Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Nasihat Kokom

Nasihat Kokom

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)

dakwatuna.com – Matanya berkaca-kaca. Menerawang kisah lama. Seolah dirinya termakan janji dusta. Ah, apalah daya, tak ada pilihan selain menerimanya.

Jasad kaku terbaring di depannya. Bau kotoran dan air kencing membaur menusuk hidung. Pria ini sudah kaku. Badannya yang tinggal belulang, terkulai bercampur dengan kotorannya. Ruangan 4 m x 4 m ini tiba-tiba hening. Kasur yang mengumpul di pojok kiri itu sudah terburai kapuknya. Selimut-selimut telah basah oleh air kencing. Bantal-bantal berserak, dan lemari tersandar miring di belakang pintu. Ruangan ini hening. Penghuninya telah terbujur kaku memegangi kepala dionggokan selimut yang telah basah.

Kokom tak banyak berkata. Sebisanya ia urus lelaki tak bernyawa itu. Dengan bantuan putrinya, ia terseok-seok mengangkat jenazah itu ke tempat yang lebih bersih. Mengelap kotoran-kotoran pada pria itu, membersihkan ruangan 4 x 4 m sampai menunggu pagi dan bantuan dari tetangga berdatangan.

**

“Aku capek, seharusnya kamu yang mengurusnya. Cobalah kau bantu aku memandikannya.”

“Ini kewajibanmu. Bukankah kamu yang menerima nafkah darinya?” Jay acuh. Meninggalkan wanita itu kesusahan memandikan pria yang berlumuran dengan kotorannya sendiri

4 tahun sudah pria yang gagah itu berubah menjadi kekanakan. Tak cukup itu, lelaki itu bahkan menjelma menjadi orang yang tidak waras. Senyum-senyum tanpa sebab, melepas seluruh pakaian dan menjadikan pakaian dalam sebagai topi, berteriak-teriak, memainkan air kencing dan kotorannya, mengaduk-aduk apa saja. Tapi bagi Kokom, selelah apa pun dia mengurusnya, setidak waras apa pun pria itu berperilaku, Kokom tetap berusaha menjaganya. Hingga suatu malam, pria itu berteriak-teriak kesakitan. Kepalanya dibenturkan ke mana saja. Kotoran berlumur di lantai dan tubuhnya, kencing telah menggenang dan merembes di bantal.

“Coba kau bangun, kakak kandungmu sedang kesakitan di kamarnya. Bantulah aku membawanya ke kamar mandi agar kubersihkan kotorannya.”

“Aku tak punya kewajiban mengurusnya! Bukankah kau yang menerima nafkah darinya. Aku masih ngantuk!” Jay membentak Kokom. Sedang Kokom mengonggokkan pahit di kerongkongan hingga mencekat. Kokom bangkit dan terseok-seok memapah pria pesakitan menuju kamar mandi.

Bermalam-malam, Kokom tak lagi bisa tidur nyenyak. Kakak dari suaminya itu mulai lebih lama mengerang kesakitan di kala malam. Menendang-nendang dinding, membenturkan kepala diiringi teriakan. Kokom mulai lelah. Dan dalam lelah mulai mempertanyakan ketulusan. Tapi lihatlah, mata Kokom kembali basah. Bertahun-tahun pria ini membantunya. Bekerja siang malam mengurus anak-anak Kokom. Sampai pria ini tak menikah hingga terpuruk sebagai pesakitan yang tak berguna. Sungguh, tak ada alasan bagi Kokom untuk lelah.

Kotoran pada pria itu sudah mulai bersih. Erangannya sudah meredam. Kokom menatih semampunya. Membaringkan pria itu pada tempat yang lebih bersih. Sejak pria ini sakit, tak ada lagi yang membantunya mencari nafkah. Telah lama suaminya tak pernah membantu menghidupi anak-anaknya. Berlenggang-lenggang, bekerja untuk dirinya. Bukan karena sakit. Entahlah, kadang lelaki memiliki keegoisan yang tak dapat dipahami seorang wanita.

Hidup dengan seorang suami yang tak lagi mau menghidupi adalah nestapa bagi setiap wanita. Apalagi tak ada alasan bagi suaminya untuk tidak memberi nafkah. Pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Kokom, harus berubah menjadi rasa sakit yang tak pernah selesai sampai sekarang. Kokom tak pernah diberi uang untuk menghidupi ketiga anaknya. Jay suaminya, bekerja untuk kesenangannya. Bak seorang bujang yang tak punya tanggungan.

Adalah Jafar, kakak kandung Jay. Pria yang menjadi ayah kedua bagi anak-anak Kokom. Jafar rela tidak menikah demi membantu Kokom menghidupi anak-anaknya. Jafar merasa iba melihat Kokom tak lagi punya sandaran ekonomi bagi kelangsungan hidupnya. Jay, di usia pernikahan belum genap dua tahun, telah berubah menjadi pria yang seolah tak pernah Kokom kenal. Jay memang selalu di rumah. Makan dan menerima hak-haknya sebagai seorang suami. Tapi Jay tak lagi mau bekerja untuk anak dan istrinya, dia bekerja hanya untuk menyenangkan diri. Terketuklah hati Jafar untuk membantu Kokom, istri adiknya. Jafarlah yang memberi makan anak-anak Kokom, menggantikan tanggung jawab Jay.

Jafar menderita penyakit aneh. Awalnya demam, hingga sakit kepala yang dahsyat. Saat sakit kepala mendera, Jafar tak segan untuk membenturkan kepalanya di lantai. Kokom berusaha membantu Jafar sebisanya. Membawa Jafar ke rumah sakit untuk mengetahui penyakitnya. Sayangnya Kokom tak punya cukup uang untuk memberikan pengobatan yang layak bagi Jafar. Satu-satunya usaha yang dapat dilakukan Kokom adalah memboyong Jafar ke rumahnya dan merawat sebisanya.

Penyakit Jafar semakin parah. Tak hanya sakit kepala dahsyat yang ia rasakan sekarang. Jafar bahkan berubah menjadi sosok aneh bagi Kokom dan anak-anaknya. Jafar sering tersenyum dan tertawa tanpa sebab, berbicara sendiri, bersembunyi di kasur, bahkan Jafar tak lagi dapat membedakan mana kotoran dan mana makanan. Anehnya, Jay tak juga terketuk hati.

**

Tak seperti biasanya, malam itu Jafar mengerang lebih lama. Sejak jam 9 malam, Jafar membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Kokom berkali-kali meminta Jay untuk melihatnya. Tapi Jay tetap bergeming. Kokom sungguh tak tega mendengar Jafar mengerang kesakitan. Tapi mata kokom begitu berat untuk terbuka setelah bermalam-malam tak tidur dan siang yang penuh dengan kelelahan.

Subuh terasa senyap bagi Kokom. Buru-buru ia menyambangi kamar Jafar setelah rasa berdosa tak berbuat apa-apa tadi malam. Jafar terlihat tidur tenang di antara selimut yang basah. Sepertinya sakit tadi malam begitu dahsyat hingga kamar Jafar terlihat sangat berantakan. Kokom mendekati pria itu. Terlihat olehnya tangan Jafar dan wajahnya penuh dengan kotoran. Kokom segera mendekat ingin membangunkan Jafar untuk segera membersihkan diri. Tapi tiba-tiba tenggorokan Kokom tercekat. Kamar semakin hening, bayang-bayang silam berseliweran, dan bulir bening mengalir dari matanya.

Inna lillahi wainna ilaihi roji’un

Jafar sudah pergi. Dan Jay, akan tetap begitu. Tak akan peduli kepada Jafar bahkan saat Jafar telah terbujur kaku. Apakah Jay cemburu kepada Jafar? Tentu tidak, bahkan Jay telah jauh membenci Jafar sebelum Jay mengenal Kokom.

Dan Jay juga akan terus begitu kepada Kokom. Atau ia akan berubah nanti? Entahlah. Kokom tak banyak berharap soal itu.

**

“Mengapa ibu tak memilih bercerai?”

“Bercerai hanya akan membuat anak-anak kehilangan ayahnya. Dan Allah sungguh sangat membenci perceraian”

“Tapi ibu harus bersakit-sakit selamanya.”

“Jika itu menjadi jalan keridhaan Allah, kenapa aku harus merasa sakit? Kau, berhati-hatilah dalam menjemput jodohmu. Mintalah Allah selalu membimbingmu. Dan selalu ingat, menikahlah karena Tuhanmu, agar kau kuat menghadapi badai rumah tanggamu. Dan jangan kau terlalu mencintai pasanganmu, karena itu akan menjadikanmu merasa sakit menerima ketetapan Tuhan untukmu. Sebaik-baik cinta, hanya cinta kepada Tuhanmu”

“Ibu masih begitu berbakti kepada suami ibu meski ia telah menyakiti ibu sekian lama. Apakah ibu masih mencintainya seperti awal ibu menikah?

Kokom memandangi bunga yang terguyur hujan di halaman. Mengambil nafas dalam-dalam. Seperti memikirkan banyak hal, atau menjelaskan banyak kemungkinan. Seperti hujan yang terus turun menimpa bungan di halaman, kedua matanya kini mulai menjatuhkan bulir-bulir bening. Ah, apakah masih penting mempertanyakan rasa cintanya kepada Jay?

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Relawan SGI angkatan ke 7 Daerah Penempatan Kubu Raya Kalimantan Barat. Mengabdi di SD N 06 Rasau Jaya.

Lihat Juga

FORKOMMI dan FOKMA Malaysia Adakan Bakti Sosial untuk Korban Gempa Palu

Figure
Organization