Topic
Home / Pemuda / Cerpen / The Journey Pangandaran-Qatar: Noban

The Journey Pangandaran-Qatar: Noban

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

‘’Sombong sekali kamu, Sep!’’ Parman menghardik sambil bersungut-sungut.

‘’Hehehehe….Sombong kenapa, Man? Itu bubur belepotan di cocotmu.’’ Aku mencibir.

Ami termehek-mehek melihat bibir Parman yang belepotan bubur sampe ke dagu.

‘’Sebelum sarapan bubur, mandi dulu dong!’’ Ami sambil menyunggingkan senyum ke Parman.

Amarah Parman menjadi-menjadi. Dia berdiri menghampiri Ridwan dan Ami. Ridwan menatap tajam kawannya itu.

‘’Apa maumu, Man?’’ Intonasiku meninggi.

Mata Parman tak kuat melihat tatapanku yang tajam. Seperti tatapan elang mau menerkam anak ayam. Badannya berbalik ke tukang bubur. Merasa kalah perang psikologis, kompensasi Parman jadi grogi.

‘’Mang, pesen bubur ayam lagi dua mangkok!’’ mulut Parman tambah manyun.

‘’Eh, enak aja maen serobot. Kita duluan yang pesan!’’ Ami sewot.

‘’Biarin aja, Mi!’’ Aku menarik lengan Ami.

Parman melahap habis dua mangkok bubur ayam tadi. Setelah bayar, dia langsung pergi bersama kedua kawannya Suhada dan Wendi dengan hati yang panas. Parman merasa ditampar-tampar wajahnya. Dadanya bergemuruh seperti parade Drum-Band 17 Agustusan. Karena gadis gaetannya jatuh hati ke pangkuanku.

‘’Hahahahaha….Cinta ditolak, makan bubur 3 mangkok. Persis orang kesetanan!’’ Ami cekikikan.

‘’Hush, nggak boleh gitu! Siapa tau Parman menjadi jodohmu kelak.’’ Aku sambil memicingkan matak kananku.

‘’Enak aja….Lebih baik aku ngejomblo seumur hidup daripada harus sama dia!’’ Ami mencibir.

Lamunan bersama Ami di kampus dan Parman yang sewot menghilang dari pikiranku ketika Tornado membelok ke rumah Parman. Di depan rumah joglo itu ditanami sayur-mayur. Sejenis bayam, kacang panjang dan katuk. Ada pagar bambu menjadi pembatasnya. Di belakang rumah Parman rimbun dengan pohon bambu dan pohon nangka. Sesekali terdengar suara kambing mengembik di samping rumahnya.

‘’Assalaamu alaikum. Parman esih pak? (Parman ada Pak?)’’ Aku nanya di balik pintu rumah kawannya itu.

Seorang bapak yang keseharian bekerja sebagai Petugas Penyuluh Lapangan itu (PPL) keluar dengan mengenakan kaos oblong dan memakai kolor. Dengan logat Jawa Banyumasan/Ngapak dia menjawab sambil menyalamiku. Sedikitnya aku terpapar bahasa Jawa Ngapak karena faktor geografisnya di perbatasan Jabar-Jateng. Banyak suku Sunda dan Jawa saling berdampingan dan saling memahami bahasa mereka. Perbauran ini yang menjadikan dialek khas daerah peradaban Sungai Citanduy. Tak ayal kesenian daerah ini menjadi beragam; di samping kesenian khas orang Sunda (wayang golek, kendang pencak, calung, reog) juga kesenian Jawa berkembang pesat semisal; kuda lumping, ketoprak, lais, ronggeng menjadi daya tarik Kabupaten Ciamis yang didirikan Raden Aria Koesoemadiningrat pada tahun 1879 itu.

’Parman ora nana, wis kerja nang Jakarta. Gajine rong juta. (Parman nggak ada, udah kerja di Jakarta. Gajinya dua juta).’’ Pak Karto menjawab dengan bangga.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Masa Kampus: Sebuah Rangkaian Fase

Figure
Organization