Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Intelektual Profetik, untuk Semua Ruang Lingkup Kehidupan [1]

Intelektual Profetik, untuk Semua Ruang Lingkup Kehidupan [1]

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kammikomsatugm.wordpress.com)
Ilustrasi. (kammikomsatugm.wordpress.com)

dakwatuna.com – “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (QS. Al Imran:110).[2]

Intelektualitas identik dengan keutamaan akal. Ia berangkat dari penalaran manusia atas fenomena dan realitas yang ditemukan oleh inderanya. Menurut Al Mawardi, dalam karyanya Adabud Dunya wad Din akal merupakan jaminan atas diberikannya hawa nafsu. Jika hawa nafsu diasosiasikan dengan sumber keburukan, dengan begitu akal menjadi sumber keutamaan – akal ada untuk mengendalikan nafsu. [3]

Intelektual diartikan sebagai bentuk kesadaran, kepahaman, dan pemikiran. Sedangkan profetik secara sederhana dimaknai kenabian. Secara filosofis, nabi diidentifikasikan sebagai manusia yang bergerak atas dimensi kecerdasan intelektual dan spiritual (wahyu) dengan misi mentransformasikan wahyu dalam kehidupan sosial.

Intelektual profetik merupakan wujud penyandingan antara ilmu dan agama, antara saintifik dengan teologis, antara orientasi dunia dan akhirat, antara keinginan manusia dengan kehendak langit, yang semuanya bermuara pada hasil penalaran akal dan penalaran wahyu.

Intelektual profetik adalah lawan dari pemikiran sekuler dan satu bentuk perlawanan atas hagemoni filsafat barat. Roger Garaudy dalam bukunya “Janji-janji islam” menggugat filsafat barat yang hanya terkungkung oleh dua kutub, antara idealisme dan materialisme. Filsafat barat telah meniadakan tuhan sebagai pemilik sistem. [4] Filsafat barat ini secara historis dipengaruhi oleh “kekecewaan” atas praktik keagamaan yang saat itu menjadi dogma yang mengungkung kreativitas berpikir para intelektual di zaman kegelapan (the dark age), sebelum akhirnya Eropa bertemu zaman pencerahan (Renaisance) setelah berinteraksi dan mengenal islam. [5]

Transformasi Intelektual Profetik

Intelektual sekuler dekat dengan pemikiran liberal. Maka wajar banyak di antara cendekiawan, politisi, seniman, dan sebagaianya – terkungkung oleh pemikiran-pemikiran yang jauh dari teori dasar islam, sekalipun ia adalah seorang cendekiawan muslim. Hal ini tidak lain karena produk pendidikan sekuler dan realitas budaya yang berorientasi pada dunia.

Sehingga perlu adanya sebuah bentuk kesadaran kolektif untuk mengusung intelektual profetik sebagai fondasi pemikiran dalam memandang sebuah permasalahan ummat, karena segala hal yang terwujud dari aktivitas kita merupakan produk dari alam pikiran. Untuk mentransformasikan agenda ini, maka diperlukan sebuah wadah, seperti gerakan sosial profetik, atau dalam konteks yang lebih besar yaitu kepemimpinan profetik.

Hanya dengan gerakan dan kepemimpinan profetik-lah, gagasan-gagasan profetik dapat di-Indera-kan menjadi nyata. Ia dapat dilihat, dicium, diraba, dirasa, dan didengar – secara sederhana, intelektual profetik dapat bertransformasi menjadi sebuah bentuk nyata. Ada beragam ruang lingkup contoh untuk memahami intelektual profetik, di antaranya dalam lingkup kehidupan sehari-hari, ibadah, pendidikan, sosial, hingga kebijakan publik.

Dalam kehidupan sehari-hari, urusan makan misalnya, saat kita mengambil piring untuk mengisi nasi dan lauk, secara intelektual kita akan memilih menu yang bergizi dan baik untuk kesehatan, namun secara profetik kita juga akan memilih yang halal dan bermanfaat, tak lupa berdoa dan makan dengan etika yang diajarkan islam.

Dalam lingkup pendidikan, sebagai tempat transfer dan transformasi ilmu, pendidikan merupakan wadah bertemunya ide-ide dan teori-teori saintis (baik sosial maupun alam). Seorang guru yang intelektual profetik, tentu tidak akan terkurung oleh ide-ide dan teori yang hanya berorientasi barat, akan tetapi juga akan mentadabburi ayat-ayat quran untuk mengkonfirmasi beragam teori tersebut, misalnya teori proses perkembangbiakan manusia, teori penciptaan alam semesta, teori lingkungan hidup, teori biosfera, sastra, fisika, psikologi dan sebagainya. Alquran harus ditafsiri secara kontekstual dengan pengkajian mendalam. Dengan demikian produk pendidikan yang dihasilkan bukanlah produk yang mendewakan segala hal yang bersumber dari barat (sekuler), sekaligus menumbuhkan kebanggaan baginya untuk mencintai islam. Agenda ini bisa dikatakan sebaga islamisasi ilmu, di mana ilmu harus dipandang secara teologis (pendekatan agama). [6]

Selanjutnya dari konteks seni, dapat kita ilhami dari pesan: seni tingkat tinggi itu ialah seni yang tidak hanya menghadirkan keindahan bagi yang melihat, akan tetapi juga semakin menggugah pembuat dan penikmatnya untuk semakin mendekat pada sang maha pemilik keindahan. Kuntowijoyo salah satu pemikir ilmu sosial profetik juga memiliki konsen mengenai seni – sastra profetik. Sastra Seni yang tidak sekadar mengeksploitasi kreativitas manusia, tetapi juga bervisi untuk membebaskan manusia pada materialisme. Sastra yang memiliki pesan ilahiyah. Hal ini dapat kita simak dari beberapa karya sastranya. Ada banyak seniman-seniman lain yang hidup dan karyanya berioentasi pada nilai-nilai teologis, bukan justru menjadi seniman yang urak-urakan dan sinkretis (mistis dan syubhat). [7]

Dalam konteks yang lebih luas, pelaksanaan kebijakan publik. Pembangunan inovatif bukan sekedar berorientasi nilai ekonomi, tetapi juga berorietasi pada nilai ekologis. Pemeliharaan lingkungan merupakan salah satu yang “diwahyukan” untuk dikerjakan. Hablum minal alam. Pembangunan profetik akan meminimalisir kerusakan lingkungan. [8]

Selain masalah pembangunan, kebijakan publik dapat kita kaji melalui perundang-undangan. Misalnya UU tentang lokalisasi judi dan lokalisasi PSK yang beberapa waktu lalu sempat menjadi perbincangan. Secara nalar akal, lokasisasi maksiat disinyalir dapat memudahkan pengawasan pemerintah, terlebih jika diterapkan pajak, secara otomatis dapat menambah pendapatan daerah. Di satu sisi pemangku kebijakan juga berdalih memudahkan proses pembinaan sosial dan kesehatan bagi penduduk di daerah lokalisasi. Namun jika ditarik lebih dalam dari sisi nalar wahyu, lokalisasi hanya akan menjadi “ladang pembiaran” atas kemaksiatan, belum lagi menjadi sumber pendapatan yang mengeksploitasi kemanusiaan, justru ini merupakan penistaan terhadap HAM, alih-alih menegakkan kebebasan HAM. Dari kebijakan ini pemerintah dapat dikatakan gagal dalam melindungi “sisi kemanusiaan” rakyatnya. Praktik kebijakan seperti ini dalam Siyasah Syar’iyah merupakan praktik dzolim pemerintah dan dana yang dieksploitasi bernilai haram. Sejatinya, orientasi kebijakan bukan hanya sekadar penarikan keuntungan, namun juga mesti mencakup nilai kemanusiaan, dan keberkahan. [9]

Sisi inter-relasi sosial, bagaimana seorang individu/kelompok memandang sebuah perbedaan. Toleransi adalah kunci untuk hidup berdampingan, namun tetap menjaga batas-batas aqidah agar tak terjebak pada toleransi (pluralisme) sesat. Dari segi fikrah seorang muslim mesti bersikap eksklusif, tetapi dalam konteks pergaulan haruslah mengedepankan inklusifitas universal dalam upaya dakwah. [10] Dengan demikian secara akal akan menjaga hubungan, secara wahyu juga terjaga aqidah. Dan banyak konteks-konteks lain yang merupakan ruang dialektis untuk menerapkan paradigma Intelektual Profetik.

Dalam konteks gerakan sosial, kita mengenal beberapa organisasi yang berparadigma intelektual profetik. Sehingga bisa dikatakan gerakan ini sebagai gerakan sosial profetik. Diantaranya KAMMI, dalam hal ini memandang intelektual profetik sebagai gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. [11] Sebagai kelanjutan dari “gerakan dakwah tauhid”, intelektual profetik merupakan ejawantah dari konsepsi tauhid, sekaligus menjadi parameter berfikir dalam memandang berbagai persoalan pokok kebangsaan dan keumatan. Sehingga agenda gerakan menjadi transformasi amal-ibadah yang ilmiah (terukur) dan komprehensif (menyeluruh).

Secara intelejensia, gagasan “intelektual profetik” berangkat dari pemikiran Prof. Dr. Kuntowijoyo yang bertajuk “Ilmu Sosial Profetik”, gagasan ISP sendiri juga dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Induk dari pemikiran ini bersumber dari beberapa pilar penyangga, yaitu humanisasi, liberasi, dan transedensi.

Humanisasi merupakan istilah untuk menggambarkan peran umat sebagai penyeru amar ma’ruf. Inti ajaranya berisi tentang konsep humanisme-teosentris, humanisme yang berasal dari aturan tuhan. Bukan humanisme-antroposentris yang dibuat oleh kelompok anti-tuhan. Konsep ini bernafaskan atas pembebasan manusia atas ketundukan pada kekuasaan eksploitatif sesama manusia. Humanisme-teosentris bergerak dari amal sholeh, dan menjadikan manusia kembali pada fitrahnya sebagai makhluk yang diciptakan dan membutuhkan tuhan. [12]

Konsep liberasi ialah turunan dari nahi munkar (mencegah kemungkaran). Inti dari ajarannya berisi tentang konsepsi pembebasan manusia dari ketundukkan dan ketakutan pada hagemoni manusia. Liberasi di sini mencakup pembebasan manusia dari belenggu di segala bidang. Bukan sekadar pembebasan antar kelas seperti yang diangkat oleh Marx, atau sekadar pembebasan liberal seperti yang diangkat oleh Fukuyama. Ia mencakup pembebasan atas kemiskinan dan ketertindasan. [13]

Kemudian, konsep transedensi adalah wujud dari tu’minuna biLlah (beriman kepada Allah). Iman mencakup dimensi vertikal ke langit dan dimensi horizontal yang terwujud menjadi ibadah sosial. Konsep transedensi adalah kunci humanisasi yang memanusiakan manusia dan liberasi yang membebaskan manusia. Ia menjadi manusia seutuhnya dan bebas sepenuhnya namun tetap bermuara pada keimanan. Ia tidak seperti teori positivisme Comte yang meniadakan peran agama dalam kehidupan. Konsep transedensi menjadikan manusia sebagai manusia yang bebas dari ketundukkan kepada selain-Nya . [14]

Diperlukan kajian yang mendalam untuk memahami hakikat intelektual profetik secara utuh. Namun secara sederhana, sejatinya intelektual profetik adalah sebuah keniscayaan bagi setiap muslim, terutama aktor gerakan sosial dan mereka yang mengemban amanah di berbagai ranah kebijakan publik. Pertemuan antara nalar akal dan wahyu adalah wujud dari hadirnya ruh islam dalam permasalahan sosial. Dan.. semakin memperjelas bahwa solusi islam adalah tawaran perjuangan.[]

Dikaji dari berbagai sumber:

[1] Tema diskusi KAMMI Daerah Bandar Lampung tentang “Intelektual Profetik Untuk Semua Ruang Lingkup Kehidupan”, akan dikaji dan ditulis kembali dalam bentuk kumpulan esai intelektual profetik.

[2] Alquranul kariim, Al-Imron: 110

[3] Al-Mawardi. 2008. Islam Happy Ending. Pustaka Hidaya: Bandung. (Judul asli: Adabud Dunya wad Din, diterbitkan oleh Dar al-Furjani, Kairo Mesir). Teks asli ditulis di zaman Abbasiyah.

[4] Roger Garaudy. Janji-janji Islam.

[5] Jonathan Lyons. 2013. The Great Bait al-Hikmah: Kontribusi Islam dalam Peradaban Barat. Noura Books: Jakarta

[6] Ahmad Risani. 2015. Menghadapi Sekularisasi Senyap. Artikel Lepas. Dakwatuna.com

[7] Kuntowijoyo merupakan pelopor sastra profetik, gagasan ini disampaikan dalam tulisanya berjudul “Maklumat Sastra Profetik (Kaidah, Etika dan Struktur sastra)” yang dimuat di majalan Horison tahun 2005.

[8] Ahmad Risani. 2015. Konsep Tata Ruang Kota untuk Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Lomba Esai Ilmiah Geografi Se-Sumatera. Belum diterbitkan.

[9] Ibnu Taimiyah. 2005. Etika Politik Islam. Risalah Gusti: Surabaya. (Judul asli: Siyasah Syar’iyyah, diterbitkan oleh Daar El-kitabil Araby, Kairo Mesir)

[10] Akmal Syafril. 2012. Buya HAMKA: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme. Indie Publishing: Depok.

[11] Garis-Garis Besar Haluan Organisasi, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Muktamar VI Makassar.

[12,13,14] Modifikasi (penyelarasan) dari pemikiran Kuntowijoyo tentang ilmu sosial profetik.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Gubernur Mahasiswa FKIP Unila 2013-2014, Kepala Kebijakan Publik PD KAMMI BandarLampung, tertarik dengan dunia gerakan, kepenulisan, dan pendidikan. Saat ini, selain aktif di organisasi, ia juga aktif sebagai staf pendidik di salah satu sekolah islam terpadu di Bandar Lampung.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization