Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Putus Asanya Pohon Gorgot

Putus Asanya Pohon Gorgot

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

pohon-meranggasdakwatuna.com – Terlihat awam hitam mulai menutupi cahaya matahari pertanda akan turunnya hujan. Pohon-pohon mulai bergoyang-goyang mengikuti nyanyian angin yang kasar. Ribuan daun, sampah, dan barang-barang yang ada di jalanan berterbangan tidak tentu arah. Sebuah pohon tumbang mengenai travo listrik di pinggir jalan, hal tersebut mengakibatkan beberapa lampu jalan dan rumah padam. Tiba-tiba sebuah sirene berbunyi keras di tengah kebisingan alam yang sedang berlangsung. Ternyata badai akan segera datang, warga setempat mulai masuk ke rumah mereka masing-masing. Pintu dan jendela mulai ditutup. Kota Darmstadt, Jerman terlihat seperti kota mati dan jalanpun terlihat sangat sepi, tak ada aktivitas kehidupan yang sedang berlangsung, kecuali alam yang sedang asyik memainkan melodi-melodi kasarnya ke telinga manusia yang sedang ketakutan di rumah.

Terdengar suara langkah yang terburu-buru, oh ternyata ada seorang anak laki-laki yang masih ada di luar rumah bersama badai. Ia sedang berlari membawa tas selendang hitam yang dikejar oleh 3 orang dewasa menggunakan jaket hitam. Si anak berusaha berlari dari gang ke gang, akan tetapi tiga orang itu tetap saja mengejarnya. Mereka tidak peduli dengan badai yang sedang berlangsung. “Jangan biarkan anak itu kabur membawa protokol itu!” kata salah satu orang dewasa tersebut. Sang anak terus berlari, akan tetapi sepertinya dia kelihatan sudah mulai lelah untuk terus berlari. “Huft…huft…huft…” pergerakan nafasnya mulai tak teratur. Tiba-tiba si anak mendapatkan jalan buntu, ia bingung untuk berlari kemana lagi. Ketika hendak ingin kembali ke belakang, tiba-tiba jalannya sudah dihalangi oleh tiga orang dewasa tersebut. “Hahaha, mau lari kemana lagi kamu nak?” langkah demi langkah orang-orang itu mulai mendekati si anak dengan todongan pistol yang ada di tangan mereka. Rasa takut dan cemas mulai tergambar di wajah anak tersebut. “Tolong…tolong…tolong jangan tembak saya. Pak saya mohon jangan bunuh saya.”

“Sekarang berikan tas itu kepada saya.”

“Maaf pak, saya tidak bisa berikan tas ini.”

“Berikan tas itu atau peluru ini akan bersarang di kepalamu.”

“Tidak pak, ini titipan dari ayah saya. Jika isi tas ini diambil oleh orang lain nanti ayah saya bisa marah.”

“Ah! Saya tidak peduli. Berikan tas itu atau saya gunakan cara kasar” salah satu di antara mereka mulai menarik paksa tas itu. “Jangan! Saya mohon jangan diambil.”

“Dhorr…dhorr…dhorr!” tiba-tiba tiga orang yang di dekat anak tadi jatuh dengan darah di kepala mereka. Sang anak makin merasa takut melihat orang yang baru saja menembakkan pelurunya dengan cepat ke tiga orang yang ada di hadapannya. Seketika orang misterius tersebut memanggil anak tersebut, “Hai Gross, kemarilah. Jangan takut.”

“Si,,,si…siapa kamu? Ke…ke…kenapa kamu tahu nama saya? ” Tanya sang anak dengan gemetaran. Orang misterius tersebut mulai melangkahkan kakinya ke arah anak tersebut. Wajah anak tersebut sangat pucat, ia bingung harus berbuat apa selanjutnya. Di hatinya bergumam bahwa inilah akhir hidupnya. Dekat dan semakin dekat orang misterius tersebut.

Tiba-tiba Sachlev Gross tersentak bangun dari tidurnya, “Hah!…huft…huft…huft.” Terlihat banyak keringat di wajah Gross. Ia menoleh ke sebelah kanan, menatap seorang wanita yang sedang tidur sangat nyenyak di sampingnya. Elsa Leviella, istri Gross yang sudah menjadi pendamping hidupnya selama 2 tahun. Gross mengelus-elus lembut kepala Elsa dan mencium perutnya yang sudah hamil tua. Sachlev beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur hendak minum, karena ia merasa dehidrasi.

Sachlev Gross adalah seorang yahudi yang lahir di kota Darmstadt, Jerman. Ia adalah anak dari salah satu pengikut Gerakan Zionisme Internasional yang telah dirancang oleh Theodor Herzl. Keluarga Gross pindah ke Palestina di saat Israel melakukakan pengusiran terhadap warga Palestina. Sachlev kecil selalu diajarkan untuk membenci Islam dan memperjuangkan Yahudi untuk berkuasa di muka bumi. Di saat remaja, ia aktif mengikuti kegiatan zionisme bersama ayahnya. Kelak sang ayah menginginkan anaknya sebagai penerus di Gerakan Zionisme Internasional. Ia menikahi Elsa pada saat berumur 29 tahun. Saat sekarang mereka tinggal di kota Yerussalem bersama warga yahudi yang lainnya. Sachlev bekerja sebagai Kepala Keamanan Masyarakat kota Yerussalem.

Sedikit demi sedikit matahari mulai menampakkan dirinya di kota Yerussalem. Gross membawakan air minum dan susu untuk sang istri. “Hai sayang, selamat pagi. Ini aku bawakan air dan susu untukmu.” Gross membantu istrinya untuk duduk dan memberikannya minum. “Jika anak kita lahir, kira-kira apa nama yang bagus untuknya?” Tanya Elsa kepada suaminya. Gross berfikir sejenak, “Hhmm, aku akan menamakannya seperti nama ayah yaitu Birth Adamson. Bagaimana menurutmu sayang?” Elsa tidak langsung menjawab, akan tetapi tiba-tiba ia mulai merasakan sakit di perutnya. “Haahh…aduh perutku terasa sakit, sepertinya bayinya mau keluar.”

“Oh baiklah, kalau begitu kita ke rumah sakit sekarang yah.” Gross langsung menyiapkan segalanya untuk keperluan kelahiran anak pertamanya. Hari ini akan menjadi hari yang membahagiakan dalam hidupnya. Apalagi yang akan lahir adalah anak laki-laki sesuai keinginan hatinya. Sebelumnya dokter pun telah memastikan bahwa anaknya yang akan lahir adalah laki-laki. Ia segera menelpon dokter di rumah sakit untuk bersiap-siap menyambut istrinya. “Halo selamat pagi dokter. Ini saya Sachlev, sepetinya istri saya hendak ingin melahirkan.”

“Ya sudah, segera kamu bawa istrimu ke rumah sakit segera sekarang.”

“Baik dokter, segera saya akan ke rumah sakit.”

Perlahan-lahan Gross membimbing istrinya ke mobil. Akhirnya mereka berangkat menuju rumah sakit. Ketika selama diperjalanan ia melihat orang-orang muslim berjalan kaki menuju Masjid Al-Aqsha, Gross baru ingat kalau hari ini adalah hari Jum’at. Penjajah Israel hanya mengizinkan rakyat Palestina untuk shalat di masjid Al-Aqsha hanya pada hari jum’at dan yang boleh masuk hanya yang tua. Para remaja dan pemuda tidak mendapatkan izin untuk masuk di Masjid Al-Aqsha, karena khawatir akan terjadinya aksi demonstrasi di kota Yerusalem.

Sesampainya di rumah sakit, Gross dan Elsa langsung disambut oleh para suster yang membawakan kasur pasien. Dengan segera Elsa dibawa ke ruangan persalinan, sedangkan Gross hanya bisa menunggu di luar ruangan sambil berharap dan berdoa dengan keyakinan yahudinya. Rasa takut dan bahagia bercampur aduk dalam hatinya, takut atas tidak selamat istrinya dan bahagia atas kelahiran anaknya. Setelah lama ia menunggu tiba-tiba ia mendengarkan suara yang ditunggu-tunggunya, suara tangis bayi menghiasi kebahagiaan ruangan persalinan tersebut. Gross dipersilahkan untuk masuk melihat anak laki-lakinya yang baru saja lahir dengan selamat, begitu juga dengan istrinya yang selamat dari proses persalinan. Langsung saja Gross menggendong anaknya dengan rasa yang sangat bahagia hingga ia meneteskan air mata. Ia teringat dengan seorang rahib yahudi yang ingin memberkati anaknya ketika lahir nanti. Segera ia letakkan bayi kesayangannya di samping sang Ibu sambil mencium kening istrinya. “Elsa, aku permisi hendak ingin menjemput rahib Arnon untuk memberkati bayi kita ini. Oh iya, bagaimana menurutmu dengan usulan nama yang tadi kuberikan untuk anak kita?”

“Maaf sayang, tadi kamu usulkan anak kita apa namanya?”

“Birth Adamson. Ini adalah nama ayah, aku ingin kelak anak kita seperti kakeknya yang bisa menjadi penerus negara ini.”

“Iya, aku setuju dengan nama itu.” Gross merasa senang dengan jawaban istrinya yang setuju dengan nama tersebut. Dengan hati gembira Gross berbicara dengan bayinya, “Hai Birth, ayah permisi dulu ingin menjemput rahib Arnon untuk memberkati hidupmu.” Gross keluar dari ruangan persalinan menuju mobil. Tiba-tiba teleponnya berbunyi, ternyata teman kerjanya Benzion menelponnya. Gross lupa untuk izin kerja hari ini, segera saja ia angkat telepon tersebut, “Hai Gross, bagaimana kabarmu? Kenapa hari ini aku tidak melihat batang hidungmu pada kerja hari ini? Di sini banyak sekali rakyat Palestina yang harus kita awasi. Oh iya bagaimana kabar istrimu?”

“Aduh, maafkan aku lupa untuk izin hari ini Ben.”

“Kenapa izin? Apakah ada musibah yang terjadi padamu?”

“Oh tidak Ben, hari ini aku sangat baaahagiiaaa sekali. Anakku hari ini lahir Ben.”

“Hah! Benarkah, waaahhh selamat ya Gross atas kelahiran anakmu. Aku turut bahagia atas kelahiran anakmu pada hari ini.”

“Iya terima kasih Ben atas ucapan selamatnya.”

“Oh iya Gross, hari ini biar saja aku yang menangani keamanan kota Yerussalem. Kamu bersenang-senang saja dengan anakmu.”

“Wah terima kasih banyak Ben. Kamu memang sahabat kerja yang baik.”

“Berita kelahiran anakmu akan segera aku sebar ke yang lain.”

“Hahaha…banyak akal kamu ini yah, sekali lagi aku ucapkan terima kasih Ben.”

“Iya sama-sama. Ya sudah aku mau lanjutkan pekerjaan dulu. Sampai jumpa.”

“Oke, sampai jumpa.” Gross menutup teleponnya dan langsung berangkat ke rumah rahib Arnon. Selama perjalanan ia banyak mendapatkan ucapan selamat melalui sms dari teman, sahabat, karib, dan keluarga atas kelahiran anak pertamanya.

Sesampainya di depan rumah rahib Arnon, Gross mengetuk pintu rumah si rahib. “Tok..tok..tok..rahib Arnon! Apakah anda di rumah?”

“Iya, siapa di luar?”

“ini saya Sachlev.”

“Oh iya saya datang.” Rahib membukakan pintu, “Silahkan masuk Sachlev.”

“Ah tidak usah rahib, saya hanya ingin anda memberkati anak saya.”

“Hah! Anak kamu sudah lahir?”

“Iya Rahib.”

“Waahh…saya ucapkan selamat atas kelahiran anakmu. Semoga bisa menjadi penerus yang baik. Baiklah kalau begitu tunggu apa lagi, mari kita segera menemui anakmu.”

“Baiklah.” Rahib Arnon dan Sachlev masuk ke dalam mobil.

Terlihat matahari sudah berada di atas kepala, bayangan setiap benda yang ada di kota Yerussalem tidak ke kiri ataupun ke kanan. Rahib dan Gross telah sampai di rumah sakit, langsung saja mereka menuju kamar pasien Elsa dan anaknya. Ketika mereka berdua masuk ruangan sudah banyak yang hadir untuk melihat anak Sachlev, dari teman, sahabat, karib kerabat, dan keluarga. Mereka yang di ruangan tersebut memberikan ribuan ucapan selamat atas kelahiran anaknya. Birth kecil sekarang sedang berada gendongan ayahnya. Sang rahib mulai mendekati bayinya Sachlev. Semua yang ada di ruangan diam menyaksikan sang rahib yang hendak berkomat-kamit di hadapan si bayi, akan tetapi ada hal yang aneh ketika rahib Arnon mengucapkan kalimat berkatnya kepada si bayi. Bayinya menangis setiap rahib Arnon membaca kalimat berkatnya. Sang ayah berusaha untuk menenangkannya, “Birth sayang, di sini ada ayah bersamamu. Tenang ya bayi kecilku, itu rahib Arnon ingin membekatimu.” Si bayi tetap saja menangis bahkan semakin diteruskan ucapan sang rahib, bayinya pun menangis semakin kencang hingga ia batuk-batuk. Sachlev merasa kasihan dengan bayinya, “Sebentar rahib, kita biarkan bayinya tenang dahulu.” Birth kecil terus menangis tanpa hentinya padahal Rahib Arnon sudah tidak lagi membaca kalimat-kalimatnya. Semua yang ada di ruangan tersebut merasa kasihan dengan bayinya Gross.

‘Allahu akbar allahu akbar’ tiba-tiba tangisan bayi mulai reda di ruangan tersebut. ‘Asyhadu alla ilaha illalah’ suara tangisannya terus mereda.‘Asyhadu anna muhammadur rasulullah’ terlihat si bayi berusaha untuk menghilangkan tangisannya. ‘Hayya alas salah’ si bayi mulai diam. ‘Hayya alal falah’ Birth kecil menampakkan senyum mungilnya. ‘Allahu akbar allahu akbar’ ia terus menikmati suara indah tersebut. ‘La ilaha illallah’ tiba-tiba si bayi menggenggam tangan kanannya, bayi tersebut mengeluarkan jari telunjuknya yang mengarah ke atas. Seperti memberikan isyarat bahwa hanya ada satu tuhan yang patut disembah di muka bumi ini. Tiba-tiba di ruangan tersebut hening, orang-orang pada kebingungan melihat tingkah si bayi. Suara adzan shalat jum’at yang terdengar dari masjid Al-Aqsha seolah-olah memberikan lantunan kalimat indah kepada si bayi. Sekarang bayinya telah tertidur lelap. Gross yang ketika itu langsung berhadapan dengan bayinya sendiri penuh dengan tanda tanya yang ada dipikirannya. Ketika ia hendak ingin meminta diberkati lagi oleh rahib Arnon, tidak terlihat lagi keberadaannya di ruangan tersebut.

Gross segera meletakkan bayinya di samping Elsa untuk menemui rahib Arnon. Ketika ia keluar ruangan terlihat olehnya rahib Arnon yang sedang duduk di lorong rumah sakit. Sang rahib hanya duduk diam tanpa keluar satu patah kata pun dari mulutnya, pandangannya hanya menatap ke bawah, ia merasa tingkah laku bayi tadi membuatnya malu di depan banyak orang. “Rahib Arnon, apakah anda baik-baik saja?”

“Antar saya pulang sekarang juga Gross.”

“Tapi anak saya belum diberkati.”

“Anakmu barusan sudah diberkati.”

“Maksud anda?”

“Sudahlah nanti saya jelaskan ketika di perjalanan, yang penting sekarang antar saya pulang.”

“Baiklah rahib jika itu yang anda inginkan.” Mereka segera keluar rumah sakit menuju rumah rahib Arnon menggunakan mobil. Selama diperjalanan Gross kembali mengawali percakapan. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan anak saya rahib?”

“Entahlah, aku pun juga heran melihat anakmu. Padahal kalimat yang saya bacakan kepadanya adalah kalimat berkat yang biasa saya baca kepada semua bayi yang pernah saya berkati. Coba kamu perhatikan anakmu tadi, ketika aku memulai pemberkatan bayimu malah menangis sekencang-kencangnya seolah-olah tidak ingin mendengarkannya.”

“Tapi kenapa ia terlihat menikmati ketika mendengar suara adzan dari masjid Al-Aqsha?”

“Hal itu juga yang saya sangat herankan dengan anakmu. Gross! Saya usulkan kamu lebih baik pindah dari Yerussalem.”

“Kenapa saya harus pindah?”

“Saya khawatir anak tersebut ketika besar nanti dia akan menjadi pengikut kaum muslimin.”

“Ah! Hal itu tidak mungkin. Saya justru ingin mengajarkan anak saya untuk menjadi orang yang taat kepada agama yahudi.”

“Percayalah, kelahiran bayimu itu seperti lahirnya bayi-bayi palestina yang lainnya. Setiap bayi muslim yang lahir, maka kalimat yang pertama diucapkan di telinga mereka adalah kalimat-kalimat adzan.”

“Baiklah Rahib, nanti saya pikirkan kembali.”

“Jangan terlalu lama berpikir.”

Pembicaraan mereka berhenti ketika mobil sudah tiba di rumah rahib Arnon, mereka melakukan salam perpisahan. Gross kembali menuju rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, kamar rawat Elsa sudah sepi, hanya ada Brith kecil dan ibunya yang sedang tertidur. Gross merasa lelah, ia hendak ingin istirahat sejenak. Ia mulai membaringkan badannya di sofa yang ada di kamar rawat tersebut. Perlahan-lahan matanya mulai tertutup dan tertidur. Pandangan yang melihat dunia nyata berubah menjadi pandangan masuk ke dalam dunia mimpi.

Suatu ketika di pagi hari yang cerah di kota Yerussalem. Suasana indah begitu menghiasi komplek masjid Al-Aqsha dengan hadirnya kaum muslimin. Para anak-anak palestina sedang asyiknya bermain di sekitar taman masjid, para ulama dan orang tua masih ada yang berdzikir dan beribadah di masjid. Sebagian ada juga yang sedang bertalaqqi dengan para syeikh. Suasana yang indah tadi seketika berubah menjadi mimpi buruk bagi kaum muslimin, ada 3 truk tentara dan 2 truk polisi israel memasuki wilayah komplek masjid. 1 kompi tersebut di komandai oleh Sachlev Gross, ia diperintahkan oleh atasannya untuk menutup masjid Al-Aqsha untuk umat islam pada hari itu. Semua pandangan orang-orang tertuju kepada kompi yang dipimpin oleh Gross. Gross segera turun dari truk dengan membawa pembesar suara untuk memperingati umat islam. “Wahai orang-orang islam! Aku peringatkan kalian untuk segera mengosongkan masjid ini sekarang juga atau jka tidak kami yang akan memaksa kalian untuk pergi dari masjid ini.” Syeikh Maulana yang ketika itu sedang memberikan ceramahnya kepada kaum muslimin keluar hendak menemui Gross dan pasukannya. Syeikh tidak sendirian, akan tetapi semua kaum muslimin ikut serta di belakangnya. Sambil berjalan mereka berteriak, “La ilaha illallah.” Ketika syeikh Maulana dan Gross berhadapan terjadi perbincangan dahsyat di antara mereka. Gross berkata kepada syeikh,”Selamat pagi pak tua, bisakah anda dan orang-orang anda untuk segera pergi dari masjid ini.” Dengan lembut dan senyuman syeikh Maulana menjawab, “Maaf, apa hak anda menyuruh kami untuk pergi dari tempat ibadah suci umat islam ini?”

“Pak! Saya diperintahkan oleh atasan saya untuk segera menutup masjid ini sekarang.”

“Apa? Anda bilang ingin menutup tempat ibadah yang suci ini? Maaf apakah kami pernah melarang kalian orang-orang yahudi untuk tidak lagi mengunjungi dinding ratapan kaum yahudi yang ada di dekat masjid ini?”

“Sekali lagi saya katakan bahwa saya diperintahkan oleh atasan. Saya hanya melaksanakan tugas.”

“Anda diperintahkan oleh atasan!? Siapa atasan anda? Jika anda mau tahu bahwa atasan kami Allah swt tidak lagi memberikan kalian tempat tinggal di muka bumi ini. Kalian mau tahu kenapa? Karena kalian selalu membangkang dengan-Nya, dan membunuh para nabi. Jadi tidak ada hak bagi kalian untuk mengusir kami dari masjid Al-Aqsha ini!!!” Gross tiba-tiba mulai geram dan menampakkan marah pada wajahnya. Ia tidak bisa berucap satu kalimat pun untuk melawan ungkapan syeikh Maulana. Segera saja ia memerintahkan pasukannya, “Tangkap orang tua yang ada di hadapanku ini! Usir mereka semua dari masjid ini! Lakukan saja dengan kekerasan! Segera laksanakan!”

“Dhorrr…dhorrr…dhorrr.” suara tembakan peringatan dikeluarkan oleh Gross. Pasukan israel menangkap syeikh Maulana. Sedangkan kaum muslimin mulai marah melihat syeikh Maulana ditangkap, mereka melempar pasukan israel dengan batu. Para anak-anak dan wanita pergi meninggalkan tempat untuk mencari perlindungan. Usaha kaum muslimin untuk mengambil kembali syeikh Maulana tidak berhasil, karena terus diberi gas air mata oleh pasukan israel. Sedangkan syeikh Maulana sudah dibawa pergi oleh Gross menuju Kantor Polisi Israel.

Gross merasa sangat kesal dan marah, ia menjebloskan syeikh Maulana ke penjara bawah tanah. “Sebentar apa salah saya? Mengapa saya harus dipenjara ini?” kata syeikh Maulana kepada Gross. “Wahai pak tua, kamu mau tahu salahmu? Kamu telah membuat saya malu di depan banyak orang, dan anda adalah pemicu terjadinya bentrokan di masjid yang kau katakan tempat ibadahmu itu!”

“Saya tidak berniat memalukan anda, apalagi menginginkan terjadinya bentrokan tersebut. Saya hanya menyampaikan sesuatu yang seharusnya saya sampaikan dan bentrokan itu terjadi dikarenakan anda menangkap saya.”

“Ah, tutup mulutmu!!!” Kemarahan Gross semakin besar, ia pergi ke kantornya ingin membuat surat pernyataan pidana bahwa syeikh Maulana dinyatakan salah dikarenakan provokator atas terjadinya bentrok di masjid Al-Aqsha dan ditambah pula bahwa syeikh Maulana adalah teroris yang harus dieksekusi, karena menjadi ancaman bagi keamanan negara. Gross pergi menuju kantor pengadilan meminta tanda tangan dari para hakim untuk menyetujui surat pernyataan yang telah dibuatnya. Ia sangat ingin membunuh syeikh Maulana. Para hakim tidak menyetujuinya, karena harus dilakukan sidang terlebih dahulu. Gross tidak peduli, ia tetap memaksa untuk ditanda tangani dengan menodong pistol ke arah kepala ketua hakim. Merasa terancam dibunuh, dengan terpaksa hakim menanda tanganinya.

Setelah mendapat tanda tangan, segera ia kembali menuju penjara bawah tanah hendak menemui syeikh Maulana. Gross pergi membawa surat pernyataan pidana dan pistol yang disembunyikan di belakangnya. Syeikh Maulana sedang melaksanakan ibadah shalat, terlihat dari wajahnya yang teduh, tenang, dan tentram. Tidak terlihat tanda-tanda di wajahnya bahwa dirinya sedang ketakutan bahkan ia sempat tersenyum melihat Gross yang menunggu di sampingnya setelah selesai melaksanakan ibadah shalat. Dengan kasar Gross melempar surat pidana ke wajah syeikh Maulana, “Hei pak tua! Ini saya bawakan ‘hadiah’ untukmu.” Syeikh Maulana membaca surat pidana tersebut. “Apa ini? Mengapa saya dikatakan sebagai provokator? Lalu apa maksudnya saya disebut sebagai teroris?”

“Hahahaha….bukankah ini hadiah yang indah?”

Astaghfirullah! Fitnah macam apa yang telah kamu perbuat.”

“Inilah akibatnya atas perbuatanmu itu.” Gross mengeluarkan senjata yang disembunyikannya yang diarahkan tepat di kepala syeikh Maulana. “Jadi ini maksudmu membuat surat fitnah ini untukku.” Ungkap syeikh Maulana dengan tanpa rasa takut di hatinya. “Hahaha…sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat bagimu untuk menyampaikan kata-kata terakhirmu pak tua.”

“Bolehkah saya berdoa terlebih dahulu?”

“Apa? Kamu ingin berdoa? Hahaha….jadi kamu berfikir dengan doamu bisa menyelamatkan hidupmu dari senjata ini. Ya sudah aku izinkan kamu berdoa denga tuhan yang tak jelas itu.” Hina Gross begitu sangat kasar terhadap islam di hadapan syeikh Maulana. Dengan penuh ketenangan, keikhlasan, dan kesabaran syeikh Maulana mulai mengadahkan tangannya ke atas untuk berdoa. Ada sekitar 5 menit beliau berdoa. “Bagaimana pak tua? Sudah selesai berdoanya? Jadi, apakah doamu sekarang dikabulkan? Dimana tuhanmu itu hah!? Hahaha… di penjara bawah tanah ini tuhanmu tidak mendengarkan apa-apa pak tua! Hahaha.” Gross kembali menghina syeikh Maulana, tetapi terlihat syeikh begitu sabar menghadapinya. “Allah ta’ala itu Sang Maha Mendengar atas doa-doa hambanya.”

“Oh ya! Kalau begitu di mana buktinya? Saya yakin kamu tadi berdoa untuk selamat dari senjataku ini.”

“Kamu salah. Saya berdoa bukan untuk saya, akan tetapi untuk kamu.”

“Apa maksud doa tersebut untuk saya?”

“Doa itu mungkin tidak seharusnya dikabulkan sekarang, akan tetapi suatu saat in shaa Allah kamu akan melihat dan menyadari bahwa doa ini benar-benar sebagai senjata ampuh bagi umat islam.”

“Terus, emangnya apa isi doamu tadi?” tanya Gross penuh penasaran. “Saya berdoa kepada Allah swt semoga disaat kamu mempunyai keturunan, dialah yang akan menjadi penerus dan pembela agama islam.”

“Omong kosong!” kemarahan Gross sudah memuncak, segera ia tarik pelatuk senjatanya tersebut. “Dhorrrr.”

“Hah! Huft…huft…huft…” Gross terbangun dari tidurnya. Ia kembali mimpi buruk. Wajahnya sudah penuh dengan keringat. Mimpi yang barusan dialaminya itu adalah ketika Gross melakukan operasi penutupan masjid Al-Aqsha 5 tahun yang lalu. Gross merasa bingung entah kenapa masa lalu itu muncul di mimpinya. Sejenak ia memandang bayinya yang sedang tertidur di samping Elsa. Muncul dipikiran di benak Gross, apakah do’a syeikh Maulana itu dikabulkan sekarang?. Pikirannya berusaha menolak. Terbesit di dalam pikirannya untuk mengkuti anjuran dari rahib Arnon untuk pindah dari Yerussalem.

Setelah 3 hari Elsa dan bayinya di rawat di rumah sakit, Gross membawa mereka pulang ke rumah barunya di kota Tel Aviv. Pusat Keamanan Negara Israel telah menyutujui permintaan pindah wilayah tugas Gross dari kota Yerussalem ke kota Tel Aviv. Rahib Arnon sempat memberi pesan kepada Gross, “Jika kamu telah pindah ke kota Tel Aviv bersama istri dan bayimu, maka pesanku adalah tanam dan peliharalah pohon gorgot di sekitar rumahmu.”

“Mengapa harus begitu?”

“Gross, percayalah denganku. Kamu turuti kata-kataku ini, ketahuilah hanya pohon gorgot yang berpihak terhadap yahudi.”

“Baiklah rahib.”

Gross telah menanam belasan pohon gorgot di sekitar rumahnya. Hampir setiap hari ia selalu perhatikan pertumbuhannya dan merawatnya dengan baik. Gross mulai penasaran, mengapa harus pohon gorgot yang ditanam? Apa hubungannya dengan yahudi?.

Waktu demi waktu Birth putranya Gross mulai tumbuh besar. Setiap hari Birth diajarkan agama yahudi oleh sang ayah. Sekarang Birth sudah tumbuh dewasa, ia telah lama ikut pelajaran militer sejak remaja dan beberapa operasi militer israel sudah dilaksanakannya. Birth sering mendapatkan perintah untuk melakukan operasi pengusiran rakyat palestina. Sang Ayah yang kini telah tua bangga dengan anaknya, ia merasa telah berhasil mendidik anaknya menjadi yahudi yang taat dan baik bagi negara. Peningkatan kerja terus dialami oleh Birth hingga ia cepat naik pangkat.

Suatu ketika Birth naik pangkat sebagai komandan militer, ia mendapatkan tugas untuk menyerang pejuang-pejuang Palestina dan HAMAS di dekat kota gaza. Sebelum berangkat perang, ia meminta izin kepada kedua orang tuanya. Gross dan Elsa sudah begitu tua, mereka hanya memiliki satu orang anak laki-laki dalam hidup mereka. Sangat berat hati keduanya ketika melepas anak satu-satunya, akan tetapi ini adalah panggilan tugas dari negara untuknya.

Sudah 1 bulan lamanya Gross dan Elsa menunggu anaknya untuk pulang, akan tetapi mereka belum dapat kabar. Rasa takut, cemas, dan khawatir mulai menyelimuti hati mereka. 2 mobil sedan hitam parkir di halaman rumah mereka. Seorang pria menggunakan jaz hitam bersama beberapa pengawalnya. Terlihat dari kaca pintu rumah, sepertinya Gross kenal dengan orang tersebut. Ia adalah sahabat kerjanya ketika masih bertugas di kota Yerussalem, oh ternyata Benzion. Tampak kegembiraan ketika mereka berjumpa, Gross segera mempersilahkan sahabatnya tersebut untuk masuk ke rumahnya. Benzion sekarang telah menjabat sebagai seorang Jendral militer. Tujuan kedatangannya ialah menyampaikan informasi terkait perang yang berlangsung antara Israel dan Palestina. Benzion memulainya dengan sedikit basa-basi, “Apa kabarmu sekarang Gross?”

“Yah sesuai yang kamu lihat sekarang, diriku sudah lemah dan keriputan.”

“Ah jangan merendah begitu Gross, keadaanmu sekarang juga sama halnya dengan diriku.”

“Hahaha.” Mereka tertawa, “Oh iya, aku sangat kagum dengan anakmu. Dia sangat pemberani sama seperti ayahnya. Kamu harus bangga terhadapnya Gross.”

“Terima kasih atas pujiannya Ben, tapi sekarang aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Apakah kamu mengetahui kondisi perang sekarang?”

“Tentu. Gross, sebelumnya aku minta maaf. Sebenarnya maksud dari kedatanganku ini adalah untuk menyampaikan maklumat bahwa Birth telah tiada dalam peperangan.” Gross merasa terkejut mendengar kabar anaknya. Elsa yang juga ikut mendengarkan pembicaraan tersebut seketika pingsan. Hilanglah sudah buah hati mereka, padahal Birth sebentar lagi akan menikah. Sedangkan Gross dan Elsa sangat menginginkan seorang cucu untuk melanjutkan keturunan. Hari demi hari hidup terasa kosong dan hampa, hanya kesedihan yang mereka alami.

Sudah 2 bulan jasad Birth belum ditemukan, rasa putus asa mulai muncul di hati mereka. Tiba-tiba Gross mendapatkan telpon dari Benzion, “Hai Gross. Aku mendapatkan kabar gembira untukmu.”

“Apa itu? Apakah jasad anakku sudah ditemukan?”

“Tidak, ini bahkan lebih menggembirakan lagi bagimu. Hari ini aku mendapatkan informasi dari agen mossad bahwa anakmu masih hidup.”

“Benarkah. Terima kasih tuhan telah menyelamatkan anakku.” Gross sangat senang sekali mendengar kabar bahwa anaknya masih hidup. Kabar gembira itu segera Gross sampaikan kepada istrinya. Mereka sangat terharu mendengar Birth masih hidup. Dari telepon, Benzion bisa mendengarkan kegembiraan mereka berdua. “Gross!”

“Iya Ben. Terima kasih banyak.”

“Iya sama-sama. Begini aku tidak berniat untuk merusak kebahagiaanmu hari ini, akan tetapi kamu harus tahu bahwa anakmu tidak lagi memeluk agama yahudi. Ia sekarang hidup bersama orang-orang palestina yang lainnya.”

“Maaf Ben, apakah yang disampaikan agenmu itu benar? Tidak mungkin Birth meninggalkan agamanya. Dari kecil aku sudah menanamkan keyahudiannya dalam jiwanya.”

“Entahlah Gross, akan tetapi agen mossad melihat Birth ikut beribadah seperti orang islam yang lain lakukan.” Gross hanya diam, pikirannya langsung menuju perkataan syeikh Maulana sebelum dibunuh. Saya berdoa kepada Allah swt semoga disaat kamu mempunyai keturunan, dialah yang akan menjadi penerus dan pembela agama islam.” Perkataan tersebut kembali menghantui pikiran Gross, wajah gembiranya kemudian berubah penuh penyesalan. Di hatinya bergumam bahwa inilah waktunya do’a syeikh Maulana dikabulkan. Gross mulai berpikir, ia tak mau menyerah begitu saja. Gross inginkan Birth untuk kembali ke rumah dan kembali ke agamanya.

Beberapa surat mulai dikirim Gross kepada Birth, akan tetapi ia selalu merasa kecewa dengan balasan surat dari Birth yang menjelaskan bahwa ia ingin tetap di Palestina dan tetap teguh dengan agama islam. Merasa gagal. Gross pergi menemui Benzion untuk membantunya mendapatkan Birth kembali ke Tel Aviv. Benzion bersedia membantu dengan syarat bahwa segala upaya harus dilakukan dengan caranya. Gross menyetujuinya, mereka pun mulai membuat rencananya.

Benzion meminta Gross untuk membuat surat terakhir kepada Birth bahwa dirinya aman ketika kembali ke Tel Aviv walaupun masih dalam beragama islam. Mereka pun mendapat jawaban positif dari Birth. Setelah itu keesokan harinya Benzion menyuruh beberapa anak buahnya untuk menjemput Birth di perbatasan Israel dan Palestina. Gross dan Elsa begitu bahagia ketika menyambut anaknya pulang, begitu juga dengan Birth yang bahagia berjumpa dengan ayah dan ibunya. Birth mulai merasa heran melihat banyak orang dan tentara di sekitar rumahnya, “Siapa mereka?” tanya Birth kepada ayahnya. Sang ayah hanya tersenyum dan berkata, “Kembalilah kepada agama yahudi, maka kamu akan aman.”

“Tidak! Tidak! Tidak akan! Apa-apaan ini, bukankah saya diberi kebebasan?” Birth pun dipukul dari belakang. Gross dan Elsa iba melihat anaknya yang jatuh pingsan, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti caranya Benzion. Ketika Birth sudah siuman, Benzion mulai melakukan interogasi dan memaksanya untuk kembali ke agama yahudi. Gross dan Elsa hanya menunggu di luar rumah. Setelah satu jam lamanya, terdengar suara ledakan dari rumah. Pasukan HAMAS keluar dari bawah tanah melumpuhkan semua pasukan zionis Israel. Gross dan Elsa segera masuk ke rumah, mereka hanya melihat mayat Benzion dan pasukan lainnya serta ada lubang besar seperti terowongan bawah tanah. Birth sudah pergi bersama pasukan HAMAS. Dari luar rumah terdengar beberapa truk tentara zionis Israel berdatangan, namun mereka telat untuk menyelamatkan jendral mereka. sebuah roket bertulisan al-Qassam baru saja meledakkan sebuah truk tentara. Gross dan Elsa keluar melihat kejadian. Terlihat dari langit beberapa roket HAMAS sedang menuju ke arah kota Tel Aviv. Para tentara zionis mulai kocar-kacir. Mengingat perkataan rahib Arnon tentang pohon gorgot, Gross dan Elsa segera berlindung di dalam pohon gorgot yang paling besar. Dari dalam pohon mereka melihat pemandangan neraka dimana-mana termasuk rumah mereka baru saja dihujam oleh roket. Mereka mulai kehilangan harapan, stress, dan penuh dengan putus asa. Mereka mulai berfikir untuk bunuh diri sebagai yahudi dari pada mati dengan roketnya orang-orang muslim. Sebuah tali tergantung di batang pohon gorgot, Gross dan Elsa mulai memasangnya di leher mereka masing-masing. Keputus asaan sudah menyelimuti jiwa mereka sehingga bunuh dirilah sebagai pilihan hidup, padahal tak satu pun roket yang menyasar ke arah mereka.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Biasa dipanggil Magiril oleh banyak orang. Kelahiran provinsi Riau yang tepatnya di kota Pekanbaru. Orang tua bernama (Alm) Syahrul Ashandra dan Ummu Khadijah. Anak pertama dari 5 bersaudara. Lulusan dari pesantren Al-Ihsan Boarding School Riau, kemudian Alhamdulillah dengan izin Allah swt dapat berkesempatan untuk kuliah di Universitas Al-Azhar, Cairo hingga sekarang. Sekarang masih menempuh strata satu, jurusan Syari'ah Islamiyah.

Lihat Juga

Pemprov Jabar Minta Satu Warga Tanam Satu Pohon

Figure
Organization