Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Anak / Catatan Kecil dalam Mendidik Anak

Catatan Kecil dalam Mendidik Anak

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

 

Ilustrasi - Muslimah didik anak (photobucket.com - Dianputeri)
Ilustrasi – Muslimah didik anak (photobucket.com – Dianputeri)

dakwatuna.com – Ada seorang sahabat, pengantin baru yang alhamdulillah tanpa menunggu lama telah diamanahi kehamilan, mari kita doakan semoga beliau dan suami serta anak yang dikandung senantiasa dalam lindungan dan pertolongan Allah. Sahabat saya ini tengah semangat-semangatnya menyiapkan bekal untuk menjadi orang tua terbaik, semoga Allah Swt. mengabulkan apa yang ia cita-citakan.

Sahabat di atas mengirimi saya tulisan dari seorang blogger, tema tulisan berkenaan cara mendidik anak, tulisan tersebut cukup menginspirasi, namun rupanya isi tulisan masih menyisakan kegelisahan di benak sahabat saya. Melalui tulisan ini saya mencoba berbagi sudut pandang berkenaan tema tersebut, semoga bermanfaat.

Anak dan “Menjadi Orang Tua”

Banyak ahli psikologi yang berbeda pendapat terkait rentang usia sehingga seseorang bisa disebut anak. Saya tak akan mempermasalahkan hal ini lebih jauh karena saya merasa ada hal lain yang lebih penting dibanding hal ini, pembahasan anak “mau jadi apa” saya rasa lebih menarik dan relevan.

Anak adalah titipan, modal bagi sepasang suami istri−sengaja saya membahasakan “suami istri” karena sering kita temukan suami istri yang belum mencapai derajat “orang tua”−untuk beroleh surga atau neraka. Menjadi anak tak perlu syarat, lain halnya untuk menjadi orang tua, suami istri harus bersusah payah, dan keberadaan anak menjadi prasyarat untuk mencapainya.

Anak itu modal, hal yang penting dalam mengelola modal (anak) adalah kesiapan dan kecakapan sang pengelola modal (suami istri). Kesiapan berawal dari kesediaan menjadi orang tua, sedangkan kecakapan tak akan hadir tanpa adanya iman dan ilmu. Dengan iman, tak akan kehilangan arah, semata lillah. Dan hanya dengan ilmu, ikhtiar kita akan bermutu.

Tanpa iman dan ilmu kita bisa lelah hanya karena marah, bisa mudah capek hanya karena hal sepele. Keajaiban yang bisa dihadirkan iman dan ilmu, kita masih bisa berpuas hati dan menampilkan wajah berseri, sepelik dan sesakit apapun ujian yang dilewati.

Saya berpendapat “orang tua” itu ibarat kata kerja. Seseorang boleh saja bertambah tua, namun belum tentu bertambah dewasa, harus ada ikhtiar di sana. Kita boleh saja menyebut diri sebagai orang tua, tapi tanpa mujahadah dapatkah kita menjadi orang tua? Bukankah menjadi orang tua lebih berarti dibanding disebut orang tua?

Mendidik Anak Mengenal Allah

Mengenalkan Allah kepada anak menjadi tugas pertama orang tua. Dari sejak kandungan sudah dibacakan ayat-ayat Quran, bukan Mozart atau musik-musik klasik, karena alunan firman Allah pastilah yang terbaik. Saat anak mulai pandai meminta ini dan itu, jangan sampai kita mengumbar kesaktian uang, misal “Nanti nak, ayah belum punya uang”, betapa saktinya uang dalam benak anak jika kalimat semacam ini yang sering diumbar, akan tergambar dalam pikiran anak betapa uang bisa memberi ini dan itu. Wahai orang tua, lebih baik katakanlah, “Iya Nak tolong bantu doakan ayah, moga Allah memberi ayah rezeki untuk membelikan barang yang kamu minta”, tentu jika hal ini dibiasakan akan terbayang di benak anak betapa hebatnya Allah yang bisa memberi ini dan itu. Di setiap saat selalu kenalkan Allah, seperti ucapan seorang ustadz, Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.

Memfasilitasi Anak

Banyak orang tua yang menginginkan anaknya tak sesusah dirinya waktu dulu, ini tentu suatu niatan mulia. Namun, pemberian fasilitas harus diiringi kebijaksanaan dan demi maslahat yang lebih besar. Anak diberi kemudahan dalam beberapa kondisi untuk menandakan bahwa orang tua memang mencintainya dan rela berkorban untuknya. Kemudahan fasilitas yang diberikan kepada anak adalah peluang bagi orang tua untuk meninggalkan kesan baik di benak anak, kesan yang baik tentu akan menumbuhkan dan membesarkan cinta dan sayang.

Kemudahan adalah satu sisi, tak akan seimbang jika tanpa sisi lainnya, sisi lainnya ialah kesulitan. Anak dalam beberapa kondisi perlu dididik dengan kesulitan untuk mengenal susah payah, juga belajar kesabaran dan kerelaan berkorban. Kebijaksanaan amat penting dalam mendidik anak dengan kemudahan dan kesulitan. Jangan sampai keberadaan fasilitas membuat anak menjadi terlena bahkan manja, juga jangan ketiadaan fasilitas membuat anak sampai merana. Menikmati kemudahan bukanlah dosa, mengalami kesulitan bukanlah nista, kemudahan atau kesulitan merupakan ujian. Pilihlah hal-hal substansial yang harus dihadirkan dalam bentuk kemudahan dan kesulitan, dengan sarana kemudahan dan kesulitan biarkan anak berkembang.

Kemudahan dan kesulitan ialah satu paket, hidup akan mensyaratkan kemudahan dan kesulitan. Manusia akan lemah jika terus ditekan tanpa diberi kemudahan, juga manusia akan jumawa jika tak pernah diberi kesulitan, kemudahan dan kesulitan sama pentingnya. Namun ada hal yang lebih penting dibanding kemudahan dan kesulitan, yaitu kesadaran bahwa segala sesuatu yang kita terima ialah ujian yang kelak dimintai pertanggungjawaban.

Menyamankan Anak

Nyaman yang diciptakan orang tua materialis dan sekuler berfokus pada harta dan fasilitas, nyaman semacam ini rapuh, dengan ketiadaan harta tentu nyaman semacam ini segera runtuh. Padahal, nyaman yang sesungguhnya ialah nyaman jiwa, melalui hati yang berinteraksi demi ridha ilahi. Nyaman yang semata agar Allah menurunkan rahmatnya, ia yang rela mengorbankan kesenangannya demi kenyamanan bersama, ia yang rela berbagi suka dan duka, dengan mata yang memancar cinta, dengan telinga yang memberi ruang bagi cerita, dengan lidah yang lembut dalam bertutur kata. Tahukah Anda, miskin yang sesungguhnya ialah miskin pengorbanan dan pengertian, kaya yang sesungguhnya ialah kaya akan kerelaan dan pemahaman.

Menghadapi Persaingan Hidup

Tiap manusia dari tiap zaman menghadapi kesulitan yang khas, orang tua era 60-an mungkin hanya bersaing dengan 3 miliar manusia dibanding kita yang kini bersaing dengan 7 miliar manusia. Namun, apakah menghadapi 3 miliar berarti lebih mudah dibanding menghadapi 7 miliar manusia?. Jumlah saingan dalam kompetisi terkadang tiada berarti, karena saingan nomor satu sesungguhnya hanyalah diri sendiri, maukah kita menjadi versi yang terbaik dari diri ini.

Tiap pribadi itu khas, memiliki keunikan potensi dan memiliki jalur takdirnya sendiri. Tak peduli berapa puluh miliar manusia yang menjadi saingan, yang terpenting bukan yang orang lain lakukan, melainkan apa yang diri sendiri lakukan. Didiklah anak menjadi pribadi penjunjung kebenaran sejati, dunia hanyalah ladang untuk bekal kehidupan akhirat nanti. Mengutip perkataan Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi, “Dunia ini terlalu penting untuk diabaikan, tapi terlalu sepele untuk dijadikan tujuan”.

Sekian, mohon maaf untuk hal-hal yang kurang berkenan.

Wallahu A’lam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Eks Sekretaris Umum LDK UKDM Universitas Pendidikan Indonesia dan Lulusan Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Pendidikan Indonesia

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization