Topic
Home / Berita / Opini / Plagiarisme dan Martabat Intelektual

Plagiarisme dan Martabat Intelektual

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (bianginovasi.com)
Ilustrasi. (bianginovasi.com)

dakwatuna.com – Baru-baru ini, seorang budayawan asal Majalengka, Jawa Barat, Ajip Rosidi, membuat heboh dunia pemberitaan setelah ia mengembalikan penghargaan Habibie Award yang diterimanya pada 2009 silam. Aksi mengembalikan penghargaan tersebut dilakukannya lantara kecewa terhadap yayasan SDM IPTEK Habibie Center – lembaga yang memberinya Habibie Award – karena lembaga tersebut memberikan penghargaan serupa kepada Prof. Dr. Nina Lubis, seorang guru besar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Kekecewaan tersebut berpangkal dari dakwaan plagiarisme yang ditujukan kepada Nina Lubis atas karyanya yang berjudul Negarawan dari Desa Cinta yang disinyalir mem-plagiat skripsi mahasiswi bimbingannya sendiri, Elly Maryam, yang berjudul Peranan dan Pemikiran Mohammad Sanusi Hardjadinata dalam Politik di Indonesia (1945-1985). Rosidi kecewa karena penghargaan bergengsi sekelas Habibie Award tidak semestinya diberikan kepada tokoh yang bermasalah secara akademis seperti Nina Lubis.

Kejadian tersebut mengingatkan kita akan kejahatan plagiarisme yang amat berpengaruh terhadap reputasi akademik seseorang. Pada 2010 lalu, seorang doktor lulusan ITB yang bernama Mochamad Zuliansyah dicabut gelar doktornya oleh institusi yang memberinya gelar tersebut. Ia harus menerima sanksi pencabutan gelar setelah ia terbukti melakukan tindakan plagiarisme pada disertasinya, dan sesaat kemudian ia juga terbukti melakukan pelanggaran akademik tersebut atas karya makalah ilmiahnya yang berjudul 3D Topological Relations for 3D Spacial Analysis. Selain sanksi pencabutan gelar, ia juga harus menerima sanksi black-list dari daftar calon dosen ITB.

Rupanya virus plagiarisme tidaklah hinggap kepada seseorang secara tebang pilih. Ia bisa menempel kepada siapapun, sekalipun orang tersebut telah dikenal luas memiliki rekam jejak akademik yang baik. Kasus Anggito Abimanyu pada 2014 lalu menjadi contoh sempurna betapa pelanggaran plagiarisme ternyata juga dapat mendera seorang tokoh intelektual kenamaan. Patut dicatat, bahwa Anggito adalah salah satu dosen UGM yang dipandang sangat cemerlang dan banyak digemari oleh mahasiswanya. Selain itu, pada saat kasus tersebut mendera dirinya, ia sedang menjabat sebagai Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag. Kasus tersebut bermula dari tuduhan plagiarisme kepada dirinya karena telah menjiplak habis-habisan karya tulis Hotbonar Sinaga dengan judul Menggagas Asuransi Bencana dan kemudian hasil jiplakan tersebut dikirimkannya ke harian Kompas dan dimuat pada 10 Februari 2014 dengan judul Gagasan Asuransi Bencana. Akibat kelalaiannya tersebut, ia harus merelakan diri untuk mundur dari kampus tempat ia mengajar untuk menjaga nama baik institusi di mana ia bernaung itu.

Kasus plagiarisme pada dasarnya adalah kejahatan akademik yang amat luar biasa (academic extra-ordinary crime). Secara sederhana, plagiarisme dapat diartikan sebagai tindakan yang dengan leluasa menjiplak sebagian atau seluruh karya orang lain tanpa seizin yang bersangkutan atau tanpa pencantuman sumber referensi sebagaimana ditetapkan dalam standar ilmiah. Tindakan tersebut tidak hanya melukai reputasi akademik, tetapi juga sekaligus merendahkan martabat intelektual seseorang.

Ketika seseorang melakukan tindakan plagiarisme, sebenarnya ia telah melakukan suatu tindakan pencurian terhadap aset yang amat berharga berupa karya orang lain. Hal ini dapat membuktikan dua hal: pertama, pelaku plagiarisme tidak memiliki martabat intelektual yang baik. Dan kedua, ia sama sekali merendahkan martabat intelektual orang lain. Sudut pandang bukti pertama dapat dibenarkan dengan asumsi bahwa apabila seseorang memiliki martabat intelektual yang baik maka tidak seharusnya ia melakukan tindakan pencurian intelektual. Malah sebaliknya, semestinya ia menggunakan kapasitas intelektualnya sendiri untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa ia adalah orang yang cukup memiliki kapasitas dalam bidangnya. Ini sekaligus juga menekankan bahwa kapasitas intelektual saja tidak cukup, tetapi juga harus diiringi dengan kesadaran moral dan martabat intelektual yang baik.

Sudut pandang bukti kedua agaknya telah jelas tergambarkan bahwa tindakan pencurian secara intelektual sama dengan tidak menghargai, atau dengan kata lain merendahkan, martabat intelektual orang lain. Betapa tidak, karya orang lain yang tidak disebutkan secara jelas dalam referensi diklaim seolah-olah itu adalah karya hasilnya sendiri. Ini merupakan bentuk perendahan atas martabat intelektual orang lain yang sangat parah. Sama saja seorang pelaku plagiarisme tidak mengakui bahwa karya yang ia plagiarisme adalah hasil dari kapasitas dan martabat intelektual milik orang lain.

Bagaimanapun, dari kasus-kasus plagiarisme yang pernah terjadi harusnya menjadi pembelajaran bagi kita, khususnya kalangan yang berkecimpung di dunia akademik, bahwa plagiarisme adalah kejahatan yang tidak dapat ditoleransi sedikit pun. Oleh karenanya, diperlukan pula pengawasan yang ketat dan penegakkan sanksi yang tegas dari institusi pendidikan agar mencegah kejadian plagiarisme terulang kembali. Selain untuk menjaga nama baik institusi yang bersangkutan, lebih jauh, juga untuk menjaga martabat intelektual yang memang sudah menjadi keharusan untuk ditanamkan pada setiap diri insan akademis. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa magister ilmu politik UI. Selain itu juga aktif di organisasi Pemuda Muhammadiyah dengan jabatan ketua bidang hikmah dan hubungan antarlembaga di tingkat pimpinan cabang.

Lihat Juga

Liqa Itu Penting

Figure
Organization