Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Bukan Lelucon

Bukan Lelucon

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Pemabuk - Ilustrasi images: Blazer Blog
Pemabuk – Ilustrasi images: Blazer Blog

dakwatuna.com – Isinya mungkin memang hanya kosong. Sebagian hanya bualan beberapa orang yang terabaikan untuk menarik simpati. Hanya pengisi waktu senggang ketika menunggu padi yang mulai menguning. Atau bualan petani di warung yang giginya mulai menghitam karena terlalu sering minum kopi. Selebihnya, kau boleh menyebutkannya sesukamu dan dengan yakin aku akan menyimpulkannya, semua hanyalah rekaan belaka. Tapi aku selalu heran mengapa sepertinya mereka percaya kalau ia benar adanya.

Semua ini berawal dari 3 bulan lalu ketika salah seorang pemuda di desa meninggal dunia tanpa diketahui seorang pun. Jasadnya ditemukan sudah membusuk. Bahkan orang tuanya yang rumahnya persis di samping rumah pemuda itu tak menyadari bahwa anaknya sudah 2 hari tidak keluar rumah. Apa ini hanya sebuah kelalaian? Mungkin orang tuanya terlalu sibuk bekerja di sawah. Maklum, waktu itu musim tanam padi. Ternyata kisahnya berulang pada pemuda yang lain. Satu persatu pemuda desa meninggal tanpa diketahui, dan kini berita itu seperti benar adanya. Ada sebuah kutukan yang mengurung warga desa. Tapi aku tidak percaya, sama sekali tidak percaya.

Bagiku ini hanya sebuah lelucon yang dilontarkan mereka untuk menakut-nakuti kami. Yah, aku tau, mereka membenci tingkah kami selama ini. Apa boleh buat, kami terlanjur mencintai dunia kami. Dunia dengan harumnya aroma alkohol yang menyeruak ketika kami membuka mulut, dunia dengan suara musik yang berdetak kencang memacu adrenalin, mengalahkan suara adzan lelaki tua dari masjid. Lampu-lampu yang berpendar hingga pagi dan suara tawa pria dan wanita yang bercampur baur dalam dekapan kamar yang penuh keringat.

Entahlah, sejak kapan mulanya, tahu-tahu aku sudah berkubang di dalamnya. Ah, mana aku peduli dengan hal yang lain jika duniaku kini telah menjadi surga. Tidak juga dengan perkataan mereka tentang kematian yang tiba-tiba. Seperti yang aku katakan, isinya hanya kosong. Hanya lelucon bodoh dari orang-orang desa yang berusaha membuat kami percaya.

**

“Sudah dengar?” Sebo menyenggol bahuku dengan bahunya. Bau harum alkohol menyeruak ke udara.

“Apa? Kau kencing di celana lagi?” tanyaku sekenanya seraya kembali menenggak botol minuman surga yang tinggal setengah, tapi aku tak seteler dia.

“Woso ternyata meninggal, heh. Tubuhnya cepat sekali membusuk. Katanya seperti sudah tiga hari meninggal. Eh, bukankah tiga hari yang lalu kita masih bertemu dengannya?” kata Sebo dengan suara seperti bergumam. Sesekali suara cegukan keluar dari mulutnya.

“Biarkan saja, sudah waktunya dia mati,” kataku tak perduli.

“Lalu kapan waktu kita mati, heh? Apa kau tahu? Aku mau tobat dulu sebelum mati.”

“Apa itu tobat? Masih percaya saja kau dengan tobat?’

“Heh, begini-begini aku pernah ngaji, Njug. Jauh-jauh ke masjid ujung kampung. Kau saja yang tidak tahu,”

Hening.

“Eh, bukannya kita ngaji bareng ya, Njug?” Dia pun terkekeh. Entah apa yang lucu. Tapi memang lucu. Bukankah kanak-kanakku aku habiskan di masjid. Menjadi santri yang paling patuh pada kyai. Santri yang paling rajin mengaji. Santri yang paling sering adzan meski subuh berada pada titik terdingin.

Lucu. Lelucon yang sangat lucu, dan lucunya aku lah yang menjadi bahan lelucon itu. Santri itu kini tengah berkubang dengan barang yang kyai bilang haram. Barang yang kala itu dengan takzim kepalaku mengangguk saat diperintah untuk menjauhinya. Lucu, lelucon itu sangat lucu.

**

Aku membuka mata seketika. Lihat, Sarwo sudah berada di depanku. Wajahnya pias, pucat, dan sayu.

“Sebo meninggal, Njug,”

Aku mengedipkan mataku.

“Njug, mayatnya membusuk. Tidak, tubuhnya bengkak. Seperti sudah mati dari kemarin. Eh, bukannya semalam dia sama kamu ya?”

“Mimpi?”

“Njug, kamu masih mabuk?” Sarwo mengguncang tubuhku yang masih tergeletak di sofa.

“Semalam aku mimpi ngobrol sama Sebo. Katanya dia mau tobat sebelum mati. Apa dia sudah tobat? Terus dia mati? Ah, bercanda saja kamu,”

“Njug, kamu ngomong apa? Semalem itu bukan mimpi. Dia beneran sama kamu. Tadi pagi dia pulang, terus tiba-tiba tubuhnya ambruk. Kutukan itu benar, Njug. Kita semua akan mati. Aku tidak ingin mati, Njug,” kata Sarwo panik. Tubuhnya menggigil.

Kesadaranku mulai pulih dan aku mulai bisa mencerna kata-katanya. Sebo mati. Pria ceking itu merenggang nyawa, dan itu juga dapat menghampirinya, dan tentu suatu ketika akan menghampiriku. Tubuh ini di seperti dihempaskan tiba-tiba. Jauh, jauh sekali.

**

“Oalah Njug, apa sih dosa ibu? Katakan njug, kamu kenapa? Bilang sama Ibu? Apa saja Njug, bilang. Tapi jangan minum barang haram itu. Jangan ikut-ikutan mereka, Njug. Ibu tidak ingin kamu mati Njug,” Ibu duduk bersimpuh di depanku. Berlutut.

Baru saja aku tiba di rumah, namun ibu langsung tergopoh-gopoh menghampiriku. Air matanya berlinang.

“Darimana kamu berandal? Buat apa pulang hah? Lebih baik kamu di rumah itu saja dari pada pulang mengotori rumah ini dengan minuman haram itu,” Bapak ikut menyambut kedatanganku. Tentu ia tak seperti Ibu. Camat sombong itu tak mungkin mengiba. Bah, memandang aku saja tak pernah.

“Ibu yang nyuruh kang Parmin buat jemput aku pulang. Kang Parmin bilang Ibu sakit. Karena itu aku pulang,” kataku santai.

Mata Bapak langsung tertuju pada Ibu.

“Buat apa kamu nyuruh parmin susah-susah jemput berandal ini, hah?”

“Dia anak kita, Pak. Biar berandal, dia tetap anak kita,” kata ibu dengan isak tangis.

Lucu, seperti sinetron yang sering diputar di televisi. Anak durhaka yang membenci setengah mati pada bapaknya. Lelucon yang sangat lucu.

“Ibu, ingat, dia sudah bikin aib keluarga. Dia sudah menginjak harga diri Bapak sebagai camat!” amarah bapak mulai memuncak.

“Hah, maaf jika saya menginjak harga diri Bapak, tapi apakah bapak ingat saya seperti ini karena siapa? Bapak camat yang terhormat, terima kasih atas uang-uang haram bapak. Terimaksih makanan haram yang telah bapak berikan pada darah saya. Jadi kenapa saya tidak sekalian saja jadikan tubuh saya haram, hah?”

“Jangan begitu, Njug? Dia bapak kamu,” Ibu menatapku heran.

“Dia sedang mabuk, Bu. Kata-katanya tidak ada yang benar. Ajug, lebih baik kamu pergi daripada bikin rusuh di rumah ini. Pergi!”

Tangis Ibu meledak. Tangannya meraih kakiku.

“Jangan pergi, Njug. Ibu mohon. Bapak, jangan usir Ajug. Dia anak kita,”

“Dia bukan lagi anak kita, Bu,” kata bapak dingin.

Sesungging senyum bersemayam di bibirku. Lucu. Sangat lucu. Adegan sinetron, wajah-wajah yang penuh topeng, benar-benar muncul di hadapanku.

“Ajug akan pergi, biar Bapak puas. Biar tidak ada lagi yang mengganggu Bapak ketika menghitung uang rakyat yang masuk kedalam brankas pribadi Bapak. Tidak akan pernah ada lagi, Pak. Tidak pernah!” aku kibaskan tangan Ibu. Ah, biar ibu menangis. Biar saja. Aku hanya ingin pergi, dan menenggak minuman surga itu sebanyak-banyaknya.

**

Tubuh ini menggigil. Sesuatu yang dingin menusuk urat-urat sarafku. Mematikan segala logika yang tersisa. Aku sekarat. Mungkin detik berikutnya aku telah terkapar dengan nafas yang hilang dan menit-menit berikutnya mayatku telah beku. Menyatu dengan dinginnya malam. Atau bahkan dilemparkan angin karena malam pun enggan menerima tubuhku yang busuk meski nampaknya utuh.

Tapi tidak. Tiba-tiba cahaya itu menyeruak. Hangat. Itukah matahari? Teriakku tanpa suara. Tidak ada jawaban. Hanya cahaya itu semakin kuat. Tapi kesadaranku tak pulih. Dingin itu terus menusuk dan benar-benar merampas segala fungsi organ. Mungkin aku siap untuk mati sekarang.

Tidak!!! Sungguh aku belum siap mati. Aku tidak mau mati dalam keadaanku seperti ini. Memalukan sekali. Botol di tangan kiri dan isinya yang telah memenuhi lambungku. Apa yang bisa aku banggakan. Apa yang bisa mereka ceritakan pada orang-orang selain keburukanku. Mereka pasti akan tertawa ketika jenasahku di kuburku. Tentu tak ada isak tangis. Kepergianku mungkin bahkan melegakan mereka.

Tapi tidak, bukan itu alasannya aku tak ingin mati sekarang. Aku, aku tak ingin bertemu Tuhan dalam keadaan seperti ini. Iya, sungguh, aku percaya Tuhan. Aku tidak akan main-main lagi. Aku percaya Tuhan. Tapi, apa Tuhan mau bertemu denganku? Mungkin Dia hanya akan mengirim malaikat-Nya untuk menyiksaku dengan siksaan yang teramat pedih. Lebih pedih dari ajal yang tengah menjemputku. Lebih pedih hingga anak-anak menjadi tua ketika menyaksikan siksaannya. Terlebih lagi, ketika hari akhir kelak, dia akan memasukkanku dalam siksaan yang tak berujung. Pada besi-besi yang membara, pada nanah-nanah yang mendidih, pada bau-bau busuk yang menusuk, pada mati yang tak pernah mati. Sungguh, aku tidak mau. Tuhan, aku mohon, tunda ajalku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Jie Pelangi adalah nama pena dari Mujiatun. Jie kini terdaftar sebagai mahasiswi pendidikan Geografi UNY dan tercatat sebagai anggota aktif FLP Yogyakarta.

Lihat Juga

Tahanan di Penjara Rusia Perlu “Lawakan”

Figure
Organization