Topic

Nomor 2

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)
Ilustrasi (123rf.com/Jasmin Merdan)

dakwatuna.com – Dulu, Mama bukan seseorang yang “berarti” untukku. Bapak yang utama; tenang, serba bisa, tampan, idamanlah pokoknya. Mama? Nomor dua. Setelah urusan Bapak selesai, baru Mama. Intinya, Mama belakangan.

Sejak kecil, komunikasiku dengan Mama tidak begitu baik. Sebagai anak sulung yang lebih sering ditinggal dengan pengasuh, peran Mama tidak banyak dalam hidupku. Mama selalu jadi pilihan terakhir ketika ada masalah. Bagiku, Mama terlalu banyak aturan, cerewet, dan kaku.

Setiap ada masalah berbau “perempuan”, Mama bukan narasumber utamaku. Segan, malas, kadang sedikit tak percaya. Untungnya kedudukanku sebagai cucu pertama di keluarga Mama membuat limpahan kasih sayang mengalir deras untukku.

Sampai Februari kemarin, Mama masih jadi sosok yang “salah”. Tak pernah menunjukkan kerinduan sekalipun putrinya merantau selama kuliah. Ah, Mama.. tak ada petuah klise macam, “Hati-hati, Nak. Merantau bukan persoalan sepele. Merantau butuh kekuatan, ketegaran, dan kemampuan bertahan yang kuat.”

Sebenarnya nasihat sederhana macam, “Kamu perempuan, hati-hati!” saja cukup untukku. Sedikit saja raut kekhawatiran Mama tunjukkan, mungkin aku akan melayang senang. Ah, lagi-lagi itu mustahil. Mama minim ekspresi. Tak ada perayaan ulang tahun, tak ada ucapan selamat menjadi juara kelas, semangat olimpiade bahasa, atau kalimat-kalimat sepele semacam itu. Mustahil mengharapkan Mama seekspresif itu. Mustahil ada ucapan selamat ulang tahun di pagi hari, ucapan-ucapan penyemangat belajar, atau kejutan-kejutan kecil yang manis.

Mama, selalu dinomorduakan dalam hal apa pun. Bagiku, acara pembagian rapor dan kenaikan kelas lebih manis jika Bapak yang hadir. Mama tak terlihat bangga sekalipun aku naik podium berkali-kali.

Mereka yang juara 2 atau 3 biasanya mendapat kecupan sayang bertubi-tubi dari orang tuanya. Aku yang juara 1 hanya bisa berkhayal, mungkin nanti Mama akan memelukku seerat itu. Mungkin nanti, entah kapan.

Sabtu sore, sebaris pesan singkat muncul. Mama, “Teh, maaf jika selama ini Mama tak pernah terlihat bangga. Maaf jika selama ini Mama tak pernah mengantar Teteh sampai Depok. Asal Teteh tahu, tiap kali Teteh pulang Mama tak pernah berhenti menangis. Putri kecil Mama yang kuat, baik-baik di rantau sana.” Ah, Mama.. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta penerima Beastudi Pemuda Indonesia.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization