Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Tempe di Tangan, Sate Dalam Khayalan

Tempe di Tangan, Sate Dalam Khayalan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (agsfood.net)
Ilustrasi. (agsfood.net)

dakwatuna.com – Seorang teman yang lama tak bertemu, tiba-tiba menelepon, tepat ketika aku mengakhiri aktivitasku. Usai saling bertanya kabar, ia katakan bahwa maksud dan tujuannya meneleponku adalah untuk mengucapkan terima kasih atas inspirasi yang telah kubagikan melalui sebuah artikel yang kutulis beberapa waktu yang lalu.

Tak kurang dari lima belas menit, aku tekun menyimak ceritanya yang terdengar ceria. Sesekali kami tertawa saat aku iseng menggodanya.

Cerita bermula ketika ia diajak keluarga besarnya untuk mengunjungi salah satu pameran otomotif di Jakarta. Tak menemukan alasan untuk menolak, akhirnya ia pun ikut walau sebenarnya tak tertarik dengan pameran tersebut. Aku maklum, otomotif bukanlah minatnya. Berbeda jika diajak ke pameran buku, tentu ia tak akan menolaknya.

Hingga beberapa stand telah dikunjungi, ia tetap tak bisa menikmati suasana, melihat dan mencoba, memantaskan diri di dalam mobil produksi terbaru walaupun setiap pengunjung diperbolehkan untuk melakukan itu.

Ia baru bisa berhasil menyatukan badan dan pikirannya di satu tempat yang sama setelah  teringat dengan sebuah tulisan berjudul Berdamai Dengan Keadaan yang kutulis beberapa waktu lalu. Tak guna ia membayangkan berada di pameran buku sedang nyatanya ia berada di sana, di pameran motor bersama keluarga besarnya. Jelas, yang demikian hanya membuatnya tak bisa menikmati kebersamaan mereka. Berdamai dengan keadaan adalah sebuah solusi yang kemudian ia praktekkan, dan hasilnya ia bisa merasakan bahwa di sana, di tempat yang awalnya tak ia inginkan, ada juga kesenangan dan manfaat yang ia dapatkan.

Tentu akan berbeda cerita apabila ia tetap menuruti angannya, menemani keluarga besarnya dengan terpaksa. Sepandai apapun ia berpura-pura, tetap saja yang lain bisa melihat ekspresi wajah terpaksanya. Jika terus dibiarkan, tentu akan merusak atau setidaknya mengurangi kebersamaan dan kebahagiaan mereka. Alhamdulillah, setelah mempraktekkan, berdamai dengan keadaan, ia bisa menikmati saat-saat indah bersama keluarga besarnya.

Betapa saat-saat seperti itu sangatlah mengesankan. Bercengkerama dengan keponakan yang lucu-lucu dan menggemaskan, makan bersama, menikmati semangkuk mie rebus di bawah langit malam kota Jakarta. Bahkan akhirnya ia  baru menyadari bahwa berdiri berdesakan di dalam kereta listrik, duduk berhimpitan di dalam bajaj adalah pengalaman pertamanya. Sungguh, yang demikian itu tak akan ia rasakan indahnya apabila ia tak mencoba berdamai dengan keadaan.

Setelah ikhtiar maksimal diupayakan, namun hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dibayangkan, maka berdamai dengan kenyataan adalah yang semestinya dilakukan. Selain membuat hidup terasa lebih ringan, ini juga salah satu bentuk penerimaan atas apa yang Allah tetapkan. Bagaimanapun manusia hanya bisa berusaha, Allah lah yang menentukan hasilnya. Maka berdamai dengan keadaan, kenyataan adalah yang terbaik untuk dilakukan.

Seperti sebuah pesan bijak yang akan selalu kuingat, lebih nikmat makan berlauk tempe tapi kenyataan, daripada makan berlauk sate tapi hanya dalam angan. Tak dilarang kita untuk berangan, bermimpi dan merencanakan masa depan, tapi janganlah lupa untuk bersyukur dan menikmati masa sekarang. Nikmati yang ada, jangan mengkhayalkan yang tidak ada, karena yang seperti ini justru sering menjadi pemicu rasa kecewa, yang jika tak segera dibenahi akan membuat hati (semakin) tersiksa.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang pembaca yang sedang belajar menulis.

Lihat Juga

Bersyukurlah, Maka Hidupmu Akan Bahagia

Figure
Organization