Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ingatkan Mereka Hari-Hari Allah!

Ingatkan Mereka Hari-Hari Allah!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

            قال اللهُ تَعَالَى: )وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ(.

            (Q.S. Ibrahim [14]: 5)

            solidaritas al-aqshadakwatuna.com – Para Mufassir ([2]) menafsirkan hari-hari Allah di ayat di atas dengan sejarah umat-umat terdahulu ([3]) yang menuturkan pesan-pesan kehidupan. Di antara mereka ada yang dilaknat dan diazab karena kafir terhadap ajaran-ajaran rasul mereka. Kelompok ini dilukiskan Al-Quran sebagai jamaah yang menikmati segala bentuk kenikmatan dunia fana yang sesaat, tetapi melarat kekal di akhirat. Ada pula dari mereka yang beriman, mereka itulah yang selamat dari laknat dan siksaan tersebut, meski mereka dihina dan dicemooh oleh para pembesar kaum mereka yang membangkang, disiksa dan dijauhkan dari nikmat-nikmat dunia, tetapi Al-Quran mengabadikan mereka sebagai umat yang selamat di akhirat meraih ridha Allah SWT.

            Jika Anda bertanya: “bukankah hari-hari Allah itu terbentang luas sejak penciptaan bumi dan langit hingga akhirat? Kenapa hanya hari-hari tersebut yang mendapatkan penekanan khusus dari Al-Quran?”

            Ya, apa yang ada di dunia ini, termasuk hari-harinya, milik Allah, tetapi di antara hari-hari itu ada beberapa hari yang patut diperingati, bukan sekadar dirayakan. Olehnya itu, ayat tersebut diawali dengan kata tazkir (وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ) yang berarti memperingati dan bukan dengan kata lain, seperti: (مُرْهُم يَحْتَفِلُوْن) yang artinya serulah mereka merayakan hari-hari Allah. Yang demikian itu karena tidak semua perayaan menanamkan pesan-pesan hidup, beda halnya dengan peringatan hari-hari tertentu yang mengukir makna-makna perjuangan hidup, seperti hari Proklamasi Kemerdekaan kita pada tanggal 17 Agustus 1945 yang senantiasa diperingati tiap tahun, dan 10 Muharram atau yang lebih dikenal dengan 10 Asyura’. Makna ini diperkuat oleh kalimat berikutnya (إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ) yang menegaskan bahwa yang dititikberatkan setiap peringatan hari-hari tertentu adalah kejadian-kejadian bersejerahnya, dan bukan sekadar mengingat harinya, tanpa menggali hikmah-hikmahnya. Ini ditandai dengan huruf (فِيْ) yang memberi penekanan bahwa apa yang terbungkus dalam kulit hari-hari itu dari sejarah-sejarah umat merupakan ayat-ayat Allah yang punya keurgensian tersendiri. Jadi,  makna ini mustahil ditemukan jika huruf (فِيْ) dihilangkan dari sistematika ayat ini atau diganti oleh huruf lain.

Olehnya itu, tidak semua manusia mampu menangkap hikmah pahit-manisnya kehidupan sejarah umat-umat terdahulu seperti yang ditegaskan kalimat berikutnya (إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ). Yang dapat menangkapnya hanyalah orang-orang sabar lagi syukur. Yang demikian itu karena sejarah mereka tidak lepas dari pahit-manisnya kehidupan yang silih berganti. Karena sunah kehidupan manusia seperti itu, sehingga umat manusia sepanjang zaman dianjurkan bersabar jika ditimpa kesulitan, kemalangan, dan penderitaan, dan apabila dikarunia kenikmatan ia pun dianjurkan bersabar. Olehnya itu, hanya yang bersabar dan bersyukur ditakdirkan meniti sunah tersebut.

Jalan hidup seperti ini tidak asing lagi bagi umat ini. Bukankah Rasul Saw telah memberikan keteladanan dalam hal ini. Beliau kadang ditemukan dalam keadaan lapar, di lain waktu ditemukan merasa kenyang. Tetapi, di kala lapar ia berdoa meminta kemudahan rezeki, dan di kala kenyang dia memuji dan mensyukuri Allah. Sunah ini seperti yang dimuat di hadits berikut:

(أَخْبَرَنَا أَبُو نَصْرِ بْنُ قَتَادَةَ, أَنَا أَبُو عَلِيٍّ حَامِدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الرَّفَّا, ثَنَا عُثْمَانُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ, ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ صَالِحٍ الْمِصْرِيُّ, حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ, عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ زَحْرٍ, عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ, عَنِ الْقَاسِمِ, عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ, أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَجْعَلَ لِي بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا, فَقُلْتُ: لاَ يَا رَبِّ, وَلَكِنْ أَجُوعُ يَوْمًا وَأَشْبَعُ يَوْمًا, فَإِذَا شَبِعْتُ حَمِدْتُكَ وَشَكَرْتُكَ, وَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَدَعَوْتُكَ)). ([4])

Apa yang dipaparkan di atas salah satu dalil terhadap bolehnya memperingati hari-hari bersejarah, khususnya hari-hari Islam, seperti Maulid Nabi Saw, Isra’ Mi’raj, dan tahun baru hijriah.

Rasulullah Saw pun ditemukan merayakan hari kelahirannya ([5]) dengan berpuasa. Olehnya itu, umatnya pun dianjurkan memperingati maulidnya tiap tahun karena di sana ada pelajaran hidup. Bukankah sejak kandungan hingga dilahirkan, bahkan sebelum beliau dalam kandungan, di sana terdapat tanda-tanda kenabian yang mengisyaratkan keagungan agama ini? ([6])

Di samping itu, Rasulullah Saw menganjurkan sahabat berpuasa di hari Asyura. Namun, karena beliau mendapatkan orang Yahudi berpuasa pada hari itu juga, beliau pun menganjurkan sahabat menambah satu hari, sebelum atau sesudah hari kesepuluh Muharram. Yang demikian itu karena pada hari tersebut Allah menyelamatkan Nabi Musa As dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan kaumnya dengan menenggelamkan mereka. Di kesempatan lain pada hari yang sama perahu Nabi Nuh A.S selamat berlabuh di gunung Judi (gunung ini terletak di tepi Mosel) dari banjir yang menenggelamkan kaumnya.

Sunah ini dapat dilihat di hadits-hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ t قَالَ: (قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، فَرَأَى الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَ؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، قَالَ: فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، قَالَ: فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصَوْمِهِ). ([7])

قال العقدي مولى ابن عباس: (أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ صُمْتُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ يَوْمَ التَّاسِع). لفظ حديث العقدي أخرجه مسلم من حديث ابن ذئب، وروينا عن ابن عباس أنه قال: (صُوْمُوْا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ، وَخَالَفُوْا الْيَهُوْدَ). ([8])

حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ شُبَيْلٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: (مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأُنَاسٍ مِنْ الْيَهُودِ قَدْ صَامُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا مِنْ الصَّوْمِ؟ قَالُوا: هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي نَجَّى اللَّهُ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ الْغَرَقِ وَغَرَّقَ فِيهِ فِرْعَوْنَ، وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى، وَأَحَقُّ بِصَوْمِ هَذَا الْيَوْمِ، فَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِالصَّوْمِ). ([9])

Sunah ini salah satu dalil yang menganjurkan umat Islam untuk tidak menyerupai orang-orang Yahudi, baik dalam beribadah atau berpenampilan. Olehnya itu, karena pada hari ini juga mereka telah menyerang Umat Islam di Gaza, Palestina, kita pun dituntut bangkit melakukan jihad dalam bentuk apa pun. Di antara bentuk jihad maknawi berpenampilan islami jauh dari gaya hidup Yahudi, memboikot produksi-produksi mereka. Yang demikian itu karena mereka bukan hanya menghancurkan infrastruktur dan ekonomi masyarakat Islam, tetapi invasi militer mereka yang tidak manusiawi (menggunakan senjata kimia dan biologi yang dilarang penggunaannya oleh kesepakatan negara-negara dunia) telah memakan korban jiwa yang cukup banyak. Jadi, jihad maknawi ini tidak lain kecuali kepedulian antar sesama muslim yang senantiasa merasakan penderitaan sesama dengan berkiblatkan sunah Rasulullah Saw.

Di penghujung tulisan singkat ini, saya mengajak pemerhati sunah Rasulullah Saw menyuarakan kesimpulan berikut:

“Jalani hari-hari Allah dengan sabar dan syukur, dengan sabar Anda dapat melewati masa-masa sulit yang penuh dengan cobaan, dengan syukur Anda tahu menghargai dan memuji nikmat sekecil apa pun dari Allah, dengan cara hidup seperti ini Anda telah menghidupkan salah satu sunah Nabi Saw. Di lain sisi, Anda pun dianjurkan untuk mengetuk pintu sunnah lain dengan menjauhi gaya hidup Yahudi yang jauh dari Syariat. Yang demikian itu terhitung sebagai jihad maknawi dalam menebar pesona keindahan Islam dan cara hidup Rasulullah Saw. Hidupkan sunah Rasulullah Saw dari pintu-pintu dari sekarang!”


([1])   Ditulis pada hari Sabtu, 10 Muharram 1433 H/17 November 2012

([2])   Seperti Az-Zamakhsyari di al-Kassyâf, vol. 3, hlm. 363, Imam al-Qurtubhi di al-Jâmi’ lil Ahkâm, vol. 9, hlm. 341-342, dan Tafsir Syekh Abu Suud, vol. 3, hlm. 472

([3])   Seperti kaum Nabi Nuh, Âd, Tsamud, dan Fir’aun.  

([4])   Hadits riwayat Abu Umamah al-Bahili di al- Jâmi’ li Syuabil Iman, kitab az-Zuhd, hadits. no: 9925, vol. 13, hlm. 43

([5])   pada hari Senin, Rabiul Awal, tahun gajah 571 M di kota Mekah.

([6])   Sebelum menikah bapak Rasulullah Saw, Abdullah bin Abdul Muttalib, punya wajah bercahaya, sehingga setiap gadis yang melihatnya mendambakan dirinya sebagai istrinya. Namun, setelah ia menikah dengan Aminah binti Wahab, ibu Rasulullah Saw, cahaya itu pun hilang dari mukanya, sehingga gadis-gadis kota Mekah yang dahulunya terpikat oleh ketampanan Abdullah sudah tidak punya keinginan lagi untuk diperistri olehnya. Para ahli sirah melihat bahwa cahaya itu telah berpindah ke dalam diri Rasulullah Saw.

     Di hari lahir Rasulullah Saw ibunya melihat cahaya yang keluar bersamanya, cahaya itu terlihat menyinari istana-istana di Syam, dan di waktu yang sama patung-patung yang digantung di Ka’bah berjatuhan, rumah-rumah mungil (tempat istirahat) yang mengelilingi istana Kisra (di al-Madâin bagian selatan Bagdad) jatuh, air telaga Sawa di Kisra surut, dan api bangsa Persi padam yang sebelumnya tidak pernah padam sekali pun selama seribu tahun disembah. Para ahli sirah menafsirkan bahwa agama baru ini akan memerangi kemusyrikan dan menghancurkan patung-patung sembahan. Sementara itu, cahaya yang terlihat menyinari istana-istana di Syam tanda bahwa pengaruh Islam akan sampai ke sana.

Kejadian-kejadian luar biasa ini dapat dilihat di hadits-hadits berikut:

(عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ، صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: (إِنِّي عَبْدُ اللهِ وَخَاتَمُ النَّبِيِّينَ، وَإِنَّ آدَمَ لَمُنْجَدِلٌ فِي طِينَتِهِ، وَسَأُخْبِرُكُمْ عَنْ ذَلِكَ؛ دَعْوَةِ إِبْرَاهِيمَ، وَبِشَارَةُ عِيسَى بِي، وَرُؤْيَا أُمِّي الَّتِي رَأَتْ، وَكَذَلِكَ أُمَّهَاتُ النَّبِيِّينَ يَرَيْنَ، وَإِنَّ أُمَّ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رَأَتْ حِينَ وَضَعَتْهُ نُورًا أَضَاءَتْ لَهُ قُصُورُ الشَّامِ)).

Hadits riwayat al-Irbash bin Sâriyah R.A di al-Jâmi’ li Syuabil Iman, Fashl fi Syarafi Ashlihi wa Thaharah Mawlidihi Saw, hadits. no: 1322, vol. 2, hlm. 510

(حَدَّثَنَا مَخْزُوْمٌ بِنْ هِانِئ الْمَخْزُوْمِي، عَنْ أَبِيْهِ، وَأَتَتْ عَلَيْهِ مِائَةٌ وَخَمْسُوْنَ سَنَةً، قَالَ: لَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي وُلِدَ فِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ارْتَجَسَ إِيْوَانُ كِسْرَى، وَسَقَطَتْ مِنْهُ أَرْبَعَ عَشَرَة شُرْفَةً، وَخَمُدَتْ نَارُ فِارِس، وَلَمْ تَخْمُدْ قَبْلَ ذَلِكَ بِأَلْفِ عًامٍ، وَغَاضَتْ بُحَيْرَةُ سَاوَة).

Diriwayatkan Imam al-Baihaqi di Dalâil an-Nubuwwah wa Ma’rifah Ahwaâl Shâhibi as-Syariah, ditakhrij haditsnya dan dikomentari oleh Dr. Abdul Mu’ti’ Qal’aji, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, vol. 1, hlm. 126

Dan untuk referensi sirah silakan lihat: Ustadz Said Nursi, al-Mu’jizât al-Ahmadiyyah, diarabkan oleh Ihsan Qasim as-Shalihi, Sözler Publications, Cairo, cet. 2, 2009 M, hlm. 198-199, lihat juga: Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. 9, hlm. 236, dan Safiyyu ar-Rahman al-Mubarkafuri, ar-Rahîq al-Mahtum, Dar Ibn Khaldun, hlm. 41

([7])   Hadits riwayat Ibn Abbas R.A di Shahih Imam Bukhari, kitab as-Sawm, bab Shiyâmi Yawm Asyurâ, hadits. no: 2004, hlm. 516

([8])   Hadits riwayat al-Uqadi, mawla Ibn Abbas R.A di al-Jâmi’ li Syuabil Iman, hadits. no: 3787, vol. 3, hlm. 364

([9])   Hadits riwayat Abu Hurairah R.A di Musnad Imam Ahmad, hadits. no: 8717, vol. 14, hlm. 335

     Syekh Syuaib al-Arnauth melemahkan sanad hadits ini.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization