Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Apakah Akad Nikah di Masjid Menyerupai Orang Kafir dan Terlarang?

Apakah Akad Nikah di Masjid Menyerupai Orang Kafir dan Terlarang?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

bukunikahdakwatuna.com – Assalamu ‘Alaikum mau tanya … saya pernah baca apa benar masjid tidak boleh buat akad nikah dengan alas an apa pun. Hanya shalat dan menuntut ilmu/kajian. Ada dalam buku 99 kesalahan dalam masjid. Rasul selama hidup tidak pernah mengajarkan dan dalam sejarah tidak pernah menikahkan sahabat dalam masjid dan dalam hadits tidak ada. Jadi orang Islam sekarang ikutan seperti orang nasrani nikah di gereja. (0818785xxx)

 

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Melangsungkan akad nikah di masjid termasuk pilihan yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin, selain mereka melakukan di rumahnya, kantor KUA, atau tempat apa saja yang baik-baik. Di sebutkan bahwa akad nikah di masjid secara khusus tidak memiliki dasar dalam Al Quran, As Sunnah yang shahih, dan perilaku para sahabat, dan generasi setelah mereka. Benarkah demikian? Nanti akan kami bahas. Namun yang jelas ini telah dilakukan sejak zaman setelah mereka di berbagai negeri muslim, telah dibahas pula oleh banyak imam di berbagai negeri dan mazhab, dan mereka (empat mazhab) justru membolehkan bahkan mengatakan hal itu termasuk perkara yang dianjurkan demi mendapatkan keberkahan masjid dan memakmurkannya karena nikah termasuk ibadah. Hendaknya kenyataan ini mesti dihormati oleh siapa pun, karena para imam kita bukan orang bodoh yang sembarang dalam mengatakan “boleh” atau “sunah”. Ketidaksetujuan dengan pendapat mereka dalam hal ini hendaknya diposisikan sebagai khilafiyah sebagaimana khilafiyah lainnya.

Hendaknya para penulis muslim, guru, muballighmu’allim, dan juga para ulama, menyampaikan berbagai permasalahan berdasarkan berbagai informasi yang utuh dan lengkap. Tidak memandang masalah dengan kaca mata kuda, yang hanya melihat kebenaran hanya pada sisi penglihatannya saja. Tentunya yang menjadi korban adalah orang-orang awam yang terpengaruh oleh perkataan dan tulisannya yang menyampaikan fakta secara tidak utuh itu. Lalu pembacanya tanpa memeriksa atau membandingkan dengan pendapat lain yang tertera di banyak kitab para ulama, akhirnya terbentuk pada pola pikir mereka bahwa masalah tersebut hanya ada satu pendapat yang benar, yakni pendapat yang dibacanya di buku tersebut saja.

Termasuk dalam masalah akad nikah di Masjid, ketika ada sebuah buku yang menyebutnya sebagai sebuah kesalahan yang mesti dikoreksi, apalagi menyebutnya sebagai tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir), tentunya ini pernyataan yang berlebihan. Sebaiknya penulis mengatakan, “Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat, ada yang menyunahkan, membolehkan, dan melarangnya, menurut kami pendapat yang lebih kuat adalah terlarang akad nikah di masjid dengan alasan begini dan begitu, namun kami menghargai pihak yang berbeda pendapat dengan kami…. Ini lebih baik agar pembaca mengetahui bahwa memang terjadi perbedaan pendapat para ulama, dan masing-masing pendapat memiliki alasannya sendiri. Sehingga pembaca nantinya bisa bersikap lebih bijak, adil, dan dewasa ketika bersinggungan dengan orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengannya.

Hadits: “Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. “

Dalam hadits Sunan At Tirmidzi terdapat hadits yang memerintahkan melakukan akad nikah di masjid, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

“Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. “ (HR. At Tirmidzi No. 1089, katanya: hasan gharib. Ad Dailami No. 335)

Tinjauan sanad hadits ini: berkata At Tirmidzi, berkata kepada kami Ahmad bin Mani’, berkata kepada kami Yazid bin Harun, telah mengabarkan kepadaku ‘Isa bin Maimun Al Anshari, dari Al Qasim bin Muhammad, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: (disebut hadits di atas)

– Ahmad bin Mani’, kun-yahnya adalah Abu Ja’far Al Baghdadi, seorang Al Haafizh dan pengarang kitab Al Musnad. Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqaat – orang-orang terpercaya. (Ats Tsiqaat No. 12083), Imam Bukhari pernah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dalam Bab Ath Thib. (Rijaalush Shahih Al Bukhari No. 26), dan Ahmad bin Mani’ ini seorang yang tsiqah – terpercaya. (Lihat Masyikhah An Nasa’i No. 70, Al I’lam Liz Zirkily, 1/260, dll)

– Yazid bin Harun, dia adalah Abu Khalid Yazid bin Harun bin Zaadzaan bin Tsaabit As Salami Al Wasithi Asy Syaami. Seorang Al Haafizh yang tsiqahhujjah, dan tsabit (kokoh) dalam hadits, seorang Syaikhul Islam, ilmu agamanya luas, cerdas, dan tokoh besar. (Al I’lam, 8/190. Ma’rifah Ats Tsiqaat, No. 40, dan No. 2036. Siyar A’lamin Nubala No. 118)

– ‘Isa bin Maimun Al Anshari, dia adalah perawi yang banyak sekali di-jarh (kritik) para imam hadits, Imam Bukhari menyebutnya: munkarul hadits –haditsnya munkar. Imam An Nasa’i, Imam Abu Hatim dan ‘Amru bin ‘Ali mengatakan: matrukul hadits – haditsnya ditinggalkan. Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: Laisa bisyai’ – bukan apa-apa. Imam Ibnu Hibban mengatakan: dia meriwayatkan hadits-hadits yang semuanya adalah palsu. Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaiful hadits – haditsnya lemah. (Al Jarh wat Ta’dil No. 1595. At Tarikh Al Kabir No. 2781. Adh Dhuafa Ash Shaghir No. 266. Adh Dhuafa wal Matrukin No. 425. Mizanul I’tidal No. 2218)

– Al Qasim bin Muhammad, dia adalah cucu dari Abu Bakar Ash Shiddqi Radhiallahu ‘Anhu. Kun-yah beliau adalah Abu Muhammad dan Abu Abdirrahman Al Qursyi At Taimi Al Bakri Al Madini. Beliau seorang teladan, Al Haafizhhujjah, dan ‘aalim,tabi’in pilihandan ahli fiqihnya Madinah. Di Madinah beliau bersama Saalim dan ‘Ikrimah. (Siyar A’lamin Nubala No. 17)

– ‘Aisyah, dia adalah istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak kami ceritakan karena sudah kita ketahui bersama.

Hadits seperti ini juga terdapat pada As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi (No. 14476), dengan sanad: dari Abu Thahir Al Faqih dan Abu Sa’id bin Abi ‘Amr, mereka berdua berkata: berkata kepada kami Abul ‘Abbas Al ‘Ashim, berkata kepada kami Muhammad bin Ishaq, berkata kepada kami Muhammad bin Ja’far, berkata kepada kami ‘Isa bin Maimun, dari Al Qasim bin Muhammad, dari ‘Aisyah: …………

Kita lihat, dalam sanad ini juga terdapat ‘Isa bin Maimun yang kedhaifannya sudah dijelaskan sebelumnya.

Begitu pula terdapat perawi yang “kontroversial” yang oleh sebagian ulama di sebut tsiqah (terpercaya), shaduuq (jujur), bahkan Syu’bah mengatakan beliau adalah amirul mu’min fil hadits, sebuah gelar tertinggi dalam ilmu hadits. Dia dipuji oleh Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ali bin Al Madini, dan Imam Yahya bin Ma’in.

Sementara Imam Malik menyebutnya sebagai salah satu dajjaal, Sulaiman At Taimi dan Hisyam bin ‘Urwah menyebutnya: kadzdzaab – pembohong. Hammad bin Salamah mengatakan: Aku tidak meriwayatkan darinya kecuali kalau terpaksa. Imam Abu Daud mengatakan: qadari danmu’tazili. An Nasa’i mengatakan: laisa bilqawwi – bukan orang yang kuat. Ad Daruquthni mentatakan: laa yuhtajju bihi – jangan berhujjah dengannya. Yahya Al Qaththan mengatakan: Aku bersaksi bahwa Muhammad bin Ishaq adalah pendusta. (Lihat semua dalam Mizanul I’tidalNo. 7197)

Maka, telah terjadi perbedaan pendapat ulama tentang status hadits ini. Sebagian ulama mendhaifkannya lantaran kedhaifan yang parah dari ‘Isa bin Maimun di atas, mereka seperti Imam Ibnul Jauzi yang berkata: dhaif Jiddan – sangat lemah. (Al ‘Ilal Mutanahiyah, 2/627, No. 1034), Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: sanaduhu dhaif – sanadnya lemah. (Fathul Bari, 9/226). Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 966)

Ulama lain mengatakan hadits ini hasan, bahkan shahih karena memiliki penguat dari riwayat lainnya. Imam At Tirmidzi menyebutnya hasan gharib. (Sunan At Tirmidzi No. 1089), Imam As Sakhawi mengatakan: “Hadits ini hasan, maka riwayat dari At Tirmidzi kalau pun dhaif, dia memiliki penguat seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 125)

Imam Al ‘Ajluni menjelaskan dengan panjang:

“… Tetapi hadits ini memiliki berbagai syawahid (penguat), yang membuatnya menjadi hasan lighairih, bahkan shahih, sebagaimana penjelasan berikut. Di antara berbagai riwayat yang menguatkannya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan Ibnu Mani’ dari hadits Anas dan ‘Aisyah sebagaimana tertera dalam kitab Al La-aaliy, Al Maqashid, dan lainnya. Juga yang tertera dalam Musnad Ahmad, dari Ibnuz Zubeir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Umumkanlah pernikahan”, As Sakhawi menyebutkan dengan lafaz: “Sembunyikanlah khitbah/lamaran”, ini menjadi dasar pihak yang mengatakan batalnya nikah secara sembunyi-sembunyi. Dan, di antara penguatnya juga apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, keduanya menshahihkannya, juga Ath Thabarani dan Abu Nu’aim dari Ibnuz Zubeir, juga riwayat Ath Thabarani dari Hibar bin Al Aswad, “Siarkanlah nikah dan umumkanlah”, juga riwayat Ad Dailami dari Ummu Salamah dengan lafaz: “Tampakkanlah nikah dan sembunyikanlah khitbah.”Berkata An Najm, bahwa termasuk penguatnya adalah apa yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi –dan dia menghasankannya, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al Hakim –dan dia menshahihkannya, yaitu riwayat dari Muhammad bin Hathib dengan lafaz: “Pemisah antara halal dan haram dalam pernikahan adalah memukul rebana dan suara.” (Kasyful Khafa, 1/145)

Jika hadits ini lebih mendekati pada hasan atau shahih sebagaimana menurut sebagian imam, maka selesai pembicaraan kita, bahwa memang akad nikah di Masjid adalah masyru’ (disyariatkan). Jika hadits ini dhaif sebagaimana menurut imam lainnya, maka perintah melangsungkan akad nikah di masjid menjadi teranulir, tetapi … apakah “tidak ada perintah akad nikah di masjid” bermakna terlarang dilakukan di masjid? Yang jelas, tidak ada perintah bukan berarti terlarang.

Imam Al Munawi Rahimahullah mengomentari hadits di atas:

وفيه أن عقد النكاح في المسجد لا يكره بخلاف البيع ونحوه

Pada hadits ini menunjukkan bahwa melangsungkan akad nikah di masjid tidaklah dibenci, berbeda dengan jual beli dan yang semisalnya. (At Taisir bisy Syarhi Al Jaami’ Ash Shaghiir, 1/353)

Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menikahkan sahabat di Masjid

Inilah hakikat yang terjadi, bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menikahkan sahabatnya dengan seorang wanita di dalam masjid. Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari (5149) dan Shahih Muslim (1425).

Dari Sahl bin Sa’ad As Saidi Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ زَوِّجْنِيهَا قَالَ أَعْطِهَا ثَوْبًا قَالَ لَا أَجِدُ قَالَ أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَاعْتَلَّ لَهُ فَقَالَ مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ

Datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang wanita. Lalu wanita itu mengatakan bahwa dirinya telah dihibahkan untuk Allah dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bersabda: “Aku tidak ada kebutuhan terhadap wanita.” Maka ada seorang laki-laki berkata: “Nikahkanlah aku dengannya.” Beliau bersabda: “Berikanlah dia pakaian (sebagai mas kawin, pen).” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak punya.” Nabi bersabda: “Berikanlah walau sekadar cincin besi.” Dengan lembut beliau berkata: “Kamu punya hafalan Al Quran?” Dia menjawab: “Begini dan begitu.” Maka Nabi bersabda: “Aku nikahkan kamu dengannya dengan hafalan Al Quranmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Peristiwa ini terjadinya adalah di masjid. Sebagaimana keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar dalam riwayat lainnya tentang kisah ini:

وفي رواية سفيان الثوري عند الإسماعيلي جاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه و سلم وهو في المسجد فأفاد تعيين المكان الذي وقعت فيه القصة

Pada riwayat Sufyan Ats Tsauri yang ada pada Al Ismaili, telah datang wanita kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia sedang di masjid. Maka, apa yang terjadi pada kisah ini memberikan faedah tentang tempat peristiwanya. (Fathul Bari, 9/206)

Apa kata para imam tentang akad nikah di Masjid?

Berikut ini kami paparkan penjelasan para imam kaum muslimin tentang akad nikah di masjid menurut empat mazhab. Syaikh Hani bin Abdullah Al Jubier berkata:

اتفق فقهاء المذاهب الأربعة على سنية عقد النكاح في المسجد

Ahli fiqih empat mazhab sepakat bahwa disunnahkan akad nikah di masjid. (Fatawa wa Istisyarat Al Islam Al Yaum, 11/260)

1. Mazhab Hanafi

Imam Syaikhi Zaadah Al Hanafi Rahimahullah mengatakan:

وَيُسْتَحَبُّ مُبَاشَرَةُ عَقْدِ النِّكَاحِ فِي الْمَسْجِدِ وَكَوْنُهُ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَةِ الزِّفَافِ فِيهِ وَالْمُخْتَارُ لَا يُكْرَهُ إذَا لَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى مَفْسَدَةٍ دِينِيَّةٍ

Disukai melangsungkan akad nikah di masjid dan pada hari Jumat, mereka berbeda pendapat tentang pesta perkawinan di dalamnya, dan pendapat yang dipilih adalah tidaklah dimakruhkan jika tidak terdapat di dalamnya hal-hal yang merusak agama. (Majma’ Al Anhar, 3/34)

Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi juga mengatakan sama seperti di atas. (Fathul Qadir, 6/272), juga Imam Zainuddin bin An Nujaim Al Hanafi. (Al Bahr Ar Raaiq Syarh Kanzu Ad Daqaaiq, 3/86), lihat juga Imam Fakhruddin Az Zaila’i. (Tabyinul Haqaaiq, 5/193), Imam Ahmad bin Muhammad Al Hanafi Al Himawi. (Ghamzu ‘Uyuun Al Bashaair, 7/122)

Dalam Fatawa Al Hindiyah, kumpulan fatwa bermazhab Hanafi, juga dikatakan akad nikah di masjid adalah mustahab (disukai/sunah). (Fatawa Al Hindiyah, 43/35)

2. Mazhab Maliki

Imam Al Hathab Al Maliki Rahimahullah berkata:

وأما العقد في المسجد فعده المصنف وغيره من الجائزات

Ada pun akad nikah di masjid, penulis dan selainnya, memandangnya termasuk di antara perbuatan-perbuatan yang dibolehkan. (Mawahib Al Jalil, 5/26)

Imam Abul Barakat Ad Dardir Rahimahullah mengatakan:

( وَعَقْدُ نِكَاحٍ ) أَيْ مُجَرَّدُ إيجَابٍ وَقَبُولٍ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ شُرُوطٍ وَلَا رَفْعِ صَوْتٍ ، أَوْ تَكْثِيرِ كَلَامٍ ، وَإِلَّا كُرِهَ

(Dibolehkan pula akad nikah) yaitu hanya ijab qabul tanpa menyebutkan berbagai syarat-syarat, meninggikan suara, atau banyak berbicara, jika tidak demikian, maka dimakruhkan akad di masjid. (Asy Syarh Al Kabir, 4/70)

Imam Ad Dasuqi juga mengatakan seperti di atas. (Hasyiah Ad Dasuqi ‘Ala Asy Syarh Al Kabir, 16/175)

3. Mazhab Syafi’i

Imam Ibnu Ash Shalah Rahimahullah mengatakan:

يستحب عقد النكاح في المسجد. وفي المغرب الأقصى لا يزال المسجد هو المكان المفضل إلى اليوم لعقد الزواج وإعلانه بدعوة الناس إليه في المسجد.

Disunnahkan akad nikah di masjid. Di ujung Barat negeri, senantiasa masjid menjadi tempat yang memiliki keutamaan hingga hari ini untuk melangsungkan akad pernikahan dan menyiarkannya, dengan memanggil manusia kepadanya di dalam masjid. (Majalah Al Jami’ah Al Islamiyah, 5/300)

Imam Abu Bakar Ad Dimyathi Rahimahullah mengatakan:

ويسن أن يكون العقد في المسجد

Disunnahkan melangsungkan akad nikah di masjid. (I’anatuth Thalibin, 3/273)

4. Mazhab Hambali

Imam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah mengatakan:

أَنَّ عَقْدَ النِّكَاحِ يُشْبِهُ الْعِبَادَاتِ فِي نَفْسِهِ بَلْ هُوَ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّوَافِلِ أَلَا تَرَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ عَقْدُهُ فِي الْمَسَاجِدِ – وَالْبَيْعُ قَدْ نُهِيَ عَنْهُ فِي الْمَسْجِدِ

Bahwasanya akad nikah itu sendiri adalah hal yang menyerupai ibadah bahkan dia lebih didahulukan dibanding berbagai nafilah lainnya, ketahuilah bahwa hal itu disunnahkan akadnya dilakukan di dalam masjid, sedangkan jual beli dilarang di dalamnya. (Al Fatawa Al Kubra, 6/65)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah juga mengatakan kurang lebih sama seperti yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (I’lamul Muwaqi’in, 3/126)

Imam Al Bahuti Rahimahullah mengatakan:

وَيُبَاحُ فِيهِ عَقْدُ النِّكَاحِ ، بَلْ يُسْتَحَبُّ كَمَا ذَكَرَهُ بَعْضُ الْأَصْحَابِ

Dibolehkan akad nikah di dalamnya, bahkan dianjurkan sebagaimana disebutkan sebagian sahabat (Hambaliyah). (Kasyful Qina’, 6/239)

Imam Ar Rahibani Rahimahullah mengatakan:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي الْمَسْجِدِ ، وَيَشْهَدَ النِّكَاحَ لِنَفْسِهِ وَلِغَيْرِهِ

Tidak apa-apa melakukan pernikahan di masjid, dan menyaksikan nikah untuk dirinya dan untuk selainnya. (Mathalib Ulin Nuha, 6/14)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Al Hambali Rahimahullah hanya mengatakan boleh, bukan sunah. Beliau berkata;

استحباب عقد النكاح في المسجد لا أعلم له أصلاً ولا دليلاً عن النبي صلى الله عليه وسلم، لكن إذا صادف أن الزوج والولي موجودان في المسجد وعقد فلا بأس؛ لأن هذا ليس من جنس البيع والشراء، ومن المعلوم أن البيع والشراء في المسجد حرام، لكن عقد النكاح ليس من البيع والشراء، فإذا عقد في المسجد فلا بأس، أما استحباب ذلك بحيث نقول: اخرجوا من البيت إلى المسجد، أو تواعدوا في المسجد ليعقد فيه، فهذا يحتاج إلى دليل، ولا أعلم لذلك دليلاً.

Tidak aku ketahui adanya dasar dan dalil dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang disunnahkannya akad nikah di masjid, tetapi jika bertemu antara pengantin dan wali di masjid lalu akad nikah maka tidak apa-apa, karena ini bukan termasuk jual beli, sudah diketahui bahwa jual beli di masjid adalah haram, tetapi akad nikah bukan termasuk jual beli, maka jika dia akad di masjid tidak apa-apa. Ada pun menyunahkan hal itu dengan perkataan kami: keluarlah kalian dari rumah menuju masjid atau lakukanlah perjanjian di masjid untuk akad di dalamnya, maka hal ini membutuhkan dalil, dan aku tidak ketahui adanya dalil tentang itu. (Liqa Al Bab Al Maftuh, 167/17)

Tertera dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

اسْتَحَبَّ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَقْدَ النِّكَاحِ فِي الْمَسْجِدِ لِلْبَرَكَةِ ، وَلأَِجْل شُهْرَتِهِ فَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ.

وَأَضَافَ الْمَالِكِيَّةُ فِي إِجَازَتِهِمْ لِعَقْدِ النِّكَاحِ فِي الْمَسْجِدِ أَنْ يَكُونَ بِمُجَرَّدِ الإِْيجَابِ وَالْقَبُول مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ شُرُوطٍ وَلاَ رَفْعِ صَوْتٍ أَوْ تَكْثِيرِ كَلاَمٍ وَإِلاَّ كُرِهَ فِيهِ.وَزَادَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمُخْتَارِ عِنْدَهُمْ : أَنَّ الزِّفَافَ بِهِ لاَ يُكْرَهُ إِذَا لَمْ يَشْتَمِل عَلَى مَفْسَدَةٍ دِينِيَّةٍ فَإِنِ اشْتَمَل عَلَيْهَا كُرِهَ فِيهِ

Mayoritas ahli fiqih menyunahkan akad nikah dilangsungkan di masjid karena mencari berkahnya, dan karena hal itu membuatnya tersiarkan. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dia berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana.“ Kalangan Malikiyah menambahkan dalam pembolehannya terhadap akad nikah di masjid, hendaknya proses ijab qabul dilakukan bersih dari syarat-syarat, tidak meninggikan suara, dan jangan banyak bicara, kalau tidak demikian maka makruh akad di dalamnya. Kalangan Hanafiyah menambahkan dalam Al Mukhtar: bahwa pernikahan di masjid tidak dimakruhkan jika di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang merusak agama, jika ada, maka itu dimakruhkan. (Al Mausu’ah, 37/214)

Pada halaman lain disebutkan:

قَال الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ : يُنْدَبُ عَقْدُ النِّكَاحِ فِي الْمَسْجِدِ ، لِحَدِيثِ : ” أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ ، وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ “.وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : إِنَّهُ جَائِزٌ

Berkata Hanafiyah dan Syafi’iyah: dianjurkan melangsungkan akad nikah di masjid, sesuai hadits: “Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. “ Ada pun Malikiyah mengatakan: jaaiz (boleh). (Al Mausu’ah, 41/221)

Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah pernah ditanya tentang akad nikah di masjidil haram, beliau menjawab:

فقد استحب جمهور الفقهاء أن يكون عقد النكاح في المسجد، ومنهم من اقتصر على القول بالإباحة.وعلل المستحبون قولهم بأن النكاح عبادة، ولقوله صلى الله عليه وسلم: ” أعلنوا هذا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدفوف”. ومنهم من علل بالتبرك بالمسجد. والحديث المذكور رواه الترمذي وقال: هذا حديث غريب حسن في هذا الباب وعيسى بن ميمون الأنصاري (أحد رواته) يضعف في الحديث. وقال الألباني بعد ذكر قوله ” واجعلوه في المساجد” : (وهو بهذه الزيادة منكر كما بينته في الأحاديث الضعيفة 982) انتهى من إرواء الغليل 1993. ولا شك أن المسجد الحرام موضع مبارك، وقد نص بعض العلماء على أن مضاعفة الثواب فيه لا تختص بالصلاة؛ بل تعم سائر الطاعات. ولهذا نرى أنه لا مانع لمن كان في مكة أن يقصد المسجد الحرام لعقد النكاح فيه، بل إن ذلك ربما كان أولى. والله أعلم.

Mayoritas Ahli Fiqih menyunnahkan berlangsungnya akad nikah di masjid, di antara mereka ada yang sekadar membolehkan saja. Alasan pihak yang menyunnahkan adalah menurut mereka nikah adalah ibadah, sesuai hadits: “Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana.“

Di antara mereka juga beralasan untuk mencari keberkahan masjid. Hadits yang disebutkan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, katanya: hasan gharib. Pada hadits ini terdapat salah satu rawinya, ‘Isa bin Maimun Al Anshri, dia seorang yang dhaif. Syaikh Al Albani mengatakan (setelah Beliau menyebut: jadikanlah pernikahan itu di masjid): “Hadits ini dengan tambahan seperti ini adalah munkar, saya telah jelaskan dalam Al Ahaadits Adh Dhaifah No. 982. Selesai, kutipan dari Irwa’ul Ghalil No. 1993.

Tidak ragu lagi masjidil haram adalah tempat yang diberkahi, para ulama telah memberikan keterangan bahwa pahala yang berlipat tidak hanya khusus buat shalat, tetapi secara umum berlaku untuk semua bentuk ketaatan. Oleh karena itu, kami (Syaikh Abdullah Al Faqih) menilai bahwa tidak ada larangan bagi orang yang berada di Mekah bermaksud ke Masjidil Haram untuk melangsungkan akad nikahnya di sana, bahkan bisa jadi itu lebih utama. Wallahu A’lam. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 7543)

Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar Rifa’i menyatakan bahwa yang menyatakan sunah adalah Hanafiyah, Syafi’iyah, sebagian Hanabilah, jelasnya adalah berikut:

فإن الظاهر من السؤال أن السائل يقصد به إشهار عقد النكاح داخل المسجد، فإن كان الأمر كذلك فعقد النكاح في المسجد مستحب عند الحنفية والشافعية وبعض الحنابلة، وذهب المالكية وبعض الحنابلة إلى أنه جائز فقط

Sesungguhnya yang tertera dalam pertanyaan, bahwa si penanya mengisyaratkan bermaksud ingin melangsungkan akad nikah di dalam masjid, maka jika ini permasalahannya maka akad nikah di masjid adalah sunah menurut Hanafiyah, Syafi’iyah, dan sebagian Hanabilah, sedangkan pandangan malikiyah dan sebagian Hanabilah adalah boleh-boleh saja. (Fatawa Al Alukah No. 1927)

Nah, dari berbagai keterangan ini menunjukkan bahwa para ulama empat mazhab umumnya menyunahkan (Hanafiyah, Syafi’iyah, sebagian Hanabilah/Hambaliyah) dan –minimal- membolehkan akad nikah di masjid (Malikiyah dan sebagian Hanabilah). Lalu, bagaimana mungkin pendapat empat mazhab ini dikatakan tasyabbuh bil kuffar?

Boleh Tapi ………

Namun demikian kebolehan ini bukan tanpa syarat. Hendaknya akad nikah tersebut tidak dicampuri hal-hal yang munkar seperti ikhtilath (campur baur laki dan perempuan), ucapan porno, musik, nyanyian, dan tari-tarian.

Syaikh Al Fadhil Muhammad Taqiyuddin Al ‘Utsmani mengatakan:

أما عقد النكاح في المسجد فشيء مندوب، نطقت باستحبابه الأحاديث ولكن ما يصحبه من الرقص، والغناء فلا يجوز أصلًا، فإن كانت حفلات الزواج لا تخلو من هذه المنكرات، فلتجنب المساجد منها.

Ada pun akad nikah di masjid maka itu adalah sesuatu yang dianjurkan, disukainya hal itu dibahas di berbagai hadits tetapi hendaknya tanpa ada tari-tarian dan tanpa ada nyanyian, jika ada maka itu tidak boleh. Jika acara pesta pernikahan ada hal-hal munkar ini, maka hendaknya dijauhi dari masjid. (Majalah Majma’ Fiqhi Al Islami, 3/1092)

Imam Asy Syaukani melarangnya

Di antara imam juga ada yang melarangnya, namun pendapat ini berselisihan dengan mayoritas ulama. Dia adalah Imam Ali Asy Syaukani Rahimahullah.

Beliau berkata:

فالمساجد إنما بنيت لذكر الله والصلاة فلا يجوز فيها غير ذلك الا بدليل يخصص هذا العموم كما وقع من لعب الحبشة بحرابهم في مسجده صلى الله عليه وسلم وهو نيظر وكما قرر من كانوا يتناشدون الاشعار فيه.

“Masjid-masjid dibangun sebagai tempat untuk mengingat Allah dan shalat, maka tidak boleh di dalamnya (masjid) melakukan selain dari itu, kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan keumuman hukum ini, seperti permainan tombak oleh orang-orang Habsyah di masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Beliau pun melihatnya dan seperti persetujuan (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) kepada orang-orang yang membaca syair di dalamnya (masjid)”. (Sailul Jarar, 1/351)

Kami lihat, pendapat yang disebutkan oleh Syaikh Khalid bin Abdul Mun’im Ar Rifa’i berikut ini adalah lebih baik, katanya:

والراجح – والله أعلم – أن عقد النكاح في المسجد جائز فقط، وأما الاستحباب فيحتاج إلى دليل، وحديث عائشة الذي ذكره ابن الهمام – ((واجعلوه في المساجد)) – ضعيف، ولو صحَّ لكان نصًّا في الباب

Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam– bahwa akad nikah di masjid adalah hanya boleh, ada pun menyatakan sunah maka hal itu membutuhkan dalil, ada pun hadits ‘Aisyah yang disebutkan Ibnul Hummam – adakanlah pernikahan di masjid– adalah dhaif, seandainya shahih tentu menjadi dasar dalam pembahasan ini. (Fatawa Al Alukah No. 1927)

Kemudian dalam kitab lain disebutkan:

إذن حكم العقد في المسجد، مباح، ولكن لا ينكر على من قال باستحبابه لا سيما وقد قال به علماء كبار.

Jadi hukum akad nikah di masjid adalah boleh, tetapi jangan mengingkari yang menyunahkannya, apalagi yang menyatakan sunah itu adalah para ulama besar. (Mausu’ah Al Khithab wad Durus)

Wa Shallallahu Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.

Sekian. Wallahu A’lam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (23 votes, average: 8.96 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization