Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / “Aku Tak Butuh Murabbi”

“Aku Tak Butuh Murabbi”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatna.com – Awal mengenal tarbiyah, Aku merasa telah berada pada jalan orang-orang yang ihsan, yaitu barisan orang-orang yang ingin melakukan perubahan dan bersedia melakukan perubahan terhadap realita saat ini. Perubahan yang diawali dari diri sendiri, keluarga, masyarakat serta bangsa dan negara. Yang puncaknya menjadikan Islam sebagai soko guru bagi sekalian alam.

Agenda rutinan (halaqah) adalah momen yang paling dinantikan karena dapat bersua dan saling memberi semangat sesama mitra seperjuangan. Dalam halaqah juga dimanfaatkan untuk meng-upgrade iman melalui mutabaah pekanan. Ditambah dengan ilmu, keteladanan, arahan serta bimbingan dari sang murabbi yang menjadikanku tidak hanya semangat, melainkan terarah dalam bertindak. Peran murabbi begitu besar karena dia merupakan ustadz sekaligus syaikh, juga sebagai qiyadah sekaligus orang tua bagi para mutarabbinya.

Entah mengapa setelah 4 tahun berjalan ini suasana terasa berbeda. Aku tak lagi merasakan kehangatan itu. Kerinduan itupun perlahan aus seiring berjalannya waktu. Banyaknya amanah tak lagi memacu semangatku, malah seolah-olah menjadi beban yang berada di pundakku, yang selalu menghantui ingatanku. Hal ini terjadi karena mata air penyejuk dan penghilang letihku kini tak seperti dulu lagi. Sumur jernih pengobat dahaga jiwaku kini mulai mengering sedangkan sengatan terik matahari semakin memanas.

Halaqah yang dulu Aku rindukan kini mulai jarang, bahkan hampir tak pernah lagi melainkan sesekali. Entah kapan terakhir, Aku pun tak mengingatnya lagi. Hal ini yang membuat azzamku mulai goyah, jalanku mulai tertatih-tatih menapaki jalan ini, bahkan sesekali sempat terjatuh meski mampu untuk bangkit kembali. Husnuzhon yang dulu menjadi senjata andalan kini sudah tak ampuh lagi.

“Oh, murabbiku mungkin saat ini masih disibukkan dengan amanah dakwah yang lebih besar sehingga tak sempat bersua dengan kita hari ini” ucapku meyakinkan. “Ternyata murabbi masih harus menjaga keluarganya yang sedang terkena musibah” tegasku pada ketidakhadiran berikutnya. Pekan demi pekan berlalu, dan alasan demi alasan pun telah diungkapkan. Sehingga tibalah pada batas nadir kebaikan sangkaan.

Saat beban terasa semakin menggunung dan tidak ada lagi yang mempedulikan, tibalah pada batas kesabaran sehingga terungkap kata “Aku tak butuh lagi halaqah, Aku tak butuh lagi Murabbi, Aku dapat bergerak sendiri ada atau tanpanya.” Luapan emosi yang meluap-luap akibat bertumpuknya gundah yang selama ini tersimpan dalam hati. Bagai singa yang baru terlepas dari kandang, kebuasan itu berontak keluar.

Apa ada yang salah?

Ternyata kesalahan terdapat pada diriku sendiri. Aku tidak menyadari bahwa husnuzhon itu tidak terbatas. Aku sendirilah yang membatasinya. Meskipun kemungkinan berbeda sangat besar dari yang apa Aku sangkakan, namun tidak ada ruginya berhusnuzhon. Di samping berpahala juga tidak menjadi beban bagi pikiran.

Selama ini Aku tidak menyadari bahwa di dalam doa-doanya selalu menyertakan kita. Memintakan ampunan tanpa Aku ketahui dan memohonkan kebaikan kepada ku tanpa Aku minta. Aku terlalu banyak menuntut kepada manusia biasa. Dan Aku pula selalu lupa mengenai jasa-jasanya kepadaku yang sebenarnya lebih banyak daripada kekhilafannya.

Aku lupa siapa yang telah memberikan saran jalan keluar dari permasalahan pelikku dulu. Aku pun lupa siapa yang pertama kali memahamkanku mengenai Dien ini. Aku juga lupa siapa orang yang sering mentraktir di kala kantong sedang kering sehingga nyawaku bisa tersambung hingga kini. Aku lupa bagaimana masa-masa indah masa lalu, masa saat bekerja sama menyelenggarakan daurah hingga terkapar di lokasi karena letih. Dan masih banyak lagi. Astaghfirullah, Aku benar-benar lupa.

Tak mudah memang menapaki jalan ini, di samping jalannya yang panjang dan berliku juga dipenuhi onak dan duri. Tidak sedikit yang kelelahan, terjatuh, tersungkur bahkan terluka. Ada yang mampu untuk bangkit dan meneruskan perjalanan, ada pula yang berbalik ke belakang. Sehingga Allah benar-benar memilih siapa dari Hamba-Nya yang teruji dan tahan banting untuk melanjutkan tugas para Rasul ini.

Jadilah mutarabbi dan murabbi abadi. Mutarabbi yang tidak berhenti untuk belajar dan memperbaiki diri, tsiqah dan taat kepada qiyadah, dan bertanggung jawab mengemban amanah. Juga murabbi yang tidak pernah berhenti untuk berbagi, mengutamakan kepentingan dakwah di atas keperluan pribadi, dan selalu berada dalam koridor manhaj jamaah ini karena di pundakmu lah dakwah ini akan jalan atau terhenti. Di manapun, kapanpun, dengan siapapun tarbiyah pilihanku.

***

Tulisan ini Saya persembahkan untuk para mujahid/ah dakwah di manapun berada. Semoga bermanfaat bagi yang sedang dilanda fitnah su’uzhon baik kepada murabbi maupun kepada qiyadah. Meskipun Engkau merasa kurang diperhatikan dan mampu untuk bergerak sendiri, jangan sekali-kali sombong terhadap diri sendiri dan merasa tidak membutuhkan mereka lagi. Karena hal ini adalah awal kerendahan dan kehinaanmu serta akhir dari pahala yang selama ini telah Engkau ukir. Semoga kita semua dikaruniakan keistiqamahan dalam menapaki jalan ini. Aamiin.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 9.64 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa kampus kedinasan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta Timur angkatan 2008 yang berasal dari Sulawesi Tengah. Belum lama ini, mahasiswa yang sering disapa Khoir ini mulai tertarik dunia tulis-menulis dengan mengawali membuat tulisan ringan berupa artikel ataupun cerpen bermuatan religi. Semoga tulisan ini dapat menjadi sarana untuk saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran sehingga bernilai ibadah di Sisi-Nya. Aamiin.

Lihat Juga

Liqa Itu Penting

Figure
Organization