Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Mengapa Saya Harus Menulis?

Mengapa Saya Harus Menulis?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Menulis merupakan aktivitas yang membosankan bagi sebagian kalangan masyarakat. Namun, banyak sekali manfaat jika sudah memulai untuk menulis. Ya! Saya termasuk orang yang tidak suka menulis. Namun, karena sebuah tuntutan dan keterpaksaan yang membuahkan hasil manis. Bahwa saya percaya dengan menulis saya bisa menyampaikan sesuatu yang ada dalam pikiran saya ini bisa sampai kemana-mana. Entah, itu ke desa, kota atau bahkan ke luar negeri. Its amazing. Sejak kapan saya suka menulis? Seiring berjalannya waktu karena tuntutan yang menjadi kebiasaan sehingga susah untuk di lepaskan. Saya mulai menargetkan 1 hari saya harus menulis minimal nya 1 halaman. Ya! Saya harus rajin menulis. Setelah masuk semester 3 saya mencoba melakukan kebiasaan tersebut. And then, saya merasakan sesuatu hal yang berbeda pada diri saya. Semenjak saya mulai mengirimkan tulisan saya ke media-media online maupun cetak. Pro dan kontra pasti ada. Namun, hanya segelintir orang saja yang kontra terhadap tulisan saya. Saya bersyukur berarti memang benar tulisan saya sampai ke mereka yang berada jauh di sana. Pernah salah satu tulisan saya di muat di media cetak di Koran lokal, Alhamdulillah. Banyak apresiasi dari tulisan tersebut. Satu tulisan saja, bisa menyihir orang sampai kemana-mana. Itulah mengapa dari sekarang “saya tidak akan berhenti menulis”

Sosok ulama seperti DR. Wahbah Zuhaili, DR. Yusuf Qardhawi, Buya Hamka, dan Imam Syafi’I terkenal dengan karya-karyanya. Mereka menjadi orang yang terkenal karena “tulisannya” yang terus di kenang abadi oleh seluruh umat muslim dengan kitab-kitabnya. Para ulama dahulu begitu ikhlas dalam membagi ilmunya dalam banyak kitab dan tidak begitu peduli dengan pembajakan atas karya-karyanya. Ulama-ulama zaman dahulu lebih mementingkan aspek tersebar luasnya ilmu untuk dapat dipergunakan umat muslim. Sedangkan, di zaman sekarang ini, kebanyakan orang begitu mementingkan apresiasi atas karyanya dalam bentuk royalti dan melupakan segi keikhlasannya, sehingga tak rela dibajak.

Oleh karena itu, sebagai penggerak dakwah di masjid perkantoran, para pengurus masjid harus membekali dirinya dengan kemampuan menulis. Ust. Ahmad Sarwat menyampaikan ada 3 syarat bagi seorang muslim untuk dapat menulis dan mencontoh perilaku para ulama dalam menyampaikan ilmu melalui tulisan. Syarat itu meliputi: Ilmu, kesungguhan, dan keikhlasan.

Menulis memang memiliki perbedaan dengan berdakwah (lisan), secara tidak langsung tulisan kita yang tersebar ke media massa itu menjadi buntu oleh pendengar atau pembaca karena tidak ada nya interaksi langsung dengan sang penulis. Namun, kedua nya memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Kadang kita bingung ingin menulis apa. Kalau menurut saya tulisan saja, mulai lah. Just do it. Sebab, dengan kebiasaan kita tanamkan untuk menulis meski itu terpaksa. InsyaAllah akan menjadi kebiasaan yang membuahkan hasil manis. Seorang penulis yang handal bukan mereka yang memiliki bakat dalam menulis. Namun, karena mereka sudah terbiasa untuk menulis. So, mulai lah. Jangan takut salah, keluarin aja semua ide-ide dalam pikiran baik itu cerita, mata pelajaran, curhatan, dll. Seorang pemain handal tidak akan langsung bisa menjadi handal, namun memerlukan waktu untuk berlatih dan terus berlatih.

Dari kemajuan islam dengan tulisan, dengan kilas balik kembali pada sejarah umat Islam di zaman dahulu, kita akan mengetahui satu fakta penting yang menjadikan umat Islam dulu memiliki kemajuan yang pesat dalam berbagai sektor kehidupan. Fakta penting itu adalah begitu kuatnya budaya tulis melekat pada umat Islam.

Melihat kilas balik diatas. Membuat saya semakin bergetar dan semakin termotivasi. Bahwa saya tidak boleh berhenti menulis. Karena dengan satu tulisan saja, bisa sampai kemana-mana. Sebagai aktivis dakwah kampus. Dakwah bukan hanya di kampus saja, namun harus sampai kemana-mana. Dengan keterbatasan interaksi langsung dengan masyarkat. Tulisan kita yakin sampai pada mereka yang membutuhkan. Keep writing. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Reni Marlina, kelahiran Garut 03 mei 1997 sekarang duduk di bangku kuliah semester 3 dengan jurusan Perbankan Syariah di STEI SEBI. motto hidup Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. "Teruslah berada dalam barisan ini, Barisan Peradaban Ekonom Rabbani"

Lihat Juga

Menulis Artikel di Media Massa

Figure
Organization