mencari jalan untuk menggali latar belakang kesalahan yang dilakukan sahabatnya, bukan langsung menghakimi atau menyindir dan mencelanya.

  • Tanaman yang siap di panen.

Al-Hafidh Zirr bin Habish menulis surat untuk Abdul Malik bin Marwan yang berisi nasehat. Dalam penutup surat tersebut tertulis: “ Wahai amirul mukminin, janganlah kesehatan fisik membuat Anda tamak atas kehidupan yang panjang, karena sesungguhnya Anda lebih tahu tentang diri Anda. Dan ingatlah apa yang dibicarakan oleh orang-orang terdahulu:

Jika manusia telah melahirkan anak keturunannya
Jasad mereka telah lapuk dan layu di makan usia
Berbagai penyakit menjadi kawan sehari-hari
Itulah tanaman yang telah siap di tuai

Ketika Abdul Malik membaca surat itu, ia menangis sampai basah ujung kainnya.

Memang, teman yang jujur akan mengusahakan kebaikan untuk sahabatnya dengan berbagai cara terutama ketika mendapati tanda-tanda bahwa sahabatnya mulai menjauh dari akhlak yang mulia.

Itulah peran seorang sahabat sejati, seseorang yang dirindukan oleh salah satu ulama generasi tabiin, Muhammad bin Wasi’ dengan ucapannya: “Aku tak menginginkan dari dunia ini kecual tiga hal: Saudara yang meluruskanku jika aku bengkok, rezeki sederhana yang tak sulit saat dipertanggungjawabkan, serta shalat jamaah yang menghapus kelalaian shalatku dan keutamaan yang akan ditulis untukku”.

Semoga Allah memberi kita teman dan sahabat sejati, yang banyak jumlahnya, baik dari keluarga dekat kita sendiri, maupun dari orang-orang yang jauh, yang Allah kirimkan sebagai anugrah untuk kita. Sebagaimana pesan penyair Ibnu Rumi

فَكَثّرْ منْ الإخْوَان مَا اسْتَطَعْت     إنَّهُمْ بُطُونٌ إذَا اسْتَنْجَدْتَهُمْ وَظُهُورُ

وَلَيْسَ كَثيراً أَلْفُ خلٍّ وَصَاحبٍ      وَإنَّ عَدُوّاً وَاحداً لَكَثيرُ

Perbanyaklah mencari saudara sepanjang yang kau bisa
Mereka adalah tamengmu saat musibah melanda
Kawan dan sahabat tetaplah sedikit walau berjumlah seribu
Dan yang banyak adalah musuh meski hanya satu

Mengapa demikian? Karena meski jumlah sahabat kita sekian banyak, namun pada saat-saat sulit biasanya hanya sahabat sejati, yang terbukti kredibilitas dan agamanyalah yang hadir dan peduli. Ini seperti yang dikatakan oleh Hassan bin Tsabit dalam syairnya:

وَكُلُّ أَخٍ يَقُولُ أَنَا وَفيٌّ               وَلَكنْ لَيْسَ يَفْعَلُ مَا يَقُولُ

سوَى خلٍّ لَهُ حَسَبٌ وَدينٌ          ذَاكَ لمَا يَقُولُ هُوَ الفَعُولُ

Waalahu a’lam bi showab.

Referensi: Fathu al-Bari, Syarh Nawawi ala Muslim, Tuhfatul Ahwadzi, Al-Mushoffa min shifati du’at, dan sumber lainnya.

(dakwatuna.com/hdn)

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar dan penerjemah yang memiliki minat pada issu seputar wanita dan pendidikan.

Lihat Juga

Pemimpin adalah Cerminan Rakyat

Figure
Organization