Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bersama Orang-Orang yang Benar Membutuhkan Kesabaran Ekstra

Bersama Orang-Orang yang Benar Membutuhkan Kesabaran Ekstra

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (cipto.net)

dakwatuna.com – “Bersama orang-orang yang benar itu membutuhkan kesabaran ekstra, namun itu adalah sebuah keniscayaan.”

Saudaraku,

Ungkapan Ustadz Salim A Fillah pada pengajian menjelang buka puasa di London beberapa hari yang lalu patut menjadi renungan kita.

Sebuah kisah dalam Al-Quran, Surat Al-Kahfi ayat 60-82 yang kemudian dijelaskan melalui hadits marfu’ cukup jelas menerangkan hal ini. Ya, kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Sampai-sampai seorang Nabi dan Rasul se-kualitas Musa-pun tak mampu bersabar bersama Nabi Khidir.

Sungguh indah ucapan Nabi Khidir ketika menolak permintaan Musa untuk bisa ikut bersamanya:

“Sesungguhnya kamu tidak akan sabar bersamaku. Bagaimana kamu bisa sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

Terbukti kemudian, Musa berkali-kali menyalahkan Khidir atas aktivitas yang dilakukan Khidir. Jika berdasarkan ilmu Musa saja, maka jelaslah apa yang dilakukan Khidir adalah perbuatan yang patut dipertanyakan.

Tapi di situlah rahasianya. Allah telah memberikan ilmu yang lebih ke Khidir sehingga dia bisa mengetahui sesuatu yang akan terjadi.

Saudaraku,

Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak protes. Tidak terima terhadap sebuah keputusan yang telah dilakukan oleh orang yang memang punya ilmu lebih tentang hal tersebut. Dalam jamaah, ketika Syura sudah memutuskan, kita masih saja mencari-cari kelemahan keputusan tersebut. Alangkah dhaifnya kita, sedangkan orang se-suci Rasulullah saja taat pada keputusan syura.

Kenapa? Ada apa dengan kita?

Ketika para ulama (bukan hanya satu) bersepakat terhadap suatu fatwa, kenapa kita tidak menerima? Apakah ilmu kita lebih dari mereka? Kalau bukan fatwa dari mereka yang kita ikuti, fatwa dari mana lagi yang kita cari? Televisikah? Koran-korankah? Ah…barangkali dari Fa**b**K? Saya yakin tidak.

Na’udzubillah, sampai hati kita mencaci orang-orang yang ikhlas, berpetuah berdasarkan ilmunya, yang menasihati kita dengan kebenaran yang mereka ijitihadkan. Bagi mereka satu atau bahkan dua pahala sudah tersedia, sedangkan bagi kita? Kalaupun di antara mereka juga berbeda pendapat, jangan bandingkan dengan pendapat kita yang baru punya sedikit ilmu.

Atau kita mau mencari fatwa dari hati sendiri? Mungkin. Tapi, yakinkah kita bahwa hati kita adalah hati yang suci? Jangan-jangan hati yang kita mintakan fatwa itu adalah hati yang sudah membatu. Terselimuti oleh ribuan noktah dosa. Atau melalui akal? Akal yang setiap hari telah dijejali dengan maksiat? Akal manusia sungguh lemah. Amankah menyandarkan kebenaran hanya kepada akal saja?

Saudaraku,

Apakah akal dan hati kita jauh lebih baik dari akal dan hatinya Ibrahim? Ingatkah kita bahwa Ibrahim pun tak mampu mendapatkan kebenaran dari hatinya.

Ketika hatinya mengatakan bahwa mesti ada yang mengatur semesta alam ini, ia pun menyibukkan diri mencari Sang Pengatur itu. Bulan, Bintang, Matahari pun disangka Tuhan. Orang mulia itu memerlukan bimbingan Allah sehingga bisa sampai pada kebenaran.

Saudaraku,

Memang bersama orang-orang yang benar itu kita mesti banyak bersabar. Mungkin ada kalanya kita tidak sepakat dengan keputusan yang mereka buat. Barangkali hal ini karena lemahnya pemahaman kita terhadapnya. Barangkali banyak informasi yang menjadi pertimbangan mereka, sementara kita tidak mendapatkan akses terhadap informasi tersebut. Kadangkala informasi tersebut memang bukan konsumsi kita, tidak layak kita mendapatkannya. Bisa jadi jika informasi itu dibuka kepada kita, malahan kita tidak mampu menjaganya sehingga menjadi fitnah yang justru kontra produktif.

Saudaraku,

Mari kita bersabar. Semoga dengan kesabaran kita itu, Allah bukakan pintu-pintu ilmu itu kepada kita, sehingga kita pun mempunyai pemahaman yang cukup dalam menilai sesuatu.

Wallahu’alam.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...

Tentang

Dosen Universitas Andalas, saat ini sedang menempuh study S3 di Newcastle University Inggris. Pernah menjabat sebagai Ketua Keluarga Islam Indonesia Britania Raya (Kibar) Periode 2010-2011.

Lihat Juga

Sabar

Figure
Organization