Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Jangan-Jangan Kitalah Golongan Muthaffifin Itu

Jangan-Jangan Kitalah Golongan Muthaffifin Itu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sungguh, surat al-Muthaffifin adalah rangkaian ayat yang menghentak dan menghenyakkan; bukan hanya orang-orang kafir yang ingkar pada nilai-nilai Islam, tapi juga kaum muslimin yang sejak awal beriman dengan wahyu yang turun dari waktu ke waktu. Surat ini menjadi reformasi bukan hanya dalam tatanan ekonomi, tapi sisi-sisi kehidupan lain yang krusial.

Surat ini semacam pengumuman perang bagi kaum musyrikin dan semua orang-orang yang culas, serakah, dan sewenang-wenang, serta terbiasa memanfaatkan kelemahan orang lain untuk menangguk keuntungan, bahwa masa-masa kejayaan mereka akan segera sirna. Akan ada babak baru dalam tata nilai kehidupan yang penuh keadilan, yang mendobrak keangkuhan sistem dan tatanan hidup penuh kerancuan dan kezhaliman yang mereka buat dan jalankan secara sistematis.

Maka tak heran jika kaum Quraisy demikian gigih menolak kedatangan Islam, padahal mereka sebelumnya tahu dan percaya bahwa yang menciptakan dan memberi rizki mereka adalah Allah. Karena mereka sadar menerima Islam artinya harus rela diatur dan diarahkan dengan sistim Rabbani. Harus merelakan runtuhnya kemapanan sosial, politik, dan ekonomi mereka yang tegak di atas fondasi kebohongan, dusta, kezhaliman dan riba yang turun temurun. Merelakan hilangnya sensasi menjadi penguasa dan golongan elit yang penuh kepongahan serta perasaan superior dengan berbagai keistimewaan. Sedangkan mereka sudah terbiasa dan mapan dengan hal-hal seperti ini. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan ibadah haji, orang-orang Arab jahiliyah tawaf bertelanjang kecuali orang Quraisy, karena keyakinan yang entah di dapat dari mana, bahwa kain yang dikenakan selain golongan mereka tidak layak untuk kesucian Ka’bah, sehingga orang-orang tersebut baru memakai pakaian setelah meminta kepada orang Quraisy. Orang Quraisy juga merasa kelompok VVIP, maka tak perlu memulai tawaf dari tempat orang lain memulai, mereka menetapkan jalur khusus untuk mereka lalui. Belum lagi sistem riba yang mereka jalankan yang didukung oleh status sosial, monopoli kekayaan dan penguasaan pasar yang membuat orang lain tak lagi punya banyak pilihan. Maka kita lihat bagaimana mereka berperang dengan ganas untuk membendung arus Islam demi mempertahankan semua kenyamanan tersebut dan agar tak turun derajatnya menjadi warga biasa yang duduk sama rendah berdiri sama tinggi dihadapan hukum Islam.

Surat ini juga menjadi ketetapan bagi kaum mukminin, bahwa nilai-nilai rabbani yang memenuhi relung hati mereka harus pula merambat dan menjalar hingga memenuhi ruang-ruang kehidupan nyata. Kalimat-kalimat tauhid yang berkumandang dalam adzan dan iqomah, yang terlantun dalam gerakan shalat dan munajat, tak akan banyak bermakna kecuali setelah mereka bawa dalam gerak menimbang dan menakar barang di pasar dan tempat-tempat perniagaan, dalam amal di tempat kerja, dalam kehidupan keluarga, bertetangga, bermasyarakat dan bernegara. Islam adalah keyakinan yang mengakar dalam hati, serta akhlak yang kokoh dalam amal dan gerak kehidupan sehari-hari.

Sehingga, seorang mukmin harus punya kontribusi sekecil apapun, untuk menjadikan agama ini tegak di mana-mana. Bukan hanya seruan dan retorika di mimbar-mimbar, namun terwujud dalam praktek jual beli di pasar, dalam lembaga, instansi, dan berbagai sisi kehidupan yang mereka jalani. Seorang muslim harus mendakwahkan nilai-nilai Islam melalui perannya sebagai guru, pengusaha, hakim dan penguasa. Bahkan jika tak ada pilihan lain selain pekerjaan yang rendah di hadapan manusia seperti kuli, tukang sapu atau pemulung, itu jauh lebih mulia dari pada mengulurkan tangan meminta-minta, dan di situlah wujud kontribusinya. Maka tak heran jika Umar menghardik orang yang masih khusyu’ bersimpuh di masjid saat matahari telah meninggi: “Sungguh langit tak akan menurunkan emas dan perak!”.  Seseorang harus berusaha untuk menunaikan hak-hak anak istri dan orang yang ada dalam tanggungannya secara sempurna. Karena ukurannya bukan banyak atau sedikit, tapi sejauh kemampuan yang telah dicobanya.

Abdurrahman bin Auf ketika datang ke Madinah dan mendapat tawaran harta dari orang Anshor, ia menolak dan hanya berkata: “Tunjukkan padaku di mana pasar”. Ia tak rela meminta-minta. Dan meski tak punya modal kecuali keinginan menjaga izzah dan berkontribusi melalui bisnis Islami itu akhirnya mampu menaklukkan pasar, dan menjadi salah satu penyokong dakwah dengan hartanya yang melimpah.

Surat ini menjadi pengumuman bahwa agama bukan sekedar urusan pribadi dan ranah privasi, serta hubungan seorang hamba dengan Sang Pencipta yang hanya terbatas pada tiang-tiang dan dinding rumah ibadah dan halaqoh-halaqoh ilmu. Agama tak mungkin terpisah dari urusan politik, hukum, perundangan dan pemerintahan. Dan negara punya hak bahkan kewajiban untuk ikut campur mengatur dan mengawasi pelaksanaan nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat, yang diantaranya terkait dengan bidang ekonomi. Karena itu, Rasulullah marah ketika menjumpai makanan di pasar yang bagian atasnya bagus namun dalamnya berkwalitas rendah:

مَنْ غَشّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa berlaku curang kepada kami, maka dia bukan bagian dari kami”. Makudnya dia bukan termasuk sahabat kami, tidak berada pada jalan dan petunjuk kami. (Tafsir al-Qurthubi, 3/252).

Bayangkan, statement Rasulullah ‘Bukan dari golongan kami’, yang ditafsirkan sebagian ulama dengan berbagai tafsirannya, ditujukan kepada seorang pedagang hanya karena barang jualannya berkualitas buruk akibat kehujanan dan ia takut rugi sehingga tidak jujur menampakkan aib dagangannya. Kira-kira apa reaksi Rasulullah kalau tahu ada pedagang yang tidak hanya mencampur susu dengan air, atau buah yang manis dengan yang asam, namun mereka menambahkan bahan yang haram, bahkan racun berbahaya dalam makanan yang mereka jual? Allahummaghfir lana …

Dan ghisy atau berlaku curang dan memanipulasi ini meliputi segala hal. Mencampur susu, minyak, atau tepung yang baik dengan yang jelek, baik yang sejenis maupun dengan bahan yang berbeda, serta yang berupa makanan maupun selain makanan seperti bahan pakaian, termasuk memanipulasi  daging agar terlihat gemuk. (lihat Hasyiah as-Showi ‘ala Syarh as-Shagir, 6/290). Bukankah ini semua nyata dan ada di pasar-pasar kita?

Rasulullah juga ikut campur tangan dalam urusan keluarga; dalam konflik yang terjadi antara suami dan istrinya, atau ayah yang hendak menikahkan putrinya dengan paksa, termasuk mengarahkan seberapa banyak seseorang boleh menghibahkan hartanya dan bagaimana mengalokasikan assetnya setelah ia tiada. Semua urusan pribadi tidak lagi  menjadi masalah privasi jika ada takaran yang tidak pada tempatnya, jika ada yang terkurangi dan tidak tertunaikan haknya.

Maka Umar sebagai khalifah juga mengontrol dan membuat peraturan di pasar, melarang orang berjualan di pasar jika dia tak paham hukum fikih jual beli, termasuk mengusir pedagang yang menjual dengan harga di bawah standar karena akan merusak harga pasar.

Jadi pemerintah punya kewajiban membuat regulasi untuk menstabilkan ekonomi. Tak berlebihan jika ada yang berpendapat bahwa surat ini merupakan  Non-Traditional Security  pertama di dunia, yang telah ada lebih dari 14 abad yang lalu. Cara yang efektif untuk menciptakan keamanan dengan mewujudkan keadilan dan kemapanan ekonomi masyarakatnya. Dan akhirnya, penduduk Madinah yang sebelumnya adalah orang yang paling buruk takarannya, setelah Allah menurunkan surat Al-Muthaffifin mereka akhirnya berubah menjadi orang-orang yang jujur dan tepat dalam menimbang dan menunaikan hak manusia.

Urgentnya urusan takaran dan timbangan

Surat Al-Muthaffifin berbicara tentang akhlak dan perilaku yang sangat spesifik, yaitu akhlak dalam muamalah, lebih spesifik lagi akhlak ketika menakar dan menimbang. Ini berbeda dengan rangkaian wahyu yang turun sebelumnya, yang menitikberatkan pada penanaman fondasi keimanan, terutama iman kepada hari pembalasan, serta hubungannya dengan akhlak dan perilaku secara global. Surat ini menjadi  ujian bagi orang-orang beriman, apakah keimanan mereka pada hari akhir serta nilai-nilai Islam lainnya yang terus-menerus dipancangkan itu jujur atau baru sampai level wacana dan pengetahuan.

Surat ini berbicara dengan bahasa yang lugas, tegas bahkan nada ancaman yang sangat keras. Kecelakaan bagi orang-orang yang curang dan mengurangi timbangan!

Allah mengancam mereka dengan al-Wail.  Apa itu al-Wail?  Yakni kecelakaan dan kehancuran, atau  adzab yang pedih, atau lembah di neraka Jahannam, jika orang kafir di lempar kedalamnya, maka selama 40 musim dia masih melayang-layang belum juga sampai ke dasarnya.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa takaran dan timbangan menjadi isu sentral dalam surat yang mulia ini? Dan mengapa kecurangan yang hanya sedikit itu,  yang seringkali pembeli tidak menyadari kalau mereka dirugikan tapi dibalas dengan ancaman dalam satu surat penuh yang bahkan menjadi nama surat tersebut?

Di antara rahasianya adalah karena seluruh manusia tak bisa melepasakan diri dari muamalah dengan takaran dan timbangan, dari aktifitas membeli dan menjual dengan berbagai bentuk dan sistimnya. Sehingga, kezhaliman sekecil apapun dalam muamalah, akan mempengaruhi hajat mereka. Dan kejahatan besar dalam dunia ekonomi yang sangat dilarang dalam Islam seperti menimbun barang, memonopoli, melakukan transaksi riba, dan praktek yang merugikan lainnya berawal dari kecurangan yang kecil. Jika seseorang curang dalam jual beli, sangat dimungkinkan ia akan mudah melakukan kecurangan dalam urusan yang lain.

Hikmah lainnya, karena tujuan agama adalah menjaga jiwa manusia, kehormatan, keturunan dan harta mereka. Sehingga timbangan adalah sarana penting yang tidak boleh menjadi monopoli sebagian pihak dan menjadi sarana untuk merugikan pihak lain. Bukankah  kecurangan meski sedikit tapi dilakukan dengan sengaja adalah salah satu tanda bahwa keimanan akan hal-hal yang gaib masih lemah? Ketika seseorang mengurangi takaran, maka dia lupa ada malaikat yang mengawasi dan mencatat kecurangannya.

Timbangan atau neraca adalah alat untuk mengontrol keseimbangan semua sisi kehidupan, untuk mengukur barang dagangan maupun nilai perbuatan. Karenanya banyak ayat  tentang neraca timbangan ini dalam Al-Qur’an. Dalam surat QS. Ar-Rahman:7-8 misalnya, Allah menyandingkan timbangan dengan urusan tegaknya langit yang tinggi:

“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu”.

Dalam surat Al-Hadid timbangan disandingkan dengan diutusnya para rasul dan kitab-kitab yang menyertai mereka:

Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Belum lagi ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan dan tidak berlaku curang dalam timbangan.

Jika timbangan condong atau bahkan ambruk, berjatuhanlah segala tatanan dan nilai yang ada di bawah langit ini. Sehingga Allah memerintahkan tegaknya neraca keadilan, dan semua perbuatan yang merugikan orang lain adalah bentuk kezhaliman yang diharamkan oleh Allah, sebagaimana disampaikan Rasulullah dalam hadits qudsi:

يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا

Wahai hamba-hambaku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diriKu, dan Aku menjadikan kezhaliman di antara kalian adalah haram, maka janganlah kalian saling menzhalimi”. (HR. Muslim).

Rasulullah juga bersabda: “Kezhaliman adalah kegelapan pada hari kiamat”.

Dan sungguh indah nasehat Ibnu al-Jauzi yang menerangkan bahwa kezhaliman mencakup dua macam maksiat; yaitu mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak hak, dan yang kedua adalah menantang Allah dengan menyalahi aturan-Nya dan maksiat dengan melanggar hak orang lebih lebih berat karena umumnya menimpa mereka yang lemah yang tak kuasa untuk memenangkan perkara. Dan kezhaliman itu muncul dari kegelapan hati, karena jika hati disinari cahaya petunjuk, pasti ia akan mampu mengambil pelajaran.

Ini bukan untuk membelenggu kreatifitas manusia dan melemahkan usaha mereka dengan berbagai peringatan dan ancaman jika berlaku curang, justru Islam sangat mendorong ummatnya untuk berkembang, beredar dan menyebar ke muka bumi mencari keberuntungan, dan membuka kesempatan lebar untuk semua orang bersaing, berlomba, namun dengan prinsip:

… kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqoroh:279)

Inilah prinsip dalam muamalah antar manusia; prinsip adil, transparansi, fair, tidak boleh menganiaya dan tidak akan dianiaya. Tidak boleh merugikan orang dan akan di advokasi jika ia dirugikan. Sedangkan orang yang berlaku curang sudah pasti merugikan meski dalam kadar yang sedikit, karena itulah Islam memerangi perbuatan mereka.

Kita juga mendapati banyak hadits yang senafas dengan prinsip ini, dalam konteks yang berbeda-beda, di antaranya dalam hadis riwayat Shahih Bukhari:

»  مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ

Menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu adalah suatu kezhaliman”.

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikanlah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya”. (Sunan Ibnu Majah).

لَا يَحِلُّ مَالُ اِمْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا عَنْ طِيبٍ نَفْس

Tidak halal harta seorang mukmin kecuali dengan kerelaan hatinya”.

Dan Ibnu Hajar menerangkan haramnya mengambil harta seorang muslim ini mencakup harta dalam jumlah banyak maupun hanya sedikit.

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنْ الْأَرْض بِغَيْرِ حَقٍّ طَوَّقَهُ اللَّهُ فِي سَبْع أَرَضِينَ يَوْم الْقِيَامَة

Barangsiapa mengambil sejengkal tanah yang bukan haknya, maka akan ditimpakan padanya dari tujuh lapisan bumi pada hari kiamat”. (HR. Muslim).

Golongan muthaffifin

Apa arti Muthaffifin?

Al-muthaffifin berasal dari kata Thofif yang artinya tidak sempurna, sesuatu yang hanya sedikit dan remeh. Thaffafa ‘ala fulan maksudnya: memberikan seseorang tidak sebanding dengan apa yang ia ambil darinya. Thaffafa ‘ala ‘iyalihi artinya: pelit dan sedikit dalam memberi nafkah keluarganya. Thaffafa al-mikyal au al-mizan: mengurangi takaran atau timbangan.  Al-muthaffif adalah orang yang mengurangi, dan hakekatnya adalah mengurangi sedikit timbangan atau takaran. Dan Az-Zajjaj menerangkan: Orang yang mengurangi timbangan dan takaran disebut muthaffif karena dia tidak mencuri timbangan kecuali hanya sedikit.

Intinya, muthaffifun adalah orang-orang yang tidak menunaikan hak orang lain sebagaimana mestinya, namun meminta haknya tertunai secara sempurna.

Maka muthaffif adalah, sebagaimana dikatakan pengarang tafsir Adhwaul Bayan, orang  yang memanipulasi barang dagangan, menyembunyikan cacat, menambah atau mengurangi jumlah barang atau meteran, orang yang curang dalam timbangan, dan mereka ini masuk dalam kategori yang mendapat ancaman dengan al-Wail.

Maka termasuk mutaffif adalah orang yang curang dalam shalatnya, yang lalai dan riya’ ketika mengerjakannya, dan ancamannya juga al-Wail. Salman al- Farisi berkata: “Sholat adalah takaran, barangsiapa menyempurnakanya, maka dia akan disempurnakan, dan barangsiapa berlaku curang, maka kalian telah mengetahui apa yang (Allah) firmankan mengenai orang-orang yang berlaku curang”. (Majmu’ al-Fatawa Ibnu Taimiah).

Maka termasuk mutaffif, orang yang suka mengumpat dan mencela, yang gemar menebar gosip dan fitnah padahal dirinya tidak mau diperlakukan serupa, dan ancaman baginya juga al-Wail.

Maka termasuk golongan Muthaffifin , sebagaimana disebutkan oleh pengarang tafsir  At-Tustari, orang-orang munafiq dan siapa saja yang berakhlak dengan akhlak mereka.

Dan termasuk golongan muthaffifin adalah, sebagaimana menurut pendapat Al-Qushairi, orang-orang yang bermuamalah dengan standar ganda,  jika mengambil haknya, mereka meminta sempurna, dan jika memberikan orang lain, mereka menguranginya. Dan ini terlihat ketika menimbang, menakar, menampakkan aib, membayar tanggungan,  menunaikan pekerjaan, dan menuntut hak.

Kesimpulannya: Bisa jadi muthaffif adalah suami atau istri yang menuntut haknya secara sempurna, namun lalai menunaikan kewajibannya. Atau seorang pekerja yang mengambil upahnya dengan gembira tapi bermalas-malasan dan tak mau melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawabnya padahal ia bisa. Atau majikan yang menuntut kerja keras karyawannya tapi terlambat atau mengurangi gaji mereka. Atau orang yang tiap saat menagih hutang tapi giliran punya tanggungan selalu mengulur-ulur pembayarannya padahal ia mampu untuk itu, atau orang yang menyelipkan barang yang buruk dalam dagangannya, atau pemimpin dan pemegang jabatan yang menerapkan kebijakan tajam ke bawah tumpul ke atas demi keselamatan dirinya, serta siapa saja yang dengan kesadaran ingin selalu mendapat kenyamanan dan keuntungan dalam hidup berkeluarga, bertetangga, dan berjamaah, dan tidak berusaha melakukan hal sama untuk pihak lain, dan otomatis konsekwensinya merugikan orang lain, dan pelakunya mendapat ancaman dengan al-Wail.

Apapun arti kata ‘al-Wail’, ia tetaplah ancaman yang datang dari Allah, yang sudah pasti bernilai keburukan dan kerugian, bahkan kebinasaan.

Namun jika telah berusaha maksimal untuk adil dalam memperlakukan dan menunaikan hak orang lain tapi masih saja ada kesalahan, ketidaktepatan dan kekurangsempurnaan, maka itu tidaklah mengapa dan pelakunya bukanlah termasuk golongan ini.

Ya Rabb, ampuni kami jika kami belum menyempurnakan ukuran sholat kami, belum sempurna menunaikan hak orang tua, keluarga, guru, sahabat, rekan kerja, karyawan, tetangga, orang yang berbisnis dengan kami, orang yang pernah taaruf dengan kami, atau orang yang pernah berjasa meminjamkan uang atau barangnya, juga orang-orang yang pernah Kau takdirkan berjumpa namun kami tidak kenal mereka.  Jangan Kau biarkan mereka menuntut kami dan mengambil amal kebaikan kami di akhirat nanti, bukalah pintu hati mereka agar memaafkan kekhilafan kami.

Sungguh, Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, atas rahmat-Mu, kami telah berusaha sekuat tenaga untuk berlaku adil, jujur dan menghindari kecurangan meski sedikit, maka maafkanlah kami. Sungguh kami yakin bahwa Engkau tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Dan sebaik-baik doa yang bisa kami lantunkan adalah: “Wahai Rabb kami, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak memberi ampunan untuk kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi”.  Amin…

Point penting

  • Surat ini adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah yang menjaga manusia dari kenestapaan yang hakiki dengan larangan merugikan dan menzhalimi orang lain meski dalam hal yang sangat sepele. Karena kezhaliman yang terkait dengan hak Allah akan dihapuskan dengan taubat. Namun kezhaliman yang menyangkut hak makhluk, maka urusannya akan dibawa ke akhirat. Allah akan mengambil pahala orang yang zhalim dan diberikan pada orang yang terzhalimi, jika tak mencukupi, maka dosa orang yang terzhalimi akan ditimpakan kepada yang menzhalimi hingga terbayar secara impas dan sempurna, adakah musibah yang lebih besar dari ini? naudzu billah min dzalik.
  • Keyakinan akan hari kebangkitan akan menjadi benteng tangguh dari semua tindak kebodohan di dunia ini. Iya, kebodohan yang sangat, karena berlomba mengambil keuntungan dengan menimpakan kerugian pada orang lain demi keuntungan yang sangat sedkiti, demi hal yang sangat remeh, karena sebanyak apapun keuntungan yang diraih, tetaplah sedikit dibanding ancaman adzab yang akan diterima. Jadi sungguh kerugian yang amat nyata.
  • Bisa dikatakan surat ini adalah ancaman bagi siapa saja yang menerapkan standar ganda, yang terbiasa dengan prinsip menang kalah, serta bangga dengan hukum rimba, dalam muamalah iqtishodiyah, maupun muamalah ijtima’iyah pada umumnya, bahwa mereka akan menemui peradilan di hari kebangkitan, amalannya akan ditimbang dengan neraca yang maha teliti dan akurat sedang dia tak bisa mengubah keputusannya. Jika ingin untung, maka seseorang harus adil dan jujur ketika menimbang selagi keputusan ada di tangannya.

Wallahu a’lam bi showab

Reverensi: Tafsir Ibnu Katsir, Fi Dhilal al-Qur’an, Adhwaul Bayan, Al-Khazin, dll.

(dakwatuna.com/hdn)

 

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar dan penerjemah yang memiliki minat pada issu seputar wanita dan pendidikan.

Lihat Juga

Bendungan Ma’rib dan Kaum Anshar

Figure
Organization