Topic
Home / Berita / Opini / Kontroversi Pemindahan Kedubes AS Ke Al-Quds

Kontroversi Pemindahan Kedubes AS Ke Al-Quds

Trump dukung penjajahan Israel. (aljazeera.net)

dakwatuna.com – Terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika bukan saja menuai protes dari rakyat Amerika, tapi juga dunia Islam, termasuk Palestina. Trump dalam kampanyenya pernah berjanji memindahkan kedubesnya dari Tel Aviv  ke Al-Quds, sebuah rencana kontroversi yang mencerminkan kuatnya dukungan presiden baru itu kepada Israel.

Sejak Jumat (20/1/2017) lalu, Trump sudah resmi menjabat sebagi presiden Amerika. Muncul kekhawatiran pemindahan kedubes AS ke Al-Quds benar-benar akan terwujud. Hubungan AS-Israel yang konon 8 tahun membeku di masa Barack Obama, kini kembali mencair. Terbukti adanya undangan resmi Trump kepada PM. Isrel Benjamin Netanyahu untuk menemuinya di Gedung Putih pada bulan Februari ini.

Sebenarnya ide untuk memindahkan kedubes AS ke kota terjajah Al-Quds bagi capres Amerika bukanlah hal baru. Selama ini rencana tersebut ibarat “dagangan yang dijual para capres AS untuk mendapatkan simpati Yahudi.

Adalah mantan presiden Amerika Ronald Regen yang berkuasa hingga awal tahun 90-an, sebagai orang pertama yang mencetuskan ide pemindahan ini. Dan jejak Regen tersebut diikuti oleh capres AS sesudahnya, tapi tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar mewujudkan rencana kontroversi ini.

Secara undang-undang internasional, pemindahan kedubes dari negara manapun ke kota terjajah Al-Quds merupakan sebuah pelanggaran. Karena itu bertentangan dengan resolusi PBB no. 242 yang berisi perintah kepada Israel untuk menarik diri dari wilayah yang didudukinya usai perang 1967, termasuk di dalamnya adalah Al-Quds bagian timur.

Langkah Trump jelas menyalahi resolusi ini, ditambah lagi pemindahan kedubes tersebut memiliki pesan pengakuan Al-Quds sebagai ibukota Israel. Dan memang selama ini sikap Trump mengarah kepada pengakuan tersebut.

Dalam kampanye pilpres beberapa bulan lalu, Trump berjanji kepada PM. Israel Benjamin Netanyahu, jika dirinya terpilih, ia akan mengakui Al-Quds sebagai ibukota Israel.

Bagi Israel sendiri keinginan ini sudah lama didengungkan, tepatnya sejak tahun 1950 lalu. Mereka kemudian merumuskannya melalui parlemen Knesset di tahun 1980, dengan menetapkan Al-Quds (timur dan barat) sebagai ibukota negara Israel, dan keputusan ini ditentang keras oleh PBB.

Kebijakan ini jelas telah melanggar hasil Konvensi Jenewa 1949 yang juga ditandatangani oleh Israel sendiri. Diantara bentuk pelanggarannya adalah tidak melindungi orang-orang yang bukan prajurit. Disamping itu juga telah melakukan perusakan terhadap berbagai fasilitas sipil, seperti rumah sakit, tempat ibadah, rumah penduduk sipil dan lain sebagainya.

Apa yang ditetapkan Knesset itu akhirnya batal dengan sendirinya, dan negara-negara asing yang menempatkan kedubesnya di Al-Quds diminta menarik diri dan memindahkannya ke Tel Aviv. Seandainya Trump benar-benar mewujudkan rencana pemindahan kedubes AS, maka jelas, ia telah mengulang pelanggaran yang sama.

Dengan sikap seperti ini, bagi Israel, Trump merupakan sosok yang paling ditunggu, karena mewujudkan kepentingan Zionis kendati dicap sebagai presiden kontroversial oleh masyarakat dunia. Padahal selama ini Amerika dikenal sebagai pihak yang menginginkan Palestina-Israel berdamai dengan solusi 2 negara berdampingan. Namun AS sendiri yang kini menggagalkannya.

Wajar saja warga Palestina dan dunia Islam melakukan protes keras terhadap kebijakan Trump tersebut. Karena ini menyangkut status kota terjajah Al-Quds, yang didalamnya terdapat masjid suci warisan umat Islam, yang siap dipertahankan hingga titik darah penghabisan. (msy)

 

Redaktur: Muh. Syarief

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Wakil Direktur Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir 2008

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization