Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Fiqih Bernegara

Fiqih Bernegara

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (dreamstime.com)
Ilustrasi. (dreamstime.com)

dakwatuna.com – Islam merupakan agama sempurna dan mengatur semua aspek kehidupan manusia, dan bukan hanya mengatur kehidupan individual, namun juga sosial kemasyarakatan sampai pada tingkatan tertinggi yaitu negara. Setidaknya kesempurnaan Islam sebagai sebuah way of life itu termanifestasikan dalam pribadi Rasulullah SAW yang menjadi teladan pribadi yang baik dan pemimpin negara yang andal.

Selama ini kajian tentang hubungan antara agama dengan negara harus terus ditingkatkan  dengan merujuk kepada sumber primer yakni al-Quran, hadits, dan ijma’ ulama’. Karena, banyak hal yang perlu dipahami oleh umat Islam terkait hubungan antara agama dengan negara, di era modern ini seperti tentang sistem demokrasi, multipartai dalam tubuh umat Islam, dan keterlibatan wanita dalam berpartisipasi di pemerintahan.

Seperti yang kita ketahui, bahwa agama selalu memiliki kedudukan istimewa di mata manusia secara spiritual yang tidak dimiliki negara. itulah mengapa manusia rela untuk beribadah walaupun terkadang terasa memberatkan dirinya. Dengan kedudukannya itu maka agama akan tetap terus relevan di dunia ini,  karena dunia merupakan ladang manusia menanamkan kebaikan, yang akan dipanen di akhirat nanti.

Kekuasaan dan Agama

Begitu juga hubungan antara Kekuasaan dengan Agama, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di mana pun kehidupan di dunia ini pasti memerlukan adanya kekuasaan sebagai sarana menjamin keteraturan hidup. Dan agama menyediakan konten untuk keteraturan itu. Maka sejatinya antara agama dan negara memiliki hubungan yang erat dan sesuai kebutuhan fitrah manusia, dalam arti  agama lahir karena manusia memerlukan aturan, sedangkan negara lahir karena manusia memerlukan struktur bagi keteraturan. Dan keduanya adalah kebutuhan manusia.

sebagai konten aturan, agama bisa juga dikatakan sebagai tiang bagi negara (kekuasaan), sedangkan pemimpin negara (penguasa) berperan sebagai penjaga tiang itu. Keberadaan tiang dalam bangunan adalah vital. Karena tanpa tiang, bangunan akan runtuh. Sedangkan agama sebagai tiang memerlukan penjaga. Karena aturan yang tidak dijaga akan sulit ditaati. Seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa keteraturan dan disiplin tidak akan terwujud tanpa pemimpin.

Begitu eratnya hubungan antara kekuasaan dengan agama, maka penunjukan seorang sebagai pemimpin dalam Islam merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Mengingat kemaslahatan Ummat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial secara teratur. Dengan demikian agama dan kekuasaan saling terkait, seperti  yang dikatakan Ibnu Taimiyah : ‘Karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain’.

Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, di era modern saat ini, ketika telah hadir negara sebagai manifestasi berbagai pemikiran di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan, peran agama masih tetap diperlukan keberadaannya. Mengingat Agama menolak bentuk sekulerisme yang memisahkan antara agama dengan negara.

Relevansi Aturan Agama

Hubungan erat antara agama dengan negara setidaknya bisa ditunjukkan dengan adanya relevansi segala yang diatur dalam agama dan negara. Seperti halnya dalam kehidupan bernegara, yang memerlukan peran parpol sebagai tempat menghimpun setiap kelompok untuk meraih kekuasaan. Dalam kaitan ini, keberadaan parpol bisa dikatakan dalam bahasa agama adalah perwujudan Mazhab dalam politik. Seperti halnya mazhab dalam fiqih.

Berbagai hal yang tidak disukai atau dihindari dalam kehidupan politik karena berdampak buruk, ternyata juga tidak disukai dalam fiqih, seperti halnya  sikap fanatik buta yang mengkultuskan pemimpin, seolah-seolah mereka Nabi. Mengingat di dalam Fiqih juga dilarang adanya sikap fanatik buta pada salah satu pendapat.

Termasuk soal pemilihan umum yang masih menimbulkan pro kontra di dalam pandangan umat Islam, mengingat sebagian besar negara mayoritas Islam hidup dalam sistem demokrasi. Dalam kaitan ini Islam telah memberikan jawaban kepada kaum muslimin untuk bisa memanfaatkan sistim itu demi kebaikan umat, dengan bersandar pada ayat Al-Quran “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (Q.S ath- Thalaq [65] :2).

Sehingga seperti yang diterangkan oleh Dr. Yusuf Qardhawi, yaitu: “siapa yang tidak memberikan suaranya dalam pemilihan umum, sehingga calon yang layak dan jujur kalah, kemudian orang yang tidak kompeten dan tidak memenuhi syarat ternyata menang dengan mayoritas, maka dia telah melanggar perintah Allah untuk memberikan kesaksian, dan dia dapat dikatakan orang yang menyembunyikan kesaksian yang dibutuhkan umat. Sebagaimana juga firman Allah “dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil” (Q.S. al-Baqarah[2]:282) juga pada firman-Nya “ dan janganlah kamu (para saksi menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya”. (al-Baqarah[2]:283).

Di dalam demokrasi, perlu pula jawaban mengenai mekanisme pengambilan keputusan dan partisipasi perempuan. Di dalam agama juga diatur mekanisme musyawarah atau syura yang mengikat bagi semua pihak, bukan sekedar masukan. Begitu juga terkait Dalam kaitan partisipasi, di dalam negara perempuan dan pria memiliki hak politik yang sama. Hal itu diatur dalam agama, bahwa “Wanita adalah saudara kandung pria” (HR Abu Daud).

Agama juga mengatur bagaimana kesetaraan ekonomi harus dijalankan, sehingga negara juga diharuskan memiliki keberpihakan kepada kaum yang lemah dalam bidang ekonomi. Tidak boleh ekonomi dikuasai oleh sekelompok orang atau konglomerat sedangkan sebagian besar lainnya miskin. Seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Ashar ayat 7:  supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja”.

Sebagai pemegang kekuasaan, negara juga bertugas sebagai pemberi petunjuk (visioner) di berbagai sektor yang dibutuhkan rakyatnya, jadi bukan hanya pengumpul harta atau pajak dari rakyatnya. Dengan demikian negara perlu pula berwawasan global dan internasional sebagai manifestasi nilai rahmatan lil ‘alamin. Walaupun begitu besar peran negara dalam mengatur kehidupan rakyatnya, namun negara tidak diperbolehkan mendominasi kebenaran, karena mendominasi kebenaran adalah tugas agama. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Wakil Ketua Komisi VIII FPKS DPR RI.

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization