Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Kondisi Objek Dakwah Pemuda di Indonesia

Kondisi Objek Dakwah Pemuda di Indonesia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Pemuda Islam pada masa awal Islam memiliki prestasi besar dalam sejarah. Contohnya Zubair bin Awwam yang dikenal dengan prajurit yang pemberani saat usianya 15 tahun. Sa’ad bin Abi Waqash saat usianya 17 tahun sudah ikut berjihad dan termasuk pasukan berkuda pemberani walaupun usianya masih muda. Arqam bin Abi Arqam, seorang pemuda dan pengusaha yang sukses, bahkan mewakafkan rumahnya sebagai tempat untuk belajar para sahabat. Begitu pula pemuda-pemuda berprestasi lainnya yang tertulis dalam lembaran sejarah Islam.

Pengertian pemuda menurut UU Nomor 40 tahun 2009 Tentang Kepemudaan, pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2016 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui bahwa jumlah pemuda sekitar 62,06 juta dari total 257,9 juta penduduk di seluruh Indonesia. Menurut tempat tinggalnya, lebih dari 50 % pemuda terkonsentrasi di pulau Jawa.

Anda bisa mencoba mengenali kondisi dakwah Anda dari berbagai sumber. Buku ini mencoba mengambil data umum dari BPS tentang kondisi pemuda di Indonesia. Anda bisa menggali data-data spesifik yang dimiliki oleh BPS sebagai bahan untuk mengetahui kondisi objek dakwah. Karena fokus buku ini yaitu dakwah dengan sasaran kawula muda, sehingga kondisi objek dakwah yang dibahas pada bab ini dibagi menjadi dua. Kondisi pemuda perkotaan dan pemuda pedesaan. Mengapa dibagi menjadi dua? Hal ini dikarenakan realitas yang terjadi yaitu ada perbedaan karakteristik antara kehidupan pemuda di kota (termasuk desa yang masih dekat dengan lingkungan kota atau desa yang mendapatkan sinyal internet 4G) dan di daerah pedesaan yang tidak mendapatkan sinyal internet 4G.

Menurut hasil Susenas 2016 yang dilakukan BPS (www.bps.go.id), diketahui bahwa sebesar 25,17 % (33,39 juta) dari total penduduk yang tinggal di perkotaan adalah pemuda. Sementara di perdesaan, sebesar 22,90 % (28,68 juta) dari total penduduk perdesaan adalah pemuda. Hal ini menunjukkan lebih banyak pemuda yang tinggal di perkotaan dibandingkan di desa. Baik di kota ataupun di desa, persentase pemuda laki-laki lebih tinggi daripada pemuda perempuan.

Sekali lagi, data yang disampaikan ini hanyalah gambaran umum saja terkait kondisi pemuda di Indonesia. Jika Anda tidak percaya dengan data yang ada ini silakan saja Anda bisa datang langsung ke kantor BPS di kota/kabupaten Anda. Namun, hal yang lebih penting adalah Anda harus berusaha mencari data dan mengetahui berbagai informasi mengenai objek dakwah yang akan Anda dakwahi.

Pemuda, baik di perkotaan maupun pedesaan memiliki kecenderungan untuk tertarik dengan tema-tema ceramah berkaitan dengan cinta. Karena memang masa-masa pemuda ini menjadi masa di mana rasa cinta mulai bersemi. Terutama pemuda-pemuda yang masih lajang atau lebih sering disebut “jomblo”. Pemuda yang sudah menikah juga lebih tertarik pada tema-tema berkaitan dengan rumah tangga Islami, mulai dari mengharmoniskan rumah tangga, memperlancar rezeki, mendidik anak, dan tema lainnya.

Mengenal objek dakwah, peserta atau penyimak dakwah yang akan didakwahi merupakan hal hang sangat penting dilakukan dalam persiapan berdakwah. Pengenalan objek dakwah bertujuan untuk menyesuaikan materi, bahasa, dan metode dakwah dengan kondisi dan kebutuhan objek dakwah. Mengenal objek dakwah menjadi penting untuk mengenal objek dakwah agar pendakwah siap secara mental dan psikologis.

Anda perlu mengetahui beberapa hal untuk menentukan metode dan tema dalam berdakwah. Beberapa hal seperti jumlah objek dakwah, tingkat pendidikan, status sosial, karakter suku dan budaya. Jika objek dakwahnya sedikit tentu perlu cara yang berbeda dengan berdakwah kepada seribu orang. Berdakwah dengan pemuda yang mahasiswa tentu karakternya sedikit berbeda dengan siswa SMA. Berdakwah kepada pesertanya perempuan semua tentu berbeda pembahasannya dengan berdakwah dengan peserta laki-laki semua.

Perbedaan budaya di Indonesia perlu dipertimbangkan dalam menentukan kegiatan dakwah yang tepat. Budaya Indonesia sangat beragam sebagaimana beragamnya suku di Indonesia. Mulai budaya yang sangat lemah-lembut sampai budaya berbicara lantang, dari yang sungkan, hingga blak-blakan. Berdakwah di Jawa yang mayoritas orang Jawa tentu berbeda dengan berdakwah di Makassar. Berikut ini penjelasannya,

1. Pemuda perkotaan

Aktivitas penggunaan gadget sangat tinggi, aktivitas di dunia maya lebih banyak dibandingkan aktivitas fisik atau kegiatan pertemuan bersama. Smartphone menjadi hal yang harus dibawa ke mana pun. Mereka akan merasa risih saat tidak membawa smartphone. Menganggap grup chatting socmed sudah cukup tanpa pertemuan asli di dunia nyata. Sangat banyak grup chatting socmed yang dibuat dalam rangka menjalin komunikasi, mulai dari grup socmed kelas, grup organisasi, keluarga, komunitas, kelompok tugas kuliah, klub olahraga, dll. Walaupun satu sisi mempermudah akses informasi ke anggota grup, tetapi muncul kesan tidak perlu sering bertemu di dunia nyata, toh juga sudah bisa dibahas di grup chatting.

Kecenderungan orang untuk menonton YouTube begitu tinggi. bahkan mendengarkan file musik/MP3 melalui YouTube. Entah menonton YouTube seperti menonton TV saat ini. TV mulai jarang ditonton oleh orang perkotaan, acara-acara TV yang ingin ditonton lebih suka ditonton di smartphone secara online. Terlebih bisa memilih acara yang diinginkan dan tidak perlu khawatir tertinggal dan bisa ditonton kapan pun.

Banyak pemuda yang lebih suka menyampaikan keluh kesah, curhat, pikirannya dalam media sosial untuk mendapatkan komentar, like, dll. Mereka merasa bangga saat status atau foto mereka banyak disukai di media sosial. Berusaha mencari banyak follower di media sosial salah satu tujuan hidup. Serasa makin terkenal saat semakin banyak follower yang dimiliki. Padahal belum tentu semua follower akan ada yang membantu saat mengalami kesulitan.

Data BPS pada tahun 2016 menunjukkan bahwa lebih dari 50 % pemuda Indonesia mengakses internet dalam tiga bulan terakhir pendataan. Kelompok pemuda dengan usia 16-18 tahun menjadi pengunjung internet tertinggi sebesar 62,32 %. Telepon seluler atau Smartphone menjadi media yang paling sering digunakan, sebanyak 94,07 % pemuda mengakses internet melalui telepon seluler. Aktivitas media sosial menjadi tujuan terbanyak pemuda mengakses internet (90,61 %). Selain itu, berdasarkan riset dari Tirto yang dilakukan pada 9 Maret 2017 hingga. 16 Juni 2017, seperti yang dirilis pada situs www.tirto.id terhadap 1.201 responden pemuda dengan usia 7-21 tahun di kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Tangerang, dan Denpasar. Riset yang dilakukan menyatakan bahwa secara rata-rata mengakses internet selama 3-5 jam/hari serta media sosial yang paling sering diakses adalah Instagram dan Line .

Banyak pengajian-pengajian di perkotaan ramai didatangi. Bahkan masjid atau tempat kajian tidak cukup menampung jamaah. Ada juga jamaah yang datang dari kabupaten yang berbeda dari tempat kajian yang memakan waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke lokasi kajian. Hal ini juga didukung dengan semakin seringnya ustadz-ustadz nasional yang berkeliling ke seluruh Indonesia untuk mengisi kajian. Begitu pula yayasan dan Event Organizer yang menyelenggarakan pengajian dengan mengundang ustadz nasional bahkan mengundang ustadz atau ulama dari timur tengah. Muncul semangat untuk menuntut ilmu dan beberapa pengurus masjid mengadakan kajian yang terjadwal agar para jamaah bisa mengikuti kajian sesuai dengan kebutuhan.

Semangat untuk menuntut ilmu agama Islam ini juga didukung dengan munculnya komunitas-komunitas yang aktif dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan kajian Islam, kegiatan sosial, dan syiar Islam yang lainnya. Munculnya beberapa komunitas seperti One Day One Juz, Pemuda Hijrah, Gowes Nyubuh, Komunitas Tanpa Pacaran, Bikers Subuhan, Hijab Squad, dan komunitas lainnya yang aktif dalam berbagai kegiatan syiar Islam.

1 1/2. Pemuda Pertengahan antara Kota dan Desa (Sub-urban)

Pemuda pertengahan ini kondisi dan karakteristiknya hampir mirip dengan pemuda perkotaan. Kondisinya juga tidak sama dengan daerah atau perdesaan. Biasanya daerah pertengahan ini akses ke perkotaan tergolong mudah dijangkau atau masih mendapatkan sinyal internet 4G. Untuk daerah ini perilakunya mirip dengan orang perkotaan, tetapi masih ada nuansa-nuansa pedesaan yang masih terlihat. Misalnya masih banyak ditemukan perkebunan luas, persawahan, dan lahan kosong.

Pemuda pertengahan ini juga tidak tertinggal informasi terkini karena akses jaringan yang bagus. Terkadang malah terlalu memaksakan diri untuk bersikap seperti orang kota, padahal sebenarnya dia berada di perdesaan. Gaya-gaya berpakaian, gaya rambut, kebiasaan-kebiasaan orang kota juga diikuti. Sering mengikuti beberapa acara-acara besar di perkotaan yang aksesnya memang tidak terlalu jauh dari lokasi sehingga secara pengetahuan tidak terlalu tertinggal dibandingkan pemuda perkotaan. Penggunaan smartphone untuk akses ke sosial media juga tidak kalah dengan pemuda perkotaan, karena didukung dengan sinyal internet 4G.

Walaupun akses internet dan informasi memadai, semangat untuk mempelajari agama Islam lewat kajian-kajian ada, tetapi masih kurang dibandingkan dengan pemuda perkotaan. Karena juga jarang yayasan atau event organizer yang mengadakan kajian Islam dengan ustadz nasional di tempat ini. Walaupun ada beberapa masjid di daerah pertengahan yang memiliki jadwal kajian Islam rutin, tetapi tema-temanya belum variatif dan kurang menyentuh segmen pemuda. Lebih banyak tema-tema keislaman yang cenderung tidak disukai pemuda.

2. Pemuda Pedesaan

Daerah atau desa yang tidak terjangkau sinyal internet atau ada sinyal internet 3G. Kecenderungan untuk mengakses informasi sangat kecil dan bahkan tidak ingin tahu mengenai apa yang berkembang saat ini. Beberapa pemuda juga memilih untuk beraktivitas di luar desa, baik dengan kuliah atau bekerja di desa hanya tempat tinggalnya saja. Beberapa pemuda juga memilih tempat yang lebih baik atau memilih tinggal di kota untuk beraktivitas.

Masjid sepi menjadi pemandangan biasa. Apa lagi masjid yang lokasinya jauh dari jalan raya utama yang sering dilalui banyak orang. Pemuda yang rajin ke masjid mungkin bisa di hitung jari. Masjid banyak di isi oleh orang-orang tua dan anak-anak yang belajar ngaji di TPA. Pemuda di pedesaan lebih memilih bekerja untuk kebutuhan hidup. Beberapa pemuda di pedesaan juga lebih memilih untuk nikah muda dan bekerja. Perempuan usia muda yang sudah menikah sibuk mengurus anak dan rumah.

Semangat untuk menuntut ilmu agama bagi pemuda kurang terasa. Terlebih akses informasi yang terbatas dan kurang pengetahuan mengenai apa yang sedang menjadi tren saat ini. Sarana-sarana untuk belajar ilmu agama bagi pemuda juga sulit ditemukan, sehingga bagi pemuda yang ingin belajar ilmu agama perlu ke kota atau ke desa yang ada tempat belajar agama. Menonton video ceramah dari Youtube juga agak terkendala masalah koneksi internet yang lambat. Yayasan-yayasan di pedesaan lebih fokus ke pendidikan seperti mendirikan sekolah atau semacamnya, namun kurang memperhatikan pengembangan pemuda yang nantinya akan menjadi penerus.

Kepedulian kepada orang lain termasuk hal yang sangat di jaga di pedesaan. Saat ada keluarga yang mengadakan walimah/hajatan, umumnya keluarga dan tetangga sekitar akan sukarela membantu. Jika ada kegiatan gotong royong kegiatan desa hampir semua warga ikut membantu. Saat ada kegiatan desa yang menuntut semua warga berkumpul, juga hampir semua warga menghadirinya. Masyarakat di pedesaan biasanya sangat mengenai tetangga-tetangganya bahkan warga satu RT dan RW mereka mengenalnya.

Pendidikan tinggi tidak menjadi suatu hal yang penting bagi pemuda pedesaan. Hal yang menjadi lebih dipandang adalah ia memiliki penghasilan yang besar. Bahkan muncul anggapan daripada uangnya digunakan untuk biaya sekolah, lebih baik digunakan untuk usaha yang menghasilkan uang. Karena faktor lingkungan yang juga tidak mendukung karena fasilitas pendidikan yang kurang dibandingkan perkotaan. Akses pendidikan tinggi juga harus menempuh jarak yang jauh untuk dicapai. Sehingga lebih baik bekerja atau bertani di pedesaan yang memiliki wilayah perkebunan atau persawahan yang banyak. (dakwatua/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang pemuda dan pendidik yang terus berproses untuk memperbaiki diri dan membuat orang lain jadi baik. Gemar mencari inspirasi dari apa yang ditemui, mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi, dan mencoba berbagi kebermanfaatan dari apa yang dimiliki.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization