Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ketika Pembebasan Masjid Al-Aqsha Telah di Pelupuk Mata 

Ketika Pembebasan Masjid Al-Aqsha Telah di Pelupuk Mata 

Komplek Masjid Suci Al-Aqsha. (kispa.org)
Komplek Masjid Suci Al-Aqsha. (kispa.org)

Bedah Buku

Judul: دليل المرابطين لتحرير فلسطين
Penulis: Muhammad Musthafa an-Nawbani, Musa Muhammad Haddad
Penerbit: —
Tebal: 246 Halaman

dakwatuna.com – Saya membaca buku دليل المرابطين لتحرير فلسطين kiriman ustadz Wildan Hakim dengan penuh rasa kagum. Buku ini, menurut saya, “highly recommended” untuk dibaca oleh para aktivis dakwah agar semangat untuk membebaskan Al-Aqsha tak pernah pudar. Mengapa demikian? Sebab, seperti dikumandangkan As-Syahid Abdullah Azzam, “pembebasan Al-Aqsha adalah amanah di atas setiap pundak orang-orang yang beriman”.

Demi membaca buku itu, saya sangat yakin bahwa pembebasan Palestina dan Al-Aqsha sudah berada di pelupuk mata. “Prediksi” pembebasan Palestina dan Al-Aqsha itu bukan mengada-ada, tetapi bersumber pada cara kita memahami al-Quran, hadits-hadits Nabi SAW, atsar as-sahabah dan berbagai peristiwa sejarah Islam sepanjang masa.

Cara membaca itu pula yang membuat “prediksi” Ibn Barrajan tepat.

Ibn Barrajan (wafat tahun 536 Hijriah/1141 Masehi) adalah ulama Andalusia (Spanyol) yang bernama asli ِAbul Hakam Abdul Salam bin Abdurrahman bin Muhammad Al-Asybili (Sevila?). Dia adalah penulis buku tafsir al-Quran, ” تنبيه الأفهام إلى تدبر الكتاب والتعرف على الآيات والأنباء العظام. Dia “memprediksi” bahwa masjid Al-Aqsha akan dibebaskan umat Islam pada bulan Rajab tahun 583 Hijriyah/Oktober 1187. Kesimpulannya itu didapat dari surah Ar-Rum yang, menurutnya, memberi isyarat kapan Al-Aqsha akan dikuasai umat Islam.

Seperti diketahui, surah Ar-Rum bermula dengan ayat,

الم (1) غُلِبَتِ الرُّومُ (2) فِي أَدْنَى الْأَرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ (3) فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الْأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4)

(1). Alif laam Miim (2). telah dikalahkan bangsa Rumawi, (3). di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang (4). dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.

Dalam menafsirkan ayat-ayat itu, Ibn Barrajan melakukan empat pendekatan.

Pertama, pendekatan sejarah, yaitu peristiwa ketika Umar bin Khattab membebaskan Masjidil Aqsha pada tahun 15 hijriah. Seperti diketahui, Umar bin Khattab datang ke Palestina tanpa disertai pasukan. Beliau (RA) datang hanya bersama beberapa pembantu terdekatnya. Sebab, kedatangannya adalah seperti halnya Rasulullah SAW melakukan pembebasan kota Mekah (fathu-makkah). Seorang pendeta di Palestina telah menunggu Umar bin Khattab hanya untuk menyerahkan kunci masjidil Al-Aqsha. Tentu kedatangan Umar tersebut bukan tanpa proses. Kita tahu, setelah kematian Rasulullah SAW, ekspansi kekuasaan Islam berlanjut. Puncaknya adalah kemenangan pada perang Yarmuk. Isyarakat kemenangan tersebut sebenarnya telah diungkap Rasulullah SAW dalam haditsnya,  “فارس نطحة أو نطحتان ثم يفتحها الله، ولكن الروم ذات القرون كلما هلك قرن قام قرن آخر” (Persia hanya satu atau dua cakupan, kemudian Allah membuka negeri itu. Sedangkan Romawi akan berlalu beberapa kurun, setiap kali satu kurun hancur, akan berkibar di kurun berikutnya).

Kedua, pendekatan qiraat (cara baca). Yaitu, huruf غ pada kata “غلبت” dapat dibaca dengan dhammah dan fathah. Seperti diketahui, para ahli qiraat membaca ayat kedua surah Ar-Rum dengan cara berbeda. Sebagian membacanya dengan shigah mabniun lil-majhul (kalimat pasif atau huruf غ dibaca dhamah), dan sebagian lain membaca dengan shigah mabniun lil-fiil (kalimat aktif di mana huruf غ dibaca fathah). Tentu, cara baca itu menyebabkan tafsir berbeda. Namun, fakta sejarah menunjukkan, baik dibaca dhammah atau fathah, keduanya punya “karakter sejarah” yang tepat.

Jika dibaca menggunakan riwayat pertama (dhamah), maka ayat itu membenarkan peristiwa pembebasan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab di tahun 15 hijriah. Namun, jika dibaca menggunakan riwayat kedua (fathah), maka ia membenarkan fakta sejarah ketika surah tersebut diturunkan (di masa kerasulan).

Ketiga, beliau menafsirkan في أدنى الأرض sebagai negeri Syam atau yang kita kenal sekarang sebagai Suriah, Irak dan Palestina. Menurutnya, kekalahan bangsa Rumawi akan dimulai dari kawasan Syam tersebut. Dan, perang salib antara Shalahuddin dengan Richard adalah peristiwa kolosal yang mengambil setting di kawasan Syam.

Keempat, kemudian beliau menafsirkan kata  بضع سنين dengan cara mengalkulasi sistem penanggalan Arab. Ada cara mengalkulasi Ibn Barajan yang ditunjukkan oleh kedua penulis buku ini hingga Ibn Barajan berani berkesimpulan kelak Al-Aqsha dikuasai kembali umat Islam.

Dengan penjelasan di atas, maka Ibn Barajan (ketika itu) berkesimpulan bahwa Al-Aqsha akan dikuasai umat Islam pada bulan Rajab tahun 583 Hijriyah atau 1187 Masehi.

Demi membaca prediksi itu, Raja Nuruddin Mahmud Zengi, penguasa Libya ketika itu, berdoa siang malam agar dipanjangkan usianya untuk bisa menyaksikan peristiwa pembebasan Al-Aqsha. Maklum, raja Nuruddin lahir pada tahun 511 Hijriyah (1118 Masehi), dan dia akan merasa sangat tua pada tahun 583 Hijriyah (1187 Masehi). Karena itu pula, Nuruddin menyiapkan mimbar yang megah yang dia niatkan sebagai wakaf untuk masjid Al-Aqsha. Sayang, raja Nuruddin wafat pada tahun 1174 Masehi sehingga dia tak dapat menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut.

Akhirnya, “Prediksi” Ibnu Barrajan ternyata benar. Pada hari Jumat di bulan Rajab tahun 583 Hijriah, (bertepatan dengan  tanggal 02 Oktober 1187), Shalahuddin Al-Ayubi berhasil membebaskan Al-Aqsha dari cengkeraman tentara Salibis Romawi. Padahal, peristiwa pembebasan Al-Aqsha oleh Salahuddin al-Ayubi itu baru terjadi “empat puluh enam tahun setelah kematian Ibn Barrajan”.

Kini, tanda-tanda pembebasan Al-Aqsha semakin dekat, antara lain dengan semakin menguatnya Harakah Muqawamah al-Islamiyah (Hamas) di Palestina dan perang Suriah yang melibatkan Rusia, Iran dan Amerika, serta berbagai gejolak di kawasan Syam, termasuk kehadiran ISIS. Maka, dengan cara membaca yang sama dilakukan oleh Ibn Barajan, Profesor Muhammad Mustafa an-Nawbani dan Musa Muhammad Hadad, kedua penulis buku ini, memprediksi bahwa peristiwa itu akan terjadi tak lama lagi.

Lalu, kapan Palestina dan Al-Aqsha akan kembali dibebaskan umat Islam? Bekal apa yang sudah Anda siapkan untuk Al-Aqsha? Apakah Anda sudah membuat mimbar seperti Raja Nuruddin?

Buku ini terdiri atas enam pasal, plus Muqadimah dan khatimah, total 246 halaman, tentu dalam bahasa Arab. Namun demikian, bahasa dalam buku ini sangat mengalir, menggunakan kosa kata yang umum dalam percakapan sehari-hari, dan – karena itu – mudah dibaca oleh mereka yang pemula sekalipun dalam bahasa Arab.

Dimulai dengan pembahasan pada pasal satu, القرأن دستور الامة Pada pasal ini, penulis mengelaborasi bagaimana seharusnya al-Quran menjadi ‘konstitusi” bagi setiap umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kata “konstitusi” sengaja saya berikan tanda petik. Sebab, maksud konstitusi di sini bukan berarti undang-undang dasar dalam bernegara, namun ia merupakan pijakan kehidupan setiap muslim.

Dalam “Dua puluh prinsip” (الاصول العشرين) Imam Syahid Hasan al-Banna, antara lain, mengatakan, “Islam adalah sistem yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan. Maka ia adalah negara dan tanah air atau pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan, wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam atau penghasilan dan kekayaan, serta perjuangan dan dakwah atau pasukan dan pemikiran. Sebagaimana juga ia adalah akidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”.

Dari prinsip ini, Sayyid Qutb, antara lain mengatakan, “Hidup di bawah naungan al-Quran adalah nikmat. Nikmat yang tiada dapat diketahui kecuali oleh orang yang merasakannya”.  Imam As-Syahid Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb selalu menekankan bahwa al-Quran adalah “dustur amali”. Artinya, al-Quran bukan sekedar kitab suci yang dipajang di lemari, dibaca dan dilombakan, namun merupakan peta jalan bagi kesuksesan umat Islam.

Setelah panjang lebar membahas bagaimana seharusnya kita berinteraksi dengan al-Quran, wabil khusus dalam memahami persoalan Al-Aqsha dan Palestina, penulis memulai penjelasan tentang keterkaitan tanda-tanda ayat al-Quran yang menjelaskan kemenangan Palestina. Mari kita lihat sekilas di Pasal ke-dua.

Pada Pasal ini, penulis mengelaborasi surah al-Israa yang menjadi tulang punggung penjelasan mata rantai persoalan Palestina. Pasal ini diberi judul      مطلع سورة الإسراء بين تفسير القدمى والمعاصرين

Menurut penulis, surah al-Isra memiliki tiga nama: Surah al-Israa, Surah Bani Israel dan Surah Subhanah, berbeda dengan surah Ar-Ruum yang hanya memiliki satu nama. Pada mushaf edisi Kementerian Agama, surah Bani Israel kurang populer. Kita hanya sering menyebutnya sebagai surah al-Israa, padahal nama surah Bani Israel lebih dikenal di era Sahabat dan Tabiin.

Aisyah meriwayatkan, Nabi SAW tidak akan tidur sampai beliau SAW membaca surah Bani Israel dan Surah Az-Zumar. (HR Tirmidzi).

Mengapa di era Sahabat dan Tabiin itu lebih dikenal sebagai surah Bani Israil, berikut ini penjelasan penulis: “Hal itu karena Surah al-Israa atau Bani Israel dimulai dengan kisah Isra’ Mi’raj yang hanya satu ayat. Pada ayat kedua, Allah SWT langsung mengingatkan tentang perilaku Bani Israel yang selalu merusak bumi yang tidak diceritakan (tentang kerusakan mereka) pada bagian surah lainnya.” (Hal 44)

Lalu siapa sebenarnya Bani Israil itu? Tentu sudah sangat banyak penjelasannya di berbagai sumber. Namun, ada satu hal menarik yang disampaikan penulis, yaitu bahwa meski Yahudi (dan Israel) memiliki begitu banyak kekuatan keuangan, sesungguhnya jiwa dan moral mereka lemah.

Setelah memberikan berbagai argumentasi, kedua penulis buku ini berkesimpulan bahwa pembebasan Masjidil Aqsha (dengan izin Allah) akan terwujud pada tahun __? (Sengaja saya kosongkan, nanti baca sendiri buku terjemahannya yah. Sebab, teman-teman aktivis Sahabat Al-Aqsha, Lembang Bandung tengah menuntaskan penerjemahannya).

Buku ini sangat kaya dengan informasi, terutama kutipan-kutipan hadits Rasulullah SAW yang terkait dengan perang akhir zaman. Buku ini mengantarkan kita untuk membuka cakrawala pandang tentang akhir sejarah umat manusia, dengan konteks kekinian Palestina.

Hemat saya, kekurangan buku ini tidak menyinggung sedikitpun pandangan para pemikir Barat kontemporer yang (juga) meyakini bahwa penghujung abad dua puluh ini menjadi “kiamat” antar agama. Misalnya, buku Samuel Huntington yang melegendaris itu (The Clash of Civilization), atau Francis Fukuyama (The End of History and the Last Man) atau bahkan buku Paul Kennedy (The Rise and Fall of the Great Power).  Jika saja, buku-buku tersebut dikutip, maka buku دليل المرابطين ini akan sangat kaya dengan informasi dan semakin memperkuat teori yang dikemukakannya.

Wallahu’alam bis shawab. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization