Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Goresan Punggung Ibu

Goresan Punggung Ibu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)

dakwatuna.com – Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.

Itulah istilah yang sering kita dengar dari telinga kita. Betapa berat perjuangannya, untuk memenuhi kebutuhan anak yang dicintai. Tak ada sedikit rasa lelah ataupun keluh kesah yang keluar dari mulutnya. Bahkan kadang nyawa pun harus dia pertaruhkan. Adakah sosok yang seperti ibu? Mungkin ketika kita sudah berkeluarga dan mapan akan sedikit melupakan jasa ibu.

Teriakan dan ayunan berat langkah kaki Ibu di sepanjang gang Amal 4 tiap sore sudah menjadi pemandangan yang biasa. Tidak hanya itu, pecel bothok, lontong, dan gethuk buatan ibu memang tidak ada duanya. Dengan digendong tenggok, makanan yang sudah matang itu dijual di sekitar rumah. Meskipun sangat berat tetapi punggung ibu kuat menahan itu. “Pecel…pecel…pecel…!!!” Teriakan ibu membangunkan penghuni rumah yang dilewatinya saat berdagang keliling. “Perut jadi lapar kalau dengar suara budhe pecel (sapaan yang sering diucapkan oleh langganan ibu)” ujar Lasmi salah satu pelanggan ibu. Alhamdulillah…. ibu tidak pernah lupa bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah di setiap doa-doanya.

Ibu adalah sosok yang aku junjung tinggi nama dan kehormatannya. Ibu bernama Sumirah anak ke 3 dari 5 bersaudara buah hati dari Pawiro Dikromo dan Sundari. Jalan hidup ibu tak semulus wanita kebanyakan. Ibu dilahirkan di Solo dari keluarga petani yang kaya, tapi di usia 13 tahun ibu sudah diterpa cobaan berat. Kematian nenek disertai bangkrutnya pertanian milik kakek, membuat ibu tidak bisa bersekolah.

Sama dengan anak-anak yang seusianya, Ibu bercita-cita menjadi pegawai negeri. Tapi nasib telah memaksa untuk tidak memilih. Ibuku terpaksa menerima lamaran dari laki-laki tampan dan mapan. Memang cinta tidak bisa dipaksakan, ibuku meminta cerai dari suaminya setelah beberapa hari menikah.

Keputusan ibu membuat kakek marah besar hingga diusir dari rumah. Rasa bersalah memberikan kekuatan dan tekat ibu merantau ke Jakarta. Hanya dengan bekal Rp. 50.000 ibu mampu hidup di Jakarta. Banyak laki-laki tampan dan kaya tetapi ibu telah memilih pendamping hidupnya, yang hanya seorang supir taxi blue bird.

Bertahun-tahun kakakku (Yani), Adikku (Handa), dan aku (Nida) menempati rumah itu dan bersekolah di sana. Meskipun jauh dari ibu, kami mampu menjadi juara kelas. Keinginan untuk bersekolah lebih tinggi pun kami kami paksakan kepada ibu dan bapak. Dari dulu ibu adalah orang tua yang demokratis.

Meskipun kami miskin, tapi tekad untuk merubah nasib sudah mendarah daging. “Jangan sampai nasib ibu menurun ke kalian” kata ibu sambil mengelus-ngelus rambutku. Ibu menyetujui kakakku dan aku kuliah di Jakarta. Selain bisa bersekolah aku bisa membantu ibu bekerja.

Di kontrakan kecil ini, aku dan keluargaku mengadu nasib. Di kontrakan ini pula ibu mendapatkan pelanggan tetap. Ya sewajarnya masakan ibu dikenal, ibu sudah 20 tahun berjualan di sini. Kebutuhan dan biaya pendidikan di universitas ternama di Jakarta yang tidak murah memaksa ibu untuk berjualan dua kali sehari. Pengasilan dari taxi bapak tidak bisa mencukupi semuanya. Tiap pagi ibu berjualan bubur nasi dan siangnya ibu berjualan pecel keliling di sekitar rumah.

Selama tiga tahun ibu berjualan ekstra keras. Selama itulah aku mengerti susahnya mencari uang. Setiap pulang dari berjualan ibu selalu mengeluh capek dan masuk angin. Aku selalu siapkan minyak kayu putih dan balsem di dekat kasur ibu. Kuurut kaki-kakinya yang keras karena terlalu sering berjalan. Kuurut pula punggungnya yang banyak goresan-goresan tenggok.

Aku menangis saat melihat punggung ibu yang lama-lama mengeras, inginku menggantikannya sekarang. Ya Allah berikanlah Ibu umur yang panjang, agar aku bisa membahagiakannya.

Pada tahun 2009, pertama kalinya ibu menerima undangan upacara wisuda strata satu dari UNJ di Balai Sudirman. Ibu menghadiri pesta kelulusan itu dengan memakai kebaya merah yang dipinjam dari tetangga. Ibu tercengang melihat sekitar seribu wisudawan yang hadir bersama orag tua masing-masing. Ketika upacara itu memasuki pemberian penghargaan terhadap mahasiswa terbaik, setengah sadar ibu mendengarkan bahwa aku adalah salah satu mahasiswa yang mendapat penghargaan terbaik itu.

Tidak disangka-sangka aku mendapat beasiswa dari blue bird group tempat bapakku kerja yang bisa membiayai pengobatan ibu di rumah sakit Jogja. Dokter memvonis menderita infeksi saluran ginjal dan infeksi lambung. Hal ini dikarenakan pekerjaan ibu yang terlalu diforsir sehingga lupa makan.

Tiap malam aku tidak lupa shalat tahajud dan bersimpuh, berdoa meminta Allah untuk menyembuhkan penyakit ibu. Alhamdulillah…. selama satu tahun dengan obat jalan, ibu kembali sehat.

Sekarang ibu sudah berjualan kembali, meskipun tidak seperti dulu masih cukup untuk makan. Jika aku ditanya siapa yang pantas menjadi kartini era sekarang aku akan menjawab ialah ibuku. Karena ibu adalah pilihan kedua setelah aku memilih Allah, ibu lah yang menjadi motivator dalam hidupku. Aku bangga pada ibu…. Terima kasih Ibu…

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan, Program Studi Penerbitan (Jurnalisitik).

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization