Topic
Home / Pemuda / Essay / Sepotong Diary Seorang Ikhwan

Sepotong Diary Seorang Ikhwan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (Danang Kawantoro)
Ilustrasi (Danang Kawantoro)

dakwatuna.com – Dear, diary…

Sesungguhnya perasaan ini sudah terlalu lama terpendam, apalah daya! Jemari tak kuasa menuliskan bait-bait sederhana kepada si dia. Berulang kali gue coba namun gagal lagi. Maka gue simpen aja cerita ini bersamamu, catatan harianku. Satu-satunya tempat gue berbagi setelah kepada Allah Rabbul Izzati. Tempat di mana gue terbiasa bercerita banyak hal tanpa harus merasa risih, hingga kadang tak ada lagi hijab yang membatasi.

Jadi begini, my diary…

Berulang kali gue sudah mengalami begitu banyak transformasi ketertarikan terhadap lawan jenis. Gue udah gonta-ganti parameter standar dan kualifikasi seorang makhluk bernama cewe kemudian bisa gue sebut cantik hingga menggoda hati. Semisal sewaktu Sekolah Dasar, cewe cantik yang menawan bagi gue adalah yang rambutnya bergelombang kasar. Hingga suatu ketika gue pernah suka ama temen cewe berambut ikal yang bergelombang, namun di kemudian hari ternyata doi malahan suka ama temen seperjuangan. Ini semacam bertepuk tangan dengan parutan, sakit banget tak tertahankan. Merasa tercampakkan sejak dini. Saat masuk Sekolah Menengah Pertama, standar cewe cantik bagi gue adalah yang berambut lurus nan panjang. Maka gue pernah jatuh hati ama cewe berambut lurus yang pertama kali ketemu di parkiran. Hingga di suatu ketika, ternyata doi tahu kalau gue sedang kesengsem ama si dia, eh doi nolak gue sebelum gue tembak. Ini sangat menyesakkan dada. Padahal gue kagak pernah berniat nembak si dia, bisa mengaguminya saja sudahlah cukup bagiku. Bukaaann! bukan karena kepengen jadi yang halal dan gak mau pacaran. Tapi karena gue sadar pasti bakalan ditolak kalau gue nekat nembak. Dan yang terjadi maka terjadilah, doi ngasih gue sesuatu. Sebuah surat cinta yang gue terima pertama kalinya dalam hidup. Namun sayang, alih-alih berharap isinya ajakan pacaran justru terjajar rapi bait-bait penolakan.

“Maaf, aku tidak bisa membalas cintamu, lupakanlah saja aku.”

Gue pun nangis sejadi-jadinya. Esok paginya gempar, masuk dalam berita mading sekolahan. Tercantum dalam headline secara gamblang,

“Mengenaskan! Seorang siswa ditolak sebelum menembak”.

Kesedihan gue makin mendalam. Kayaknya waktu kecil gue emang kaga pernah disuntik campak apa ya, sebegitu mudahnya gue dicampakkan seenaknya. Beginilah cinta, deritanya tak terkira. Gue makin trauma berinteraksi dengan mahkluk bernama cinta.

Dear, diary

Saat menginjak bangku Sekolah Menengah Atas, gue mulai insyaf. Transformasi naik kelas. Cewe cakep bagi gue itu yang pakai jilbab. Dulu gue belum tahu apa itu hijab. Yang gue tau hijab itu ya semacam papan kayu atau kain lebar pembatas shalat untuk putra putri di mushala desa. Maka, gue pun pernah tertarik ama cewe berjilbab yang ceritanya kaga perlu gue ceritain lagi. Sama sedihnya.

Nah, ini klimaksnya. Semasa di perguruan tinggi bernama Gadjah Mada University ini, gue punya standar cantik yang lebih menentramkan hati. And you know so well lah, my diary! Yups, tepat sekali tebakanmu. Cewe yang berkibar-kibar itu. Kalau kata temen-temen gue yang di masjid, mereka adalah sejenis cewe bergelar akhwat berhijab. Siapa yang kagak takjub ama doi. Keputusannya untuk bersumuk gerah ria berbalut kain rapi di seluruh tubuhnya, konon kabarnya sebagai wujud doi memenuhi perintah Tuhannya. Bayangin aja, doi ama Allah aja sebegitu taatnya, apalagi ama suaminya? Apa kagak lemah lunglai gue dibuatnya. Secara, gue sekarang juga beralmamater sebagai anak masjid begini, yang kemudian tertokohkan diri sebagai ikhwan shalih sekali, seringkali gue harus berperang ama diri pribadi dalam hal menjaga pandangan dan juga hati. Kalau di dunia nyata, saat interaksi langsung mah insyaAllah gue bisa ngejaga ni mata. Mana berani gue untuk sekadar melirik si doi, kalaupun harus tatap muka ya secukupnya saja. Kalau pas misal lagi nakal, ya meliriknya agak lama, itupun sembunyi-sembunyi ngelakuinnya. Tapi kalau pas di dunia maya, ampuuunn dah! Kadang suka ada foto profil akhwat anggun shalihah militan yang tetiba lewat di beranda sosial media. Kalau udah begini biasanya setan mulai menjalankan makarnya.

“Di liat aja gak papa, cuma sebentar aja. Lagian kagak ada yang tau.” Bisiknya merayu. Lantas gue bisa apa? Ya kalau pas lagi iman membara, bagaimana saat sebaliknya?

Karena memang, dimensi cinta lelaki dan perempuan itu beda. Lelaki lebih mudah mencintai pada apa-apa yang berawal dari fisik dan pandangan pertama. Sedang perempuan, seringkali mengawali rasa cinta pada pensifatan. Pada keduanya, setan selalu saja menemukan jalan untuk merencanakan makar godaan.

Maka di dunia lelaki, termasuk gue yang bergelar ikhwan begini, seringkali semacam terpesona oleh kenampakan fisik pada pandangan pertama. Rasa ketertarikan tergantung pada parameter yang digunakan. Rambut bergelombang semasa Sekolah Dasar misalnya, rambut lurus semasa Sekolah Menengah Pertama contohnya, yang berjilbab saat Sekolah Menengah Atas salah satu di antaranya, dan yang berhijab rapi semasa kuliah bisa jadi. Sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menangah Atas, bolehlah dikatakan ketertarikan karena nafsu belaka, soalnya masih berorientasi pada wajah juga. Nah, semasa kuliah begini, gue kagak tahu. Ini termasuk nafsu atau orientasi agama. Ketertarikan gue sudah beralih kepada perempuan yang dekat dengan syariat dari-Nya.

Ukhti…

Bagi gue pribadi saat ini, sangat mendebarkan sekali pada yang berhijab rapi, meski cuma lihat kenampakan dari samping kanan, samping kiri, ataupun justru saat memandang dari belakang. Karena memang gue kagak begitu berani melihat dari arah depan. Atau bahkan sekadar liat bayangan, gue kadang udah klepek-klepek tak karuan. Karena gue kagumnya pada hijab yang dikenakan, bukan pada wajah yang memang sebuah anugerah. Bukan apa-apa, karena gue juga sadar pada anugerah wajah pribadi yang kagak begitu mendukung untuk diminati. Sedih sekali. Sebenarnya enggak begitu juga my diary! Gue cuma mau bilang begini, para akhwat berhijab rapi itu sangat berpeluang juga untuk menjadikan Ikhwan -khususnya gue- untuk klepek-klepek tak terkendali. Terlepas dari bagaimanapun si doi memiliki rupa wajah, karena hijab yang doi kenakan sudah sebegitu menjadikannya indah.

Diary…

Kembali ke foto profil tadi. Semisal yang tetiba nongol di beranda sosial media ternyata adalah akhwat dengan latar belakang tsaqofah, kafaah, dan maknawiyah luar biasa, habislah sudah benteng pertahanan yang gue punya. Hijabnya saja sudah sebegitunya meneduhkan pandangan, ditambah lagi latar belakangnya yang begitu mengagumkan. Karena istiqamah itu bukan sekadar tetap menjadi baik saat bersama lingkungan yang baik, tapi istiqamah itu saat tetap baik di kala sendirian. Berperang dengan setan di keramaian gue mah masih sering menang, tapi berperang dengan setan saat sendirian itu susahnya kagak ketulungan. Maka saat berduaan dengan sosial media, kadang gue sesekali menyeksamai beranda atau sekadar melirik gambar yang beredar. Dan kembali setan berbisik pelan menawarkan makar,

“Ah ga papa, ketertarikanmu kan bukan karena nafsu, tapi karena agama. Kamu kan mengagumi hijabnya saja, bukan wajahnya. Gak papa cuma sekilas pandangan pertama saja, toh kagak ada yang lihat kamu lagi ngapain di dunia maya”

Nah, kalau sudah begini, ini udah jadi ladang jihad tersendiri. Apalagi di muwashofat juga diajarkan. Mujahadatul Linafsihi. Apalagi bagi jomblowan yang belum mampu menyegerakan separuh agama kayak gue begini. Berasa sedang jihad melawan Israel di jalur gaza dah pokoknya. Kalau bisa menahan pandangan di dunia maya sepenuhnya itu nikmatnya tak terkira. Berasa habis ngebunuh Israel ribuan nyawa. Jangankan sekadar mengalihkan pandangan dari foto profil asli yang terpasang, saat si doi pakai gambar bunga aja udah kepengen liatin lebih lama. Allahu Ya Rabbi, ampunilah kami. Dan kepadamu ukhti, jika di dunia ini ada taman-taman surga, maka engkau adalah bunga yang menghiasi. Bantulah kami untuk menjaga pandangan dan juga hati.

My diary,

Sebenarnya ada beberapa alasan kenapa akhwat memasang foto diri dalam profil sosial media, mulai dari identitas personal sampai ranah profesional. Bagaimana dalam pandangan syari’ahnya? Sumpah gue kagak paham, gue cuma mau bilang, kadang gambar tak bergerak itu begitu kuatnya mencipta rasa. Di satu sisi, kenapa kalau yang ikhwan begitu banyak yang menggunakan foto diri? Sebagaimana gue bilang diawal, dimensi cinta dan ketertarikan perempuan itu pada pensifatan. Maka beberapa akhwat dengan mudahnya lumer lemah lunglai tak berdaya oleh ikhwan dengan kualifikasi sifat para aktivis dan pegiat dakwah yang begini dan begitu. Ini sebenarnya cukup menguntungkan bagi gue yang wajahnya pas-pasan, karena bagi doi, wajah tak begitu menjadi persoalan. Sehingga dalam beberapa kondisi, gak banyak akhwat yang risih atau terganggu pada penampakkan foto profil diri para lelaki di sosial media. Tapi jika memang mau adil sih boleh juga. Sama-sama boleh atau sama-sama gak bolehnya menampilkan foto diri untuk dikonsumsi di dunia maya.

Lantas ini salah siapa, catatan harianku? Gue sendiri kagak tau harus bertanya kepada siapa. Kondisi ini tak mewakili ikhwan manapun selain diriku. Jam dindingpun tak bicara, rumput di pelataran hanya bergoyang tanpa suara. Ah, mungkin imanku saja yang sudah saatnya didiagnosa, ia sebegitu lemah dan ringkihnya.

Catatan harianku,

Waktu sudah makin larut saja. Tak terasa hari hampir berganti, terima kasih sudah setia menemani gue bercerita sejauh ini. Esok kita akan berbagi banyak hal lagi. Berdua saja. Setelah gue bercerita mesra ama Allah azza wa jalla.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Single fighter yang ayah-able | Petani Muda Berdasi | Wirausahawan | Pusat Al-Qur'an Terpadu | Barkasmal Jogja

Lihat Juga

Nama Presiden Mursi dan Pesepakbola Abu Treka Dihapus dari Daftar ‘Teroris’ Mesir

Figure
Organization