Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Anak / 7 Tips Membangun Hubungan Mesra Antara Ibu dan Putri Remaja

7 Tips Membangun Hubungan Mesra Antara Ibu dan Putri Remaja

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Kontributor dakwatuna.com dr. Rosaria Indah (tengah). (ist)
Kontributor dakwatuna.com dr. Rosaria Indah (tengah). (ist)

dakwatuna.com – Membersamai putri-putriku di akhir pekan merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Walaupun di tengah hiruk pikuk menjadi panitia acara walimahan di Campsie (Sydney), kami sempat juga bicara heart to heart dengan anak gadisku yang sedang puber. Ia bercerita dengan krisis-krisis yang terjadi pada teman-temannya di high school. Ada yang mencari perhatian dengan mengganggu guru (sampai gurunya menangis), ada yang sengaja membuat gank anak nakal, ada yang ber-make-up tebal, yang berusaha keras menjadi juara sport sampai yang hobby bernyanyi-nyanyi tidak jelas.  Maklum…sedang mencari keunggulan diri, membentuk jati diri (self image).  Terkadang usaha mencari perhatian ini membuat hubungan mereka dengan para ibu menjadi meruncing, cenderung membangun konflik.  Hal ini menjadi sumber keresahan bagi kedua pihak, baik ibu, maupun putri remajanya.

Aku percaya hubungan ibu dan putri itu seperti pohon, tidak statis. Ia bisa tumbuh semakin rindang, tapi bisa juga bias berubah menjadi kering dan mati. In order to keep it growing, masing-masing pihak harus terus belajar.  Dari beberapa saran di laman psych-sync ada beberapa tips yang bisa dilakukan para ibu agar mampu mensuport gadis-gadis mereka yang sedang puber:

  1. Segera ambil tindakan jika ada perubahan besar dalam hidup anak kita. Make the first move.  Jangan abaikan. Jangan berfikir hal ini akan segera berlalu. Jika ada yang aneh-aneh, bicarakan dengan suami dan putri Anda, apa yang sebaiknya dilakukan, termasuk pergi ke psikolog remaja. Di Australia, melakukan konsultasi dengan psikolog bukanlah tanda kelemahan diri, namun justru dianggap tanda bahwa orang tua serius dalam menanggapi masalah pada dirinya serta juga pada anak-anak mereka.  Jangan tunda lagi. Aku sendiri pernah mengalami masa-masa sulit dan cukup terbantu dengan adanya konsultasi dengan psikolog.  Akui saja, terkadang kita butuh bantuan professional.
  2. Ubah diri Anda sebagai seorang ibu. Mungkin tadinya kita bermake up tebal, mengaji dan shalat ogah-ogahan. Bicara serampangan. Ubah diri kita dulu, sebelum berharap diri anak kita berubah. Kalau tujuan hidup kita tidak jelas, jangan harap anak kita punya tujuan hidup yang benar. Dia perlu role-model. Dia butuh seseorang untuk jadi idola. Kalau ibunya tak bisa jadi idola, mungkin superstar rock band akan dipilihnya. Pertanyaannya : Anda sendiri ingin jadi apa?
  3. Berlatih berkomunikasi dengan menjadi pendengar aktif. Waktu gadis kita masih kecil, kita bernyanyi dan bercerita, dia mendengar dan berlatih bicara. Kini dia remaja, dia perlu bernyanyi dan bercerita dan kita mendengarkannya. Mendengar aktif artinya “reflecting back what the other person is saying,”  bukan meyakini asumsi kita saja. Yakinkan dia bahwa kita memahami perasaannya, pahami emosi di balik ceritanya. Ulang kata-katanya dengan pemahaman kita. “Jadi, apa kakak merasa sedih karena pengalaman tadi?”
  4. Segera perbaiki rusaknya hubungan. Orang sehat tidak akan menghindari konflik. Mereka menyadari konflik tak bisa dihindari, tapi bisa diatasi. Apa yang terjadi jika konflik diabaikan? Akan tercipta pola baru : tiap kali ada konflik, anak berfikir bahwa ibunya akan mengabaikan. Dia akan merasa terbuang. Lebih parah lagi, dia akan mengadopsi pola yang sama di rumah tangganya nanti, dengan suami dan anak2nya. Ah….ga ingin terjadi seperti itu kan?  Ayolah…kita baikan… mari sama2 belajar untuk saling memaafkan…
  5. Sepakat untuk tidak sepakat. Anak bukanlah kembaran muda diri kita. Mereka adalah pribadi baru, hopefully lebih baik dari ibunya. Ada hal yang kita tak sukai tapi dia menyukainya. Sepanjang hal tersebut tak menyimpang dari aturan Allah, siaplah untuk tidak melarangnya. Sepakati, walau diri kita tetap tak suka.  Ajarkan dia bahwa kita masih bisa ‘berteman’ walau hobby kita beda.
  6. Gunakan sudut pandang “aku” bukan “kamu”. Misalkan: “Ummi sedih Wafa jarang setoran hafalan lagi”. Bukan pernyataan “kenapa kamu ga menghafal lagi nak?”.Karena kesannya kita kasar, sarkastis dan menghakimi. Mengakibatkan luka di hati dan menjauhkan kita dari penyelesaian masalah.
  7. Jelaskan cara komunikasi yang paling tepat untuk masing-masing pihak. Aku jelaskan “Jika Ummi sedang berada di kantor, Ummi tidak suka ditelpon, Ummi suka ngomong langsung di saat sarapan atau di week end. Kalau ada yang penting sekali untuk dibeli atau disampaikan, kirim text message saja”.  Mudah-mudahan dia tidak akan kecewa jika menelpon dan saat itu telpon tidak diangkat. So far, so good. Tiap hari ada yang dibicarakan waktu sarapan, baik keperluan sekolah, homework, excursion, dan lain-lain. Dinner talk untuk curhat singkat dan weekend untuk curhat yang panjang (Yes. Bisa ditebak : Ummi pasti curhat soal thesisnya).

Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat dan hubungan dengan putri kita terus bertambah rimbun seperti pohon yang terus tumbuh. Akan ada pohon lainnya di sampingnya, yakni hubungan dengan cucu-cucu kita. Semoga ia juga bisa menumbuhkannya dengan baik. I love you, my daughters…both of you are inspiring persons for me. Endlessly.

Sydney, end of winter 2016.

(dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
PhD students at School of Education and Social Work, The University of Sydney, Australia. Medial teacher at Faculty of Medicine, Syiah Kuala University. Researcher at Tsunami Disaster and Mitigation Research Center

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization