Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Masih Banyak Ladang yang Belum Tergarap

Masih Banyak Ladang yang Belum Tergarap

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Lebih dari 200 umat muslim di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (6/10/2012) pagi, melaksanakan shalat minta hujan (shalat istisqo) yang berlangsung di halaman Masjid Raya Sabilalmuhtadin. (KCM/Defri Werdiono)
Lebih dari 200 umat muslim di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (6/10/2012) pagi, melaksanakan shalat minta hujan (shalat istisqo) yang berlangsung di halaman Masjid Raya Sabilalmuhtadin. (KCM/Defri Werdiono)

dakwatuna.com – Suatu hari, saya baru saja pulang kuliah. Usai menunaikan shalat Maghrib berjamaah di sebuah masjid yang ada di sekitar Jalan Dago, saya pun mampir ke sebuah warnet untuk mencari referensi-referensi guna melengkapi tugas. Tak ada yang terasa aneh dengan suasana Maghrib di masjid yang ukurannya cukup besar tersebut. Tak ada kesan yang mengganjal dalam hati setelahnya. Namun lain kisah saat momen shalat Isya berjamaah datang. Sesak hati ini saat menemukan hanya ada 4 orang yang shalat berjamaah di masjid tersebut. Hanya 4 orang: imam, muadzin, satpam, dan saya. Hingga sampai pada salam penutup, tak tampak tanda-tanda bertambahnya ma’mum dalam jamaah shalat ini. Alhasil, saat berdoa usai shalat, dengan jelas saya melihat 3 orang yang tersisa berada di masjid ini.

Sebuah pertanyaan menggelayut selama saya bersiap-siap pulang. Apa gerangan yang terjadi di masjid ini? Saya mengenal masjid ini sebagai salah satu masjid besar yang ada di Kota Bandung. Walau kalah besar dibanding Masjid al-Ukhuwwah dan Masjid Agung yang di alun-alun itu. Bukan hanya itu, masjid ini juga letaknya berada di sekitaran kos-kosan mahasiswa yang separuhnya adalah aktivis kampus. Tak wajar untuk ukuran masjid sebesar ini. Dapat dibayangkan, bagaimana roda dakwah masjid sebesar ini dijalankan oleh hanya tiga orang? Semoga kebaikan dari luasnya ladang dakwah tersebut mengalir pada mereka.

Di lain kesempatan, saya singgah ke masjid yang lain. Kali ini ke sebuah masjid jami yang tak begitu besar, kira-kira 1/6 ukuran masjid di Dago yang tadi. Subuh berjamaah di masjid ini dihadiri oleh 7 orang, itu sudah termasuk imam dan saya yang bukan jamaah asli masjid ini. Kalau untuk masjid yang ini, saya tak merasa aneh dengan jumlah peserta shalat berjamaah yang demikian jumlahnya. Sedangkan di masjid ‘langganan’ saya setiap Isya dan subuhnya sudah mencapai lebih dari satu shaf. Dilihat dari total shaf keseluruhan yang jumlahnya 13, jumlah 2 shaf memang miris. Namun bila melihat kenyataan di masjid lain, ternyata lebih miris. Banyak yang shaf pertama pun tak penuh. Kenyataan yang berbeda jauh dengan masjid-masjid kampus yang ramai disinggahi civitas akademik kala shalat berjamaah.

Apa sebenarnya masalah yang dihadapi? Berkaca pada masjid ‘langganan’ saya sendiri, penelusuran mengenai masalah yang dihadapi berujung pada satu hal: sumber daya manusia (SDM). Masjid-masjid di Indonesia masih kekurangan personil untuk menghidupkan denyut dakwah di wilayahnya. Hal yang jelas saya rasakan saat ini sebagai salah satu pengurus. Salah satu contoh paling sederhana: saat warga di sini membutuhkan guru mengaji, ke mana lagi kami akan mencari pengajar? Jumlah pengajar yang ada belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akal-akalan? Masalah ini coba disiasati dengan mendatangkan pengajar khusus untuk membina calon-calon guru mengaji. Namun lagi-lagi, kebanyakan pengajar di Lembaga Tahfizhul Qur’an tak menyanggupi jadwal yang kami sanggupi. Kesimpulannya, untuk masalah ini saja: kita kekurangan guru BAQ (Baca Al-Qur’an).

Perlu ditegaskan, sementara ini masalahnya adalah SDM. Ya SDM, kenyataannya masih terlalu jauh bagi kami untuk mengatakan ‘Kader’. Kebanyakan para pengurus masjid adalah orang-orang berdakwah dalam kesepiannya. Mereka mengelola masjidnya sendiri atau dengan seorang-dua orang teman. Itu pun dengan kemampuan yang seadanya ditopang taraf pendidikan yang ala kadarnya. Organisasi dakwah masih dijalankan secara tradisional tanpa ada pola kepengurusan. Jadi, jangankan untuk berpikir tentang manhaj kaderisasi, manhaj organisasi pun tak ada. Jangankan memikirkan manhaj organisasi, yang menghidupkan denyut dakwahnya pun hanya segelintir. Alhasil, dakwah fardhiyah jauh lebih realistis.

Saya tak mengada-ada dan berlebihan mengenai keadaan ini. Ini keadaan yang ada di Kota Bandung, sebuah kota yang dikatakan perintis Markazul Qur’an (Ust. ‘Abdul ‘Aziz) sebagai kota yang marak dengan majelis ta’lim. Bila masjid-masjidnya saja demikian keadaannya, lantas bagaimana dengan masjid-masjid di kota lain?

Tak jarang terlintas pertanyaan: ke mana para alumni LDK yang di kampusnya selalu mengumandangkan kata-kata dakwah itu? Sebenarnya kami bahagia saat mendengar berita-berita kelulusan beberapa warga yang menyelesaikan studinya. Lebih berbahagia lagi saat tahu bahwa yang lulus itu adalah alumni LDK. Namun kebahagiaan itu sirna tak membekas kala mendapati kenyataan alumni LDK itu tak kunjung turut aktif bersama kami. Bekerja sama dengan kampus, sepertinya itu isapan jempol semata. LDK punya kegiatan sendiri, dan ADK pun punya kesibukannya sendiri.

Merintis kaderisasi dengan segala keterbatasan adalah pilihan yang tepat untuk menjawab kebutuhan SDM, hanya saja itu membutuhkan waktu yang relatif lama. Sedangkan jalan cepatnya adalah dengan mendatangkan alumni LDK yang sudah dibina di kampusnya, namun sulit dikarenakan beberapa alasan. Ada yang alasannya takut terwarnai, tak tahan lingkungannya, ingin cari aman hanya bergaul dengan orang shalih/shalihah, atau merasa tak sekufu (bukan levelnya). Kami sendiri tak bisa melarang dan menuntut, toh keadaan sudah memperlihatkan tuntutan dakwah menghadapi orang-orang yang membutuhkan figur pembimbing. Bisa dibilang, seandainya menjadi bagian dari kami, mereka akan langsung disodori calon warga binaan. Disodori orang-orang yang hendak dibukakan jalan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, bukan disodori orang-orang yang menjadi penuntun keshalihan.

Kabar yang lebih memprihatinkan datang melalui sebuah kiriman kisah dari tanah Indonesia bagian Timur di mana beberapa muslim dari pulau Jawa memberanikan diri menerobos belantara demi memperkenalkan Islam di belahan dunia yang belum terjamah. “Saya malu bila ada bagian dari negeri ini yang belum mengenal Islam…” Begitulah alasan mereka memilih untuk pergi menyebar ke pelosok-pelosok. Berbagi peran ke berbagai dusun. Setiap orang dari mereka memilih 1 dusun sebagai ladang dakwah. Di tiap dusun itulah, mereka sendiri-sendiri menjalankan aktivitas dakwahnya. Tanpa ditopang kekuatan jamaah, tanpa didukung keluarga, tanpa ditemani istri. Beratkah? Yang jelas mereka pun pasti ingin ditopang oleh kekuatan jamaah, dukungan keluarga, dan dorongan dari istrinya. Bayangkan saat mereka futur, ke mana lagi akan mencari nasihat dan petuah ulama? Sinyal lemah, daya jangkau transportasi sangat tak memadai, uang tak berarti. Makanan tinggal cari di hutan, air tinggal ambil di sungai.

2006 silam, sempat diajak untuk ke bumi Papua sebagai bagian dari mereka. 2009, kami diajak untuk berangkat ke pelosok Cianjur Selatan yang keadaannya masih tertinggal. Kesimpulannya, ladang-ladang garapan itu sebenarnya masih banyak, bahkan sangat banyak. Bila untuk ukuran kota Bandung saja ada lahan garapan yang masih banyak, tentu di pelosok-pelosok negeri ini jauh lebih banyak lahan garapan.

Kampus itu lingkungan belajar, wajar bila kita berhasil di sana. Karena lingkungannya pun memang direkayasa untuk menunjang perbaikan diri. Lain halnya dengan lingkungan luar kampus. Keadaannya lebih liar, namun itulah ladangnya. Ladang-ladang yang membutuhkan banyak penggarap.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Pernah sekolah di jurusan Psikologi. Sehari-hari beraktivitas di seputaran Kota Bandung dan Cimahi, baik sebagai konselor, blogger, dan aktivis warga.

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization