Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Demokrasi, yang ‘Kau’ Penjarakan di Bawah Laut

Demokrasi, yang ‘Kau’ Penjarakan di Bawah Laut

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (YouTube)

dakwatuna.com – Indonesia yang dengan segala potensinya. baik dalam sektor riil maupun sektor Sumber Daya Manusianya. Indonesia yang memiliki corak kepribadian yang berbeda dari Negara lain. Sikap dan sifat lemah lembut ramah terhadap orang lain, seolah sudah menjadi corak tersendiri. Indonesia yang memiliki beragam budaya dan bahasa, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Sudahlah, jika kita berbicara Indonesia maka dapat saya katakan ‘tak kan habis’ potensi yang melimpah ini untuk hanya di bicarakan.

Negara dengan landasan atau orang bilang, ini adalah Negara ‘Pancasila’ ini adalah Negara ‘Demokrasi’ ini adalah Negara ‘Hukum’ ini adalah Negara ‘konstitusi’ dan sebagainya. Demokrasi yang semakin hari semakin hangat diperbincangkan, menjadi salah satu ajang untuk kita menagih janji-janji para penguasa di Negara ini. Kasus-kasus negara, mulai dari KKN, penipuan, kenaikan harga BBM, perpolitikan yang semakin semrawut, hak asasi manusia yang tak pandang bulu, penistaan agama, dan sebagainya.

Berbicara demokrasi, yang pada hakikatnya merupakan demokrasi yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila yang terkandung pada Pancasila sebagai dasar negara. Hal itu berarti bahwa hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabat manusia, haruslah menjamin dan mempersatukan bangsa, dan haruslah pula dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Begitulah para aktivis mengatakan penegakan demokrasi, namun pada realitas yang ada saat ini. Demokrasi bagai dipenjara bawah laut. Seakan tak terlihat, pura-pura tak mendengar, pura-pura tuli akan hal-hal yang terjadi di Negara kita saat ini.

Pesta demokrasi yang kita gelar setiap 5 tahun ini haruslah memiliki visi ke depan yang jelas untuk membawa perubahan yang fundamental bagi bangsa Indonesia yang kita cintai ini, Bukan hanya bualan saat kampanye, dekat dengan masyarakat hanya sesaat. Kemudian kalian sesatkan kami ke dalam jurang-jurang kemiskinan yang carut marut. baik dari segi perekonomian, pertahanan, dan persaingan tingkat global. Oleh karena itu, sinkronisasi antara demokrasi dengan pembangunan nasional haruslah sejalan bukan malah sebaliknya demokrasi yang ditegakkan hanya merupakan untuk pemenuhan  kepentingan partai dan sekelompok tertentu saja. Demokrasi yang kita terapkan sekarang haruslah mengacu pada sendi-sendi bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945. Meski pada kenyataannya UUD 1945 dan Pancasila saat ini dipenjarakan di bawah laut, seakan kau lupa akan penegakan-penegakan hukum yang seharusnya kau tegakkan! Kau bela! Bukan kau sembunyikan rapat-rapat. Wahai para penguasa!

Janganlah demokrasi kita itu demokrasi jiplakan.”

Masih teringat jelas, pesan bung Karno. Bahwa demokrasi janganlah demokrasi jiplakan, demokrasi yang di tuntut seperti negara-negara luar. Demokrasi kita memiliki corak, memiliki keunikan, dan tentunya memiliki integritas yang berbeda dengan Negara-negara lainnya. Menurut Soekarno dan Hatta, demokrasi yang diinginkan negara Indonesia yang pada waktu itu sedang diperjuangkan kemerdekaannya, yakni, bukan demokrasi liberal yang biasanya memihak golongan yang kuat sosial ekonominya. Selain itu, Bung Karno menandaskan bahwa negara Indonesia tidak didirikan sebagai tempat merajalelanya kaum kapitalis.

Melihat sejarah di atas, begitu dekat pemimpin kita dengan rakyatnya. Begitu tegas penegakan yang hukum dalam pengimplementasiannya. Untuk mewujudkan budaya demokrasi seperti pesan bung Karno di atas, memanglah tidak mudah. Pada realitas sekarang bahwa demokrasi memang bagai dipenjarakan di bawah laut. Mereka seolah olah diam, pura-pura tak melihat dan tak mendengar. Yang paling utama, tentu saja, adalah adanya niat untuk memahami nilai-nilai demokrasi. Mempraktikkannya secara terus menerus, atau membiasakannya. Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan pembelajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita. Dalam usaha mempraktikkan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan di sana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha memperbaikinya dari hari ke hari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Reni Marlina, kelahiran Garut 03 mei 1997 sekarang duduk di bangku kuliah semester 3 dengan jurusan Perbankan Syariah di STEI SEBI. motto hidup Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. "Teruslah berada dalam barisan ini, Barisan Peradaban Ekonom Rabbani"

Lihat Juga

Tegas! Di Hadapan Anggota DK PBB, Menlu RI Desak Blokade Gaza Segera Dihentikan

Figure
Organization