Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Rindu si Penguntit Cilik

Rindu si Penguntit Cilik

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (lovelydeen.tumblr.com / Yesjie)
Ilustrasi. (lovelydeen.tumblr.com / Yesjie)

dakwatuna.com – “Ikuuuuut….ikuuuuut…gak mau ngaji..mau ikut ayah aja”,

Putri kecil berteriak dengan sedikit memaksa, dia takkan tahan melihat lelaki yang sudah melewati masa paruh baya itu sedikit saja beranjak dari rumahnya. Dia hanya akan menempel pada lelaki yang dipanggilnya ayah itu, tak peduli dengan ibu dan adiknya. Setiap kali mendapat “jatah kenakalannya” dari ibu ia akan menangis berhiba-hiba mencari ayahnya. Ayahnya pun akan melambaikan tangan memintanya datang ke pelukan sambil mengadukan apa yang telah diperbuat ibu padanya.

Di kaki bukit sana diselimuti udara dingin yang membuat kita enggan menanggalkan sarung kemana pun pergi, terlihat gubuk kecil berhalaman kebun cabe. Kolam persegi panjang di sebelahnya tempat bebek berenang dengan pinggirnya dipenuhi pohon jeruk asam. Kolong dapur tinggi tempat tinggal ayam yang terkadang juga tempat tidur Putri kala lelah bermain sendiri. Lingkungan rumahnya akan sangat ramai kala siang hari karena sebagian besar masyarakat kampung mengolah kebun yang ada di sekitar kediaman Putri, namun akan jauh berbeda kala malam tiba. Hanya suara binatang malam yang membuat Putri tak merasa kesepian.

“ayah besok panen jeruk asam ya, Putri bantu ya,,tapi Putri ikut ayah nganterinnya ke pengepul ya” rayu Putri suatu malam di depan ayahnya

“iya sayang, besok kita panen asam ya, tapi ayah mau ke pasar dulu”, jawab ayah sambil membelai lembut rambut Putri

“gak papa ayah ntar Putri ambil asamnya bareng kak Dila aja”, jawab putri dengan penuh semangat. Dila adalah anak kakak ibunya Putri.

Putri sangat menikmati saat-saat dia mengumpulkan asam bersama Dila. Namun tak jarang sifat usilnya tak bisa di tahan. Apalagi kalau melihat sarang tawon yang suka menempel di batang asam, meski takut dia tetap berusaha mencari cara untuk merusaknya. Melempar dengan batu atau menjuluknya dengan galah, hingga tiba saatnya Putri benar-benar tobat, berhenti mengganggu sarang tawon.

Sabtu pagi saat orang tuanya sedang menjual hasil kebun di pasar, Putri dan Dila mulai bergerilya di bawah pohon asam. Kebetulan ada sarang tawon di dekat buah asam yang hendak mereka petik, mereka mulai menyusun rencana untuk menjatuhkannya. Dengan berselimut karung mereka mulai beraksi, sambil Dila terus memastikan apa Putri yakin akan melakukannya.

“iya kak beneran, ini Putri sudah pake karung juga”, jawabnya mantap

“kalau di sengat kamu jangan nangis ya” ujar Dila lagi

“Ok kak siap,”sambil ambil anacang-ancang mau menyerang tawon

Cesss…saat galah di tarik Putri tak ingat apa yang terjadi yang dia tahu hanya nyeri di punggung dan bawah matanya. Dila mulai khawatir melihat Putri, hingga memutuskan membawanya pulang. Saat ayah dan ibu pulang mereka kaget mendengar cerita Dila, tapi tanggapan ayah membuat Putri sangat kesal

“wah mata anak ayah jadi sipit kayak orang Cina ya,,”gurau ayah sambil ketawa

Putri serasa ingin meraung karena ayah tak peduli padanya namun matanya yang berat dengan bengkak sebesar telur ayam itu untuk melek saja susah apalagi mau menangis. Putri tahu ayah menyindirnya dengan halus, ayah mengingatkannya agar tidak usil lagi, namun kondisi saat ini membuat Putri tak berkomentar apa-apa, dalam hati dia mengaku salah dan bertekad tak akan mengulanginya lagi.

Senja itu lima belas karung penuh jeruk asam terkumpul di rumah Putri, ia nampak senang sekali. Hari ini dia telah membantu ayahnya memunguti asam yang telah dijatuhkan, bahkan ia harus menjerit-jerit mengejar buah asam yang terjatuh ke sungai. Panen asam menjadi moment yang sangat dinanti-nanti, karena Putri akan mendapati banyak sekali bentuk buah asam yang berbeda dan bisa libur mengaji karena ikut ayah mengantar asam ke pengepul. Ayah tak pernah memaksakan kehendak pada Putri yang paling penting dia bisa menjalani apapun dari hatinya. Hal ini mampu menjadikan Putri tak pernah canggung kemana pun pergi di kemudian hari.

Putri selalu punya tugas wajib hari ke hari. Memberi makan bebek dan memastikan jumlahnya tetap utuh sebelum malam menjelang. Putri sangat senang bermain dengan bebek kecil, bulunya masih lembut, paruhnya indah serta dia harus menarik kepalanya jika hendak mengambil bayi bebek. Kalau tidak sedang minat bermain ke rumah teman maka Putri akan lebih memilih duduk beralaskan karung di bawah pohon asam sambil menyaksikan bebek-bebek berenang. Bebek ini biasanya “dipanen” setiap kali mau bulan baik, sebelum Ramadhan ataupun sebelum lebaran.

Ayah punya tugas berbeda, setiap kali ada bebek dewasa yang sayapnya sudah panjang maka akan ada ritual pemotongan sayap bebek. Jika ini tak dilakukan maka kejadiannya akan sama seperti kala itu.

“Ayah…bapaknya bebek yang besar itu gak ada” teriak putri suatu petang

“coba periksa baik-baik Put, kali aja di dalam kandang ayam”, sahut ayah dari dalam rumah.

“iih ayah beneran gak ada, Putri udah periksa semuanya, jangan-jangan terbang, kan kemaren ayah belum potong sayapnya kan”, sahut Putri lagi

Sontak ayah dan ibu Putri langsung panik mendengarnya. Satu satunya bapak bebek yang paling besar tak ditemui di sarangnya. Hari yang mulai gelap membuat ayah mengurungkan niat untuk menelusuri jejak si bapak bebek, karena biasanya kalau dia terbang akan balik lagi dengan sendirinya. Hingga dua hari berlalu tak ada kabar tentang keberadaan si bapak bebek. Ayah mulai bergerilya mencarinya sampai tak sengaja saat akan ke sawah yang ada di balik bukit ayah melihat sang bapak bebek terikat di rumah seorang warga. Ooalah pantas aja dia gak bisa pulang. Dengan baik-baik ayah memintanya kembali untuk di bawa pulang, sesampai di rumah sayapnya bapak bebek langsung di pangkas biar gak bisa kemana-mana lagi.

Selain petani ayah Putri juga seorang alim ulama di kampungnya, sehingga ia harus terlibat dalam banyak kegiatan. Menjadi Mubaligh dan imam tarawih pada saat bulan Ramadhan.  Sering juga diminta menjadi juri MTQ (Musabaqoh Tilawatil Qur’an) setiap kali ada perayaan Nuzulul Qur’an di kampungnya.

Putri tetap tak dapat membiarkan ayahnya pergi sendiri. Selalu ada gadis kecil yang menguntit di belakang apapun kegiatan ayahnya. MTQ selalu usai setelah lewat dini hari sudah pasti Putri harus menginap di masjid sambil menunggui ayahnya. Penantiannya tak sia-sia karena seusai acara dia akan kebagian snack dewan juri yang tak di makan sama ayahnya. Hmmm lumayanlah buat penawar lapar sebelum berjalan pulang menembusnya dinginnya udara malam.

Idul adha menjadi moment yang menakutkan bagi Putri. Bakal banyak daging yang menumpuk di rumah karena ayah akan kebagian menjadi pemotong hewan kurban, sementara Putri gak suka daging. Saat-saat seperti ini Putri akan menjadi korban yang di usilin di rumah. Ayah akan menghisap tulang sup yang besar lalu menyodorkannya ke piring Putri, lalu ayah akan tertawa melihat Putri yang kabur sambil bergidik ngeri. Gubuk kecil ini hanya disinggahi daging setahun sekali, itu pun daging kurban.

“gak mau beli daging, kan kasihan anak ayah yang gak suka daging” alasan ayah suatu hari sebelum lebaran. Meski pun di satu sisi Putri tahu bahwa harga daging terlalu mahal buat ayah apalagi seiring jumlah keluarga yang terus bertambah

Putri tak hanya mengikuti ayahnya ke mesjid, pernah suatu ketika ayahnya ikut beladiri bersama beberapa masyarakat yang ada di kampung. Kegiatan ini dilaksanakan setiap malam Jum’at, seperti biasa si penguntit tak akan tinggal diam. Dia kembali ikut ayahnya menjadi anggota beladiri bersama anak yang lain. Jika temannya sudah pulang tepat jam dua belas malam maka Putri masih menongkrongi ayahnya yang harus pulang pada jam empat subuh. Tidur di mushalla bahkan rumah warga sudah tak asing baginya, bahkan ada juga dia sampai ditinggal ayahnya di rumah warga hingga pagi menjelang karena dia tidur terlalu pulas. Meski sering begadang begitu Putri tak pernah terlambat ke sekolah, karena baginya sekolah lebih utama.

Seiring bertambahnya usia, Putri kian beranjak dewasa. Tak ada lagi si penguntit kecil yang “tak tahu malu”. Kini yang tertinggal hanya Putri yang benar-benar harus di lindungi. Hasil Putri menguntit membuatnya tumbuh menjadi gadis yang banyak sedikit mewarisi sifat ayahnya. Putri menjadi Mubaligh menggantikan ayah. Jika dulu ia yang duduk menyaksikan ayahnya menyampaikan ilmu di mimbar mesjid, kini mereka berganti posisi. Ayahlah yang duduk menyaksikan Putri belajar menyampaikan sedikit ilmu di hadapan jamaah, nanti sesampai di rumah ayah dengan sukarela menjadi komentator tentang penampilan Putri malam itu.

Putri kini tak lagi jadi penguntit, tapi dialah partner ayah dalam tiap diskusi, bahkan tak jarang menjadi lawan debat kala mereka tak sependapat. Penguntit kecil itu kini tlah sarjana, ia yang dulu selalu merengek manja kini telah jauh dari ayahnya. Bukan Putri tak suka menjadi dewasa tapi ia benci karena ayahnya juga akan semakin tua. Tak ada lagi lelaki kokoh yang dulu selalu menggendongnya menyaksikan film G30SPKI ke rumah saudara.

Putri ingin waktu kembali lagi karena kini tak ada lagi Mubaligh dan imam shalat tarawih yang banyak rakaatnya. Kini yang tertinggal hanya lelaki tua penuh uban di rambutnya. Lelaki yang tak lagi lurus jalannya, lelaki yang hanya duduk mendirikan tiap waktu shalatnya. Lelaki yang tak lagi jernih pendengarannya, karena pengaruh obat yang harus dikonsumsinya. Asam urat itu telah egois menggerogoti ayah, hingga Putri selalu miris menyaksikan kondisinya.

Semuanya hanya tinggal kenangan yang tak pernah dirasakan orang lain. Kenangan itu utuh milik Putri dan ayah. Kenangan itu akan kembali tayang jika Putri sedang rindu ayah. Ada senyum saat membayangkan semuanya tak jarang jua telaga panas meleleh di sudut mata. Jika boleh meminta Putri masih ingin menjadi penguntit kecil seperti dulu kala.

“Allah…Putri rindu ayah yang dulu, Putri gak tega melihat ayah yang sekarang, Putri ingin selalu di samping ayah, Putri masih ingin menjadi penguntit ayah. Allah panjangkan umur ayah agar Putri masih punya kesempatan membahagiakannya. Tapi Allah, adakah ayah merasa terbebani karena Putri yang selalu menguntitnya selama ini..?” bisikan hati Putri suatu hari.

Jarak antara Sumatera dan Jawa menjadi pembatas pertemuan Putri dan ayah. waktu masih belum berpihak pada mereka hingga tega memisahkan satu jiwa dalam dua raga. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Merindu Baginda Nabi

Figure
Organization