Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Rasaku Terjaga Untuknya

Rasaku Terjaga Untuknya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Siang yang sangat panas, badan sangat lemas, kepala sangat sakit. Aku baru saja keluar dari kelas setelah baru saja selesai kuliah Komputasi Fisika yang cukup membuat kepalaku pening. Aku berencana mau langsung pulang ke tempat kost, tidak tahan rasanya dengan kepala yang makin nyut-nyutan.

Di bawah teriknya panas matahari aku berjalan sambil memijit-mijit kepala sendiri. Sebentar lagi aku akan segera keluar dari Fakultas MIPA.

Deruan suara bising serangga-serangga bermesin di Jalan Kaliurang sudah mulai terdengar dan cukup memekakan telingaku. Terkadang aku mengangguk-anggukan kepala ke depan dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan seolah sedang senam peregangan, berharap bisa mengurangi rasa nyeri di kepala.

Tetapi yang ada malah sebaliknya, boro-boro hilang sakitnya, kepalaku malah semakin nyut-nyutan. Aku mulai merasakan sesuatu yang aneh dengan pandanganku. Seluruh benda yang aku lihat seolah  berbayang. Jalan pun mulai gontai, tanah yang ku injak serasa bergoyang.

“Assalamu’alaikum.”

Kudengar ada seseorang mengucapkan salam padaku. Suara seorang perempuan. Aku kenal suara itu.

“Wa’alaikum salam.”

Aku jawab salam itu sambil berusaha tersenyum dan megarahkan wajah ke arah sumber suara. Tapi aku tidak bisa dengan jelas memperhatikan siapa perempuan itu. Sekilas kulihat di arah sumber suara ada seorang perempuan berjilbab lebar melintas berlawanan arah denganku sambil menggayuh sepedanya. Tapi aku tetap tidak bisa memastikan siapa perempuan itu. Hanya bayangannya yang tidak jelas yang aku lihat.

Pandanganku semakin kabur saja, kini semuanya berubah menjadi putih. Sakit kepalaku semakin menjadi-jadi seolah seribu jarum tertanam di kepalaku.

“Ya Allah aku tidak kuat lagi.”

Warna putih yang mendominasi setiap sudut yang aku lihat perlahan berubah menjadi hitam gelap, hingga akhirnya gelap semua, poek butarajin, seperti malam yang yang pekat, gelap sejauh mata memandang.

***

Suatu tempat yang asing, aku tidak tahu aku sedang berada di daerah mana. Waktu itu aku lewat di depan sebuah rumah panggung khas sunda.

Suasana tempat yang damai, tenteram, dan cerah dengan lingkungan sekitar yang serba hijau. Di depan rumah itu, tepatnya di babancik rumah panggung itu kudapati seorang laki-laki paruh baya yang sedang menimang-nimang anak perempuan kecilnya. Anak perempuan kecil yang lucu dengan jilbab mungil terpasanag di kepalanya. Di samping laki-laki paruh baya itu aku lihat seorang anak laki-laki berumur kurang lebih enam tahunan yang sedang menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dibimbing oleh sang laki-laki paruh baya. Sepertinya dia adalah putra dari laki-laki paruh baya itu.

Anak laki-laki itu melantunkan Al-Quran surat Ar-Rahman dengan begitu merdunya. Suara dan lagu tilawah yang khas, aku sering mendengarnya. Anak laki-laki itu bertilawah dengan gaya tilawahnya Ahmad Saud. Subhanallah, merdu sekali, cara bacanya juga sudah cukup tartil.

Aku sangat tertarik untuk mendekati mereka. Duduk-duduk dan berbincang-bincang bersama mereka di tempat penuh kedamaian itu.

“Assalamu’alaikum.” Kuucapkan salam kepada mereka.

“Wa’alaikum salam.” Balas bapak paruh baya itu dengan ramahnya.

Aku sudah berada di hadapan bapak paruh baya itu. Pandangan kami pun bertemu, aku dapat melihat wajahnya dengan jelas.

“Masya Allah!” Sontak aku mengucapkan kalimat ini dengan lirih.

Wajah yang sangat familiar, aku yakin aku sangat mengenal bapak itu, tapi aku tidak tahu siapa namanya.

Kuarahkan pandanganku ke arah anak-anaknya untuk memastikan bahwa aku memang mengenal mereka. Tapi aku tidak kenal anak-anak itu. Yang jelas aku lihat hanyalah seorang anak perempuan yang lucu dengan jilbab mungil terpasang di kepalanya dan seorang anak laki-laki yang sedang asyik dengan hafalan qur’annya. Sama sekali aku tidak mengenal anak-anak itu.

Aku menjadi sangat penasaran dengan bapak paruh baya itu, aku ingin tahu siapa namanya.

“Maaf Pak, bolehkah saya mampir di sini?”

“Oh iya Nak, silahkan-silahkan!” balasnya, ramah.

“Ini putra-putri bapak ya, lucu ya anak perempuannya, terus yang laki-lakinya juga indah sekali tilawahnya.”

“Iya Nak, ini anak-anak saya, yang perempuan ini baru belajar huruf hijaiyah, dan kalau yang laki-lakinya Alhamdulillah sudah hafal empat juz, sekarang masih terus menambah hafalan-hafalanya.”

“Wah, Subhanallah Pak, anak sekecil ini sudah hafal empat juz, luar biasa sekali.”

Bapak itu hanya membalas sanjunganku denagan senyumnya yang ramah.

Aku menjadi malu pada anak kecil yang sudah hafal empat juz itu, aku malu pada diri sendiri yang hampir berusia 21 tahun, tetapi belum banyak hafalannya. Boro-boro sampai hafal empat juz, juz 30 pun masih lupa ingat-lupa ingat.

“Maaf Pak, kalau boleh tahu, nama bapak siapa ya?” tanyaku penasaran.

“Oh iya Nak perkenalkan, nama saya Yusuf, lengkapnya Yusuf Siddiq Maulana.”

Jawab bapak itu sembari menyodorkan tangan kanannya mengajakku berjabat tangan. Aku pun menyambut sodoran tangannya untuk saling berjabat tangan.

Selanjutnya mulutku hampir menganga dengan rasa kaget yang luar biasa ketika dia meyebutkan nama Yusuf Siddiq Maulana.

“Hah, Yusuf Siddiq Maulana?, itu kan namaku!”

Kalimat ini pun terlontar cukup keras dari mulutku. Sementara bapak itu hanya tersenyum melihat kekagetanku.

Bapak paruh baya itu tidak menghiraukan rasa kagetku. Dia malah memanggil istrinya yang sedang berada di dalam rumah sekaligus memintanya membawakan air minum untukku.

“Mi, Umi, tolong ambilkan air minum Mi, ada tamu nih!” Katanya.

“Iya Bi.” Jawab istrinya dari dalam rumah.

Rasa kagetku belum juga hilang akan perkenalan tadi. Kutatap dalam-dalam wajah sang bapak paruh baya itu. Benar aku mengenalnya. Aku sangat kenal dia. Wajah yang sangat familiyar. Ku lihat ke arah keningnya ada bekas goresan luka melintang, mirip dengan yang ada pada keningku. Tentu aku dibuatnya kaget lagi dengan kesamaan ini. Namanya Yusuf Siddiq Maulana, peris sama dengan namaku.

“Silahkan Nak diminum airnya.”

Suara lembut seorang perempuan paruh baya mengejutkan aku yang sedang terkaget-kaget dengan  keanehan itu. Ibu paruh baya itu memintaku untuk meminum air teh yang sudah dihidangkannya di sampingku.

Ibu paruh baya itu sudah berada di sampingku. Sesaat ku arahkan mataku ke arah wajahnya, dan lagi-lagi aku dibuatnya kaget. Wajah ibu paruh baya itu mengingatkan aku pada seseorang yang sangat aku kenal. Dia mengingtkan aku pada seorang perempuan yang juga berjilbab lebar seperti ibu itu. Seorang perempuan yang seringkali mengganggu pikiranku.

“Ini istri saya, namanya Khadija, Khadija Khairunnisa.” Bapak paruh baya itu memperkenalkan nama istrinya padaku. Kagetku semakin menjadi-jadi ketika bapak itu menyebutkan nama itu.

“Hah, Khadija Khairunnisa?” kalimat ini pun terlontar dengan keras dari mulutku.

Nama yang sangat aku kenal, nama seoarang perempuan yang seringkali mengganggu pikiranku selama ini.

Ibu paruh baya yang bernama Khadija itu pun hanya tersenyum menyaksikan kekagetanku. Tidak ada komentar apa pun yang terucap dari mulutnya.

Aku pun dapat melihat senyuman yang tulus dari wajahnya, senyuman tulus yang mengingatkan aku pada seseorang yang sangat aku kenal, senyuman tulus yang mengingatkan aku kepada seseorang yang seringkali membuat jantungku berdetak kencang ketika aku melihat senyumnya, senyuman tulus yang mengingatkan aku pada seseorang yang tidaklah cantik, tetapi ketika aku melihatnya aku merasakan sangat berbahagia, ketika melihat senyumnya hatiku menjadi tenteram, senyuman yang mengingatkan aku pada seorang teman perempuan sholehah yang bernama Khadija Khairunnisa. Namanya persis sama dengan ibu paruh baya itu.

Di tengah keadaan yang serba membingungkan itu tiba-tiba terdengar rengekan seorang anak perempuan kecil. Anak perempuan kecil yang sedang berada di pangkuan bapak paruh baya tiba-tiba saja merengek, memecah suasana hening sesaat.

“Ade kenapa? Yuk sama Umi aja yuk diais-nya, udah bosan ya, diais sama Abi terus.” (diais = dipangku; bahasa Sunda)

Sang ibu paruh baya itu sangat cepat tanggap ketika anak perempuan kecilnya merengek-rengek. Beberapa detik kemudian anak perempuan itu sudah berada di pangkuan ibu paruh baya yang bernama Khadija itu. Tetapi rengekannya tetap saja tidak berhenti, malah berubah menjadi tangisan yang cukup keras.

Ditimang-timang sekian lama tetap saja tidak mau berhenti tangisannya. Aku menjadi kasihan melihat ibu paruh baya yang tidak mampu membuat anak perempuannya itu berhenti menangis. Sepertinya dia sudah kerepotan sekali.

Aku langsung bangkit dari tempat dudukku. Mendekat ke arah ibu itu dan kutatap anak perempuan lucu yang sedang menangis di pangkuan ibunya itu.  Kuhibur dia sebisa mungkin dengan gayaku yang seperti pelawak. Lagi-lagi ibu paruhbaya itu hanya tersenyum melihat tingkahku.

Tapi dampaknya bagi anak perempuan yang sedang berada dalam pangkuannya memang cukup manjur. Tidak lama kemudian anak itu berhenti dari tangisannya. Seberhentinya ia dari tangisannya, anak perempuan lucu langsung menjulurkan kedua tangannya ke arahku. Sepertinya dia ingin berada di pangkuanku. Aku pun dengan senang hati menyambutnya. Ibu paruh baya itu juga melepaskannya dengan senyuman khasnya.

Seketika anak perempuan lucu itu sudah berada di pangkuanku.

Subhanallah, aku merasakan kehangatan yang luar biasa ketika aku menimang-nimang anak perampuan itu. Perasaan sayang yang sangat luar biasa pada anak perempuan itu menaungi diriku. Perasaan sayang yang berbeda dengan perasaan sayang seoarang laki-laki pada seseorang yang hendak dinikahinya. Perasaan sayang yang benar-benar tulus. Mungkin inilah perasaan sayang seorang orang tua pada anaknya. Anak perempuan mungil itu sepertinya betah berada di pangkuanku. Dia asik memainkan jenggotku yang hanya beberapa lembar saja.

Kuarahkan mata sejenak ke arah bapak dan ibu paruh baya itu, dan seperti biasa mereka hanya tersenyum dengan ramahnya.

Aku langsung duduk menghadap ke arah halaman rumah panggung yang serba hijau itu, membelakangi bapak dan ibu paruh baya dengan tetap menimang-nimang anak perempuan kecil yang lucu itu. Aku duduk di samping anak laki-laki yang sudah berhenti dari menghafal Al-Qur’anya.

Seduduknya aku di sampingnya, anak laki-laki itu pun seketika langsung menyadarkan kepalanya ke bahuku. Ya Allah lagi-lagi aku merasakan perasaan yang tidak biasa, perasaan yang sama seperti perasaanku pada perempuan kecil yang hampir saja terlelap dalam pangkuanku. Inikah persaan cinta seorang orang tua pada anaknya?!

Lagu ini pun mengalun dengan lembut dari mulutku,

“Tidurlah tidur, anakku sayang

Tidurlah tidur, dalam pelukan

Aku do’akan, kelak kau besar

Jadi pejuang, pembela islam

Tegarlah bagai batu karang

Hidup ini dalah perjuanangan

bersabar hadapi tantangan

Rihdo Allah lah tujuan

Cintai Allah dan Rasulullah

Cintai Al-Qur’an dan orang beriman

Cintai akhirat, zuhudkan hidup di dunia..

Tingginya cita-cita menjadi penghuni surga

Tidurlah-tidur anaku, dalam pelukan”

Kedua anak itu sudah terlelap tidur, yang satu di pangkuanku dan yang satunya lagi tersandar di bahu sebelah kiriku. Suasana pun hening, yang kudengar hanyalah suara cicitan anak-anak ayam yang sedang bermain dengan induknya di halaman rumah, dan yang kulihat hanyalah hijaunya dedaunan yang tumbuh di halaman rumah itu. Sungguh tempat yang tenang dan penuh kedamaian.

Sepi. Kuarahkan wajahku ke arah tempat bapak dan ibu paruh baya tadi berdiri, namun tidak kudapati seorang pun dari mereka berada di sana.

“Pada kemana mereka?” Pikirku.

“Pak.. Bu.. kalian di mana?” Aku memanggil-manggil mereka.

Tapi tetap tidak ada balasan. Hening.

“Pak.. Bu.. kalian di mana?” sekali lagi aku panggil mereka.

Tapi tetap saja hening, tidak ada yang membalas panggilanku. Aku mulai bingung dengan keadan waktu itu, kok mereka meninggalkan aku begitu saja, pikirku.

Aku masih penasaran dengan dengan meraka, apakah mereka benar-benar sengaja pergi meninggalkan aku dan sengaja menyerahkan anaknya untuku.

“Pak.. Bu.. kalian di mana?” untuk yang ketiga kalinya aku berteriak memanggil bapak dan ibu paruh baya itu.

Alhamdulillah, untuk panggilan yang ketiga ini aku dapati seseorang menjawabnya

“Iya Bi sebentar, Umi segera ke sana.” yang aku dengar malah jawaban seperti ini.

“Abi, Umi, maksudnya apa?” Bisiku dalam hati.

Suara itu, aku sangat kenal suara itu.

Tidak lama kemudian dari dalam rumah munculah sosok seorang perempuan muda berkerudung lebar yang nampaknya seusia denganku. Aku sangat kenal dia. Dia adalah Khadija.

“Ada apa lagi ini, Khadija memanggilku Abi.” Bisiku dalam hati.

“Khadija, kok anti ada di sini, bapak dan ibu tadi ke mana?” Tanyaku bingung.

“Bapak dan Ibu siapa Bi, dari tadi Umi ga liat siapa-siapa selain Abi yang sedang menimang-nimang anak kita, si geulis dan si kasep.” Jawabnya sambil tersenyum.

“Anak? Anak kita? Maksudnya?” Kataku dalam hati.

Kagetku sudah sampai pada puncaknya, aku tidak tahan lagi dengan keanehan-keanehan yang terus-terusan terjadi ini. Jantungku semakin berdetak kencang ketika Khadija mendekat ke arahku sambil tersenyum dengan senyumnya yang khas. Aku ingin bangkit dari tempat duduku, tapi tidak bisa. Aku takut mengganggu anak-anak yang sedang terlelap di pangkuanku. Khadija sudah di belakangku…

***

Mataku terbuka,

“Astagfirullah!” Ucapku lirih.

Aku sedang berada di atas sebuah ranjang di tempat yang asing bagiku. Tapi aku dapati dua orang anak manusia yang tidak asing bagiku, mereka sedang berada di sampingku. Mereka berdua adalah Aldi dan Zaki, sahabat baikku.

“Alhamdulillah, akhirnya antum sadar juga akh.” Kata Aldi.

“Di, ane kenapa Di, kok bisa ada di sini, ini di mana Di?.” Tanyaku pada Aldi.

“Udah jangan banyak bertanya dulu, ceritanya cukup panjang, nanti kalo antum sudah benar-benar pulih ane ceritain deh kejadianya seperti apa, antum sekarang berada di Sarjito.” (maksudnya di Rumah Sakit dr. Sardjito) Jawab Aldi.

Di kepalaku terpasang kain kompres untuk menurunkan panas, di tangan kiriku juga terpasang alat infus. Aku masih merasakan kepalaku yang sakit. Kembali kulemaskan leherku yang sempat menegang sesaat ketika terbangun dari tidak sadarkan diri barusan. Kuambil posisi paling rileks. Aldi memijat-mijat kepalaku, dan Zaki memijat-mijat kakiku.

“Kemungkinannya, tadi pagi sebelum kuliah, antum ga makan ya Cup, kata dokter perut antum ini kosong.” Kata Zaki sambil tetap memijat-mijat kakiku. Ucup, itulah nama yang sering digunakan teman-temanku untuk memanggilku.

“Iya, ane ga sempet sarapan dulu, kuliahnya jam tujuh sih, biasanya ga apa-apa, tapi kok sekarang malah bisa sampai seperti ini.”

“Wah jangan dibiasain seperti itu Cup, kalo ane sih mendingan datang kuliah agak telat daripada kuliah dengan perut kosong, bahaya, kalo kena maag kan repot urusannya.”

Sahabat-sahabatku ini memang sangat perhatian padaku, sampai-sampai mereka rela menjaga aku selama tidak sadarkan diri. Mereka juga sering memberikan nasehat yang sangat berharga untukku.

Sesaat kuarahkan mata ke arah jam dinding yang terpasang di dinding ruangan itu.

“Sudah jam setengah sembilan malam ya Di?, bisa ambilin ane air Di, ane mau wudhu, mau sholat Isya. Antum berdua udah pada sholat Isya?”

“Udah lah, nanti sholatnya sambil berbaring aja ya, untuk wudhunya biar nanti kami yang bantu.” Kata Aldi.

“Ya, ga apa-apa.”

Aldi langsung mengambilkan aku air dari kamar mandi yang ada di ruangan itu untukku berwudhu. Selanjutnya Aldi dan Zaki membantuku berwudhu dalam posisi tubuh masih tetap berbaring. Selesai dibantu berwudhu aku langsung melaksanakan shalat Isya di atas ranjang.

Seusai shalat aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padaku tadi siang.

Aku mulai ingat apa yang terjadi tadi siang. Tadi siang setelah selesai kuliah jam 11.30, aku berencana mau langsung pulang ke tempat kost. Namun sayang, di perjalanan aku tidak kuat lagi menahan sakit kepala yang serasa ditanami seribu jarum. Hingga akhirnya aku pun pingsan.

“Ki, Di, gimana ceritanya ane bisa nyampe ke sini?”

“Tadi siang antum nyungsep di deket gerbang fakultas MIPA itu Cup. Ane di-sms sama Khadija kalo antum pingsan. Tadi siang ane lagi di mushola, lagi nunggu sholat Zuhur. Dapet kabar antum pingsan ane langsung menuju ke TKP aja, skalian ngajak Zaki yang kebetulan tadi siang dia baru saja selesai wudhu.”

“Khadija, kok bisa dia yang ngasih tau?”

“Katanya, tadi siang dia mau berangkat ke kampus, terus di jalan berpapasan dengan antum, dan melihat antum sangat lunglai sekali, terus pingsan.”

Aku mulai ingat, tadi siang ada seorang perempuan bersepeda yang mengucapkan salam padaku. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas tapi aku kenal suaranya. Aku baru sadar suara yang menyapaku dengan salam itu ternyata suaranya Khadija.

“Yaa Allah, ada apa dengan ini semua, apakah ini hanya sekedar kejadian biasa tanpa makna, atau Engkau hendak memberikan kabar gembira untuk hamba.”

Kupejamkan mataku. Kuucap istighfar sebanyak-banyaknya.

End..

*) Cerita ini 100% fiktif. Semoga padanya ada manfaat.

 

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 7.60 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa.

Lihat Juga

Rasulullah SAW Menjaga Perasaan Istrinya

Figure
Organization