Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / “Hantu” Menyeramkan Itu Bernama Poligami (Bagian ke-2): Poligami, Syariat yang Memihak Laki-laki?

“Hantu” Menyeramkan Itu Bernama Poligami (Bagian ke-2): Poligami, Syariat yang Memihak Laki-laki?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: colourbox.com)
Ilustrasi. (Foto: colourbox.com)

dakwatuna.com – Nyatanya, laki-laki yang berpoligami justru cenderung mendapatkan cap minus di mata masyarakat. Mereka didakwa doyan perempuan, bersyahwat kuadrat, raja tega, nggak punya hati, nggak bertanggung jawab, nggak sayang istri, dan sebagainya. Sempat pula beredar image di jejaring sosial yang bunyinya ekstrim “Jika wanita mau dimadu, laki-laki harus mau diracun”. Poligami terlanjur menjadi syariat “anak tiri” hingga siapapun pelakunya—baik pihak laki-laki atau pun pihak wanita—kena sodok sana-sini. Tak percaya? Mari kita lihat di lingkungan sekitar. Bagaimana komentar masyarakat terhadap wanita yang bersedia menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat?

Orang Jawa bilang, orang luar hanya bisa ndelok[1] alias kendel alok[2]. Opini masyarakat umumnya secara otomatis terbangun negatif saat mendapati seseorang berpoligami, meskipun tak tahu benar apa alasannya. Hal seperti ini beranalogi dengan status janda—seperti saya tulis dalam buku Love and Live Undercover—bahwa orang cenderung berasumsi minus terhadap janda, meski tanpa tahu kenapa sebab-musababnya.

Hukum poligami

Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[3]. Allah berfirman:

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil.

Adil dalam poligami

{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).

Ayat ini seringkali menjadi “senjata” bagi siapa saja yang menentang poligami sebab disebutkan bahwa laki-laki tidak akan bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Marilah kita lihat bagaimana para ulama memaknai ayat ini.

Imam asy-Syafi’i berkata makna adil dalam ayat di atas adalah dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat).[4]

Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa.[5] Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka).

Imam al-Qurthubi mengatakan bahwa Allah memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara para istrinya dalam hal kecenderungan hati, seperti cinta, ketertarikan, dan jima’. Karena itulah, Imam Mujahid lantas menerangkan: “Janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termasuk perkara yang mampu dilakukan manusia.[6]

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim.[7]

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Muslim menjelaskan, “Adapun rasa cinta, beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai ‘Aisyah dibandingkan dengan yang lainnya. Dan kaum Muslimin sepakat, bahwa menyamakan rasa cinta kepada semuanya bukan suatu kewajiban, karena ini di luar kemampuan seseorang kecuali Allah SWT menghendakinya. Adapun adil dalam bersikap, maka demikianlah yang diperintahkan”.[8]

Imam Ibnu Hajar juga berpendapat senada. Beliau berkata, “Apabila sang suami memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal bagi seluruh istrinya, maka tidak mengapa baginya jika dia melebihkan sebagian lainnya dalam hal kecondongan hati atau pemberian hadiah.[9]

Dari keterangan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil /tidak berat sebelah dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka serta semua hal yang manusia masih mampu melakukannya. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya, yang ini jelas di luar kemampuan manusia.

Poligami; syariat yang berpihak pada laki-laki?

Seperti saya tulis dalam artikel sebelumnya, poligami bukanlah dimaksudkan untuk merendahkan kaum wanita. Sebaliknya, poligami bertujuan agar wanita menempati derajat yang semestinya. Karena itu, tak sembarang laki-laki dibolehkan melakukan poligami kecuali cukup syarat-syarat yang ia miliki. Hal ini mengingat dalam pernikahan poligami, tanggung jawab suami secara keseluruhan lebih berat daripada pernikahan monogami.

Dalam bukunya, ahkamun nikah waz zafaf, Syekh Mustafa Al-Adawiy menerangkan 4 syarat poligami bagi laki-laki yakni:

  1. Seorang yang mampu berbuat adil
    Seorang pelaku poligami, harus memiliki sikap adil di antara para istrinya. Hal ini akan mengakibatkan kezhaliman kepada istri-istrinya yang lain. Rasulullah bersabda, “Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa-i, At-Tirmidzi)
  2. Aman dari lalai beribadah kepada Allah
    Seorang yang melakukan poligami, harusnya ia bertambah ketakwaannya kepada Allah, dan rajin dalam beribadah. Namun ketika setelah ia melaksanakan syariat tersebut, tapi malah lalai beribadah, maka poligami menjadi fitnah baginya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS. At-Taghabun: 14)
  3. Mampu menjaga para istrinya
    Sudah menjadi kewajiban bagi suami untuk menjaga istrinya. Sehingga istrinya terjaga agama dan kehormatannya. Ketika seseorang berpoligami, otomatis perempuan yang ia jaga tidak hanya satu, namun lebih dari satu. Ia harus dapat menjaga para istrinya agar tidak terjerumus dalam keburukan dan kerusakan.
  4. Mampu memberi nafkah lahir dan batin
    Seorang yang berpoligami, wajib mencukupi kebutuhan nafkah lahir batin para istrinya. Bagaimana ia ingin berpoligami, sementara nafkah untuk satu orang istri saja belum cukup? Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya…” (QS. An-Nur: 33)

Poligami bukanlah syariat yang berpihak bagi laki-laki, dan petaka bagi kaum wanita. Nyatanya, tak gampang bagi laki-laki untuk melakukannya sebab adanya syarat-syarat yang musti dipenuhi untuk menjaga semua wanita yang menjadi istrinya tidak terkurangi hak-hak dan kewajibannya.

Bisakah bahagia dengan poligami?

Kenapa tidak?

Faktanya, poligami dipandang sebagai biang kerok lahirnya persoalan yang mengancam keutuhan keluarga. Perselisihan, persaingan, kecemburuan, dan semacamnya sering kali mewarnai. Efek berikutnya akan menimpa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga poligami. Mereka secara tidak langsung akan dibesarkan dalam suasana yang tidak kondusif.

Benarkah demikian?

Perselisihan yang timbul dalam sebuah keluarga adalah niscaya. Orang bilang, rumah tangga tanpa perkara akan hambar rasanya. Untuk mengatasi masalah, diperlukan ketegasan dan kebijakan suami sebagai the leader, kemampuannya mengatasi rasa cemburu para istri, dan mengatur rumah tangga secara keseluruhan. Para istri pun, dituntut memiliki tekad yang sama. Artinya, ketika percekcokan terjadi, sekuat mungkin semua pihak sama-sama berusaha meredam diri. Jika hal ini dapat dicapai, tak mustahil akan tercapai keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Ah, ngomong memang mudah. Kenyataannya?

Menukil perkataan al Mutanabi, “Kebesaran jiwa yang menentukan karya manusia memang besar. Di mata orang-orang kerdil, masalah sepele menjadi besar. Di mata orang-orang besar, masalah menjadi kecil.”

Bagaimana jika tetap gagal?

Bukan poligami yang patut menjadi kambing hitam. Poligami atau pun monogami, tak menutup kemungkinan terjadi hal baik atau pun buruk. Mari kita lihat sekeliling. Berapa banyak kasus perselisihan rumah tangga dari pernikahan monogami? Berapa banyak kasus perceraian yang terjadi? Andaikan sempat, Anda bisa datang ke kantor Pengadilan Agama. Anda akan miris menyaksikan antrian pengaju cerai yang berjubel menunggu waktu sidang.

Memang ada benarnya, terkadang pertengkaran yang menimpa keluarga poligami terjadi karena kurang bertanggungjawabnya sang suami, dan karena ketidakadilannya terhadap para istri. Ini membutuhkan jalan penyelesaian, bukan dengan cara menolak praktek poligami, yang di dalamnya terdapat banyak kebaikan. Perbuatan dan perilaku individu tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menolak diperbolehkannya poligami.

Saudaraku, Allah SWT berfirman,

{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}

Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al Maaidah: 3).

Agama Islam adalah agama yang sempurna. Segala hikmah dan ketentuan Allah SWT dalam syariat-Nya menjamin kemaslahatan bagi umat serta membawa mereka meraih hasanah fiddunyya wal akhirah. Wallahu ‘alam bisshawab.


Catatan Kaki:

[1] melihat

[2] Mudah berkomentar

[3] kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18)

[4] Kitab “al-Umm” (5/158)

[5] shahihul Bukhari” (5/1999)

[6] Kitab “Tafsiirul Qurthubi” (5/387)

[7]Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/747).

[8] Syarah Muslim (5/297)

[9] Fathul Bari (9/313)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis berprofesi sebagai PNS di lingkup Pemkab. Tulungagung Jawa Timur. Menekuni dunia literasi sejak dua tahun terakhir. Tulisannya tergabung dalam 40 antologi, buku solo Love and Live Undercover, Meraup Pahala Kala Haid Tiba, dan Kitab Gang Pitu telah terbit tahun ini. Dua novel Islaminya insya Allah terbit awal tahun 2014. Penulis aktif dalam jaringan kepenulisan Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN)

Lihat Juga

Keimanan Adalah Keberpihakan

Figure
Organization