Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Ketika Poligami Menghampiri

Ketika Poligami Menghampiri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – Langkah Tiha gontai dan tanpa semangat. Ada masalah berat yang dihadapinya. Suaminya mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat di RS didapatinya suami terbaring tak berdaya. Syukurlah hanya luka ringan. Namun di sisi pembaringan suaminya, Tiha melihat seorang wanita. Setelah ditanyakan pada adik ipar yang saat itu juga berada di sana, ternyata wanita itu adalah istri kedua sang suami. Ya, empat tahun lalu suaminya telah menikah lagi. Keluarga besar sang suami tahu tapi mereka tak pernah tega untuk memberitahunya.

Tiha menangis terus menerus di kamarnya satu pekan ini. Melalui tangisan Tiha mengumpulkan kekuatan, karena walau bagaimanapun hatinya teramat sakit atas “ketidaksetiaan” sang suami yang amat dicintainya. Perasaannya begitu hancur menghadapi kenyataan itu. Lebih sakit lagi karena ayah kedua buah hatinya menikah diam-diam, dan sekian tahun bungkam. Kalau bukan karena kecelakaan itu mungkin Tiha tak kan pernah tahu kenyataan ini. Kini, ia hanya bisa menangis. Luka hatinya amat menganga. Life doesn’t mean to be beautiful all the time. Namun, ia tak bisa apa-apa menghadapi ujian ini selain mengembalikan semuanya pada Allah. Tiha pun tak akan pernah menyalahkan suaminya atau madunya, karena itu hanya akan semakin membuatnya lara. Yang perlu dilakukannya sekarang hanyalah pasrah. Ikhlas. Meski ia jarang ngaji, bahkan disibukkan oleh setumpuk pekerjaannya di kantor, Tiha masih ingat pelajaran agama semasa SMA dulu agar sabar menghadapi setiap cobaan.

Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya, meminta suami untuk menceraikan madunya. Meski jarang mengikuti ceramah, Tiha tahu bahwa hal itu dilarang dalam Islam. Tak juga ia meminta cerai pada suami, karena sebodoh-bodohnya ia, tahu saja bahwa minta cerai dengan alasan yang tidak syar’i sama saja dengan mengundang laknat Allah padanya.

“Bukan takdir ini yang menguras air mataku…sebagai wanita biasa tentu aku kecewa atas sikap suamiku…tapi lebih dari itu, mungkin atas segala maksiat dan ketidaktaatan yang aku lakukan sehingga Allah menegurku. Dan inilah cara-Nya mencintaiku. Dia ingin aku introspeksi diri. Dia ingin aku menutup aurat tanda patuhku pada-Nya. Dia juga ingin aku tak terlena dengan pekerjaan sehingga melupakan kewajibanku sebagai ibu dan istri. Dia menghendaki aku berubah menjadi lebih baik. Mungkin inilah jalan surgaku. Aku akan ikhlas menjalani semua ini. Sesungguhnya suamiku menikah lagi pun atas seizin-Nya. Yang penting sekarang adalah bagaimana kami menjalani bahtera poligami ini agar sesuai dengan yang nabi contohkan. Membantu suami agar bisa adil terhadap kedua istri. Hatiku sabar atau tidak sabar pun tidak akan mengubah apa pun. Atas kehendak-Nya semua telah terjadi. Sudah tertulis dalam Lauhul Mahfuz. Aku memilih sabar, semoga dengan seperti ini Allah mengampuni segala dosaku dan memberiku pahala tanpa batas”, demikian ucapan Tiha saat aku berkunjung ke rumahnya.

Luar biasa ketenangan Tiha di mataku. Hanya perlu waktu satu pekan dirinya bergolak. Menyendiri memikirkan segala yang telah terjadi, dan mengambil keputusan. Padahal Tiha manusia yang amat biasa. Sebelumnya memakai kerudung pun tidak. Apalagi ikut pengajian. Waktunya lebih banyak dihabiskan bekerja dan mengurus anak-anaknya. Hanya satu hal yang aku tahu, selama ini Tiha rajin shalat tahajud dan Dhuha. Sifat dermawannya pun pantas diacungi jempol.

Betapa beruntungnya suami Tiha dan madunya. Tak pernah Tiha menyalahkan keduanya. Tiha tetap lembut dengan mereka. Tak pernah sepatah kata cacian Tiha keluarkan. Lisannya benar-benar terjaga. Meski Tiha bukan wanita yang terbina dalam majelis ta’lim. Andai semua wanita seperti Tiha, indahnya hidup bisa berbagi. Jumlah wanita yang tak juga menikah pasti berkurang signifikan. Bahkan mungkin tak ada lagi.

Dari Tiha aku belajar arti keikhlasan. Keridhaan atas segala hal yang Allah tetapkan atas setiap hamba-Nya. Kerelaan atas apapun yang Allah berikan. Sekalipun itu amat mengoyak hati, mengiris sembilu, dan mengeluarkan air mata darah. Allah yang Maha Rahiim mustahil membuat hambanya menderita atas ujian yang Dia berikan. Tak mungkin Dia menzhalimi ciptaan-Nya. Ujian hanyalah cara-Nya untuk menyeleksi mana manusia yang benar-benar beriman, mana yang hanya dalam ucapan. Cobaan hidup adalah perbuatan-Nya untuk memilah siapa yang layak masuk surga, siapa yang pantas di neraka.

Lain lagi dengan yang dialami Sarah. Ia sedang dalam dilema. Seorang pria mengkhitbah untuk menjadikan Sarah sebagai yang kedua. Rasa bingung dan pusing berpadu menjadi satu dalam hati Sarah. Membayangkan menjadi yang kedua saja tidak pernah, apalagi mewujudkannya dalam nyata. Jika boleh memilih, Sarah lebih suka menjadi yang pertama. Istri pertama jika shalihah ia lebih berkesan di hati suami. Istri pertama juga yang dijanjikan surga bila ikhlas suami menikah lagi. Istri pertama juga yang mendapat simpati masyarakat. Bukan istri kedua dan seterusnya yang bahkan diberi stigma negatif sebagai perusak rumah tangga orang, pengganggu suami orang dan lain-lain. Budaya negeri ini telah begitu mengakar, bahwa wanita yang mau menjadi yang kedua adalah manusia tak berperasaan. Perebut suami orang. Budaya pula yang telah menempatkan istri pertama selalu sebagai pihak yang terzhalimi. Tanpa memandang lagi bagaimana sikap dan perilaku istri pertama sesungguhnya. Tanpa melihat lagi bagaimana keadilan suami. Semua digeneralisasi. Segala hal yang benar ada pada istri pertama. Dan yang salah ada pada istri kedua dan seterusnya.

Nilai sosial kemasyarakatan negeri ini masih memandang poligami sebagai hal yang negatif. Tak segan-segan masyarakat memvonis seorang pria yang berpoligami dengan julukan “tukang kawin”. Justru lupa dan mengabaikan mereka yang sering ke lokalisasi dan bergonta-ganti pasangan sebagai “lelaki bejat doyan zina”.

Maka tak heran kondisi sosial masyarakat berubah. Sekarang bukan hal yang aneh lagi untuk ditemui, di mana-mana banyak wanita berumur yang masih gadis, tak kunjung menikah. Dari wanita level pendidikan tinggi hingga yang rendah. Dari wanita desa sampai kota. Dari wanita karir hingga wanita rumahan. Semua sama, tak pandang bulu.

Saat itu perasaan Sarah ingin segera menolak. Bukan karena takut menjadi yang kedua. Hati Sarah benar-benar tidak bisa diajak kompromi untuk bersedia. Tapi Sarah tak ingin sekadar mengikuti perasaan. Apalagi yang mengkhitbahnya adalah pria shalih pengemban dakwah. Sarah ingin menerima seseorang menjadi suami adalah karena Allah, menolakpun karena Allah. Sarah ingat sebuah hadits yang menyatakan bahwa bila datang seorang pemuda yang baik akhlak dan agamanya, maka terimalah agar terhindar dari fitnah dan kerusakan di muka bumi. Hal ini yang kemudian dikonsultasikan pada Allah. Hingga sesaat setelah melihat foto ikhwan tersebut, Sarah baru bisa mengambil keputusan. Sarah menolaknya. Tak ada chemistry. Tak ada ketertarikan sama sekali. Menolak pinangan bukanlah suatu dosa. Rasulullah pun pernah melakukannya, saat sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khathab meminang Fathimah.

Malam itu juga Sarah memutuskan, besok pagi akan menyampaikan jawaban penolakan. Namun dini hari serbuan sms masuk ke HP Sarah. Rupanya istri pertama meradang. Marah atas sikap suaminya yang ta’aruf dengan wanita lain. Kalimatnya pedas menghujam hingga hati Sarah. Berbagai macam prasangka dan tuduhan keji terlontar. Kehadiran istri kedua dianggapnya akan mengganggu perkembangan psikologis anak. Merusak harmoni yang telah terbentuk. Tapi Sarah tak percaya. Allah dan rasul-Nya lebih tahu. Jika memang poligami sebuah kezhaliman, pasti tidak akan pernah ada syariat tersebut dalam Islam. Apalagi buktinya banyak yang berpoligami dan rumah tangganya baik-baik saja. Anak-anak pun telah terbiasa memiliki dua ibu. Bahkan semua anggota keluarga bisa saling bekerja sama dan bersinergi dalam segala hal.

Betapa herannya Sarah, si A istri pria peminangnya adalah seorang aktivis ormas. Kaum wanitanya pun biasa dimobilisasi untuk berteriak di jalan, “terapkan syariah!” Aktivitasnya pun biasa mengoreksi kesalahan penguasa. Saat poligami mendapat penentangan dari kaum feminis, mereka pun turun ke jalan membela poligami sebagai bagian dari syariat Allah. Tapi kini? Memang “kasuistis”. Tapi jika didiamkan bisa menjalar menjadi sebuah virus pada para aktivisnya. Perlu koreksi total. Apalagi ketika penolakan atas keinginan suami untuk menikah lagi berubah menjadi tindakan tidak terpuji dan melanggar hukum syara. Lebih miris lagi ketika suami telah menikah lagi tanpa sepengetahuannya, sang aktivis berubah menjadi “satria baja hitam” alias hitam hati dan perbuatannya. Tanpa pernah mau sedikitpun memahami alasan atas pilihan perbuatan suami.

Ternyata, poligami ketika terjadi pada diri sendiri berubah menjadi sesuatu yang harus ditolak. Berbagai alasan yang sebetulnya tak masuk logika pun dijadikan sebagai dalil pembenaran. Slogan “Terapkan syariah” seolah hanya ditujukan untuk orang lain. Seakan hanya untuk hukum syara yang lain saja, bukan poligami. Poligami boleh untuk orang lain, tapi tidak untuk suami sendiri. Perempuan lain boleh dipoligami, tapi tidak dengan diri sendiri. Maha benar Allah dalam segala firman-Nya, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29]: 2-3)

Belajar dari dua wanita saat menyikapi poligami, yaitu Tiha yang wanita biasa dan si A wanita aktivis ormas yang lantang menyerukan perubahan sistem membuatku makin mengerti. Bahwa pemikiran dan perilaku seseorang tidak ditentukan dari mana ia berasal. Menjadi aktivis dakwah pun bukan jaminan ketundukan total pada syariat-Nya. Nyatanya banyak perilaku pengemban dakwah kalah dengan mereka yang biasa saja. Bahkan dalam kasus poligami, banyak aktivis dakwah yang kalah dengan para istri Eyang Subur yang sekuler.

Keikhlasan memang tidak bersumber dari seringnya ikut pengajian. Ketundukan totalitas pada aturan Allah memang tidak diukur dari banyaknya kitab yang dikaji. Keridhaan dan kesabaran atas taqdir Allah memang tidak berasal dari seberapa sering dan lantangnya seseorang turun di jalan menyerukan penerapan aturan-Nya di muka bumi. Tidak sama sekali. Ketegaran sebuah hati adalah karena Cinta yang tulus tanpa syarat pada Sang Pemilik Segala.

Keikhlasan berasal dari hati yang salim. Qalbu yang senantiasa takut pada Allah. Juga kesadaran diri bahwa suatu saat pasti akan mati, kembali ke haribaan illahi dan berpisah dengan suami. Mempertanggungjawabkan segala kata dan perbuatan di dunia. Keikhlasan didapatkan manakala memahami bahwa hidup adalah ujian. Sunnatullah, manusia akan terus menerus diuji sepanjang hidupnya. Baik ujian kenikmatan maupun kesusahan. Namun begitu sesungguhnya manusia pasti mampu melaluinya. Sebagaimana firman Allah, ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al Baqarah [2]: 286).

Allah SWT juga berfirman, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155-157).

Atau seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya pahala yang besar itu, bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka, maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi). Rasulullah SAW bersabda:  “Tiada henti-hentinya cobaan akan menimpa orang mukmin dan mukminat, baik mengenai dirinya, anaknya, atau hartanya sehingga ia kelak menghadap Allah SWT dalam keadaan telah bersih dari dosa (HR. Tirmidzi)

Ketika suami menikah lagi…lagi…dan lagi… semoga wanita memilih jalan ikhlas dan sabar. Tidak sabar dan tidak ikhlas pun tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tidak akan menjadikan lebih tenang dan bahagia. Justru sebaliknya.

Ketika poligami menghampiri semoga wanita bisa mengelola rasa. Menautkan segala rasa hanya pada Cinta-Nya. Memilih menjadi wanita kuat dan tegar. Menyadari bahwa jika ia atau suami kembali pada Allah, kebersamaan pun akan berakhir. Hanya sementara menjadi pendamping suami di dunia. Seorang istri yang amat mencintai suami pernah menyatakan, saat suaminya menikah lagi ia pun merasa lara. Namun saat suaminya wafat, lara yang dialaminya berlipat-lipat perihnya. Wallahu’alam.

Untuk sahabatku Tiha, thanks very much. Semoga Allah semakin mencintaimu. Aamiin.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ibu rumah tangga. Lahir 18 September. Tinggal di Yogyakarta. Penggiat The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Divisi Kajian Parenting.

Lihat Juga

Kisah Nyata: Mualaf di Persimpangan Syariat-Nya

Figure
Organization