Topic
Home / Berita / Opini / Begal, Batu Akik, Politik, dan Aqidah Umat

Begal, Batu Akik, Politik, dan Aqidah Umat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (multiply.com/tisesa)
Ilustrasi (multiply.com/tisesa)

dakwatuna.com – Akhir-akhir ini negeri Muslim terbesar di dunia seolah tak pernah sepi dari ujian dan tantangan. Semua terpampang jelas dan sangat mudah diakses lewat berbagai media; dari media elektronik, media cetak, dan yang tidak kalah perannya sekarang adalah media sosial.

Dimulai dari persoalan politik yang kian tahun kian rumit tak dapat diprediksi. Kawan dan lawan hanya formalitas, semakin rumit mencari kawan sejati. Etika jauh dibenamkan dengan Disraeli Qoutes dalam politik; “We have no permanent friend. We have no permanent enemies. We just have permanent interests” (tidak ada kawan dan lawan abadi, tetapi yang ada adalah kepentingan abadi). Hari ini sekelompok orang bisa makan bersama sambil tertawa, esoknya menjadi begitu dingin menghancurkan sesama. Hari ini bisa cipika cipiki, esoknya sumpah serapah keluar dari lisan tanpa kontrol. Seolah tidak ada ikatan lain seperti agama yang bisa meredamnya. Begitu pula dengan tali Islam sudah bukan zamannya dijadikan perekat antar umat. Perpecahan di tubuh partai politik sesungguhnya pertikaian saudara sesama Muslim, baik di tubuh PPP maupun di tubuh Golkar.

Persoalan ekonomi tak kalah menariknya. Ada kelakar sederhana di akar rumput; pada masa pemerintahan sekarang semua serba naik, kecuali satu yaitu; nilai tukar rupiah. Tidak diduga sebelumnya, jika pemerintahan yang dipuja di seantero negeri, mendekatkan rupiah pada kondisi yang pernah terjadi saat krisis moneter tahun 1998. Segala kebutuhan menjadi sulit bagi warga kebanyakan, termasuk harga beras di negeri lumbung padi yang kian meroket.

Kasus begal yang merajalela menjadi beban besar dalam kehidupan sosial. Keamanan mulai menjadi barang mahal. Ada pekerja yang lebih memilih pulang pagi ketika jam kerjanya selesai tengah malam. Sebagian lain yang seharusnya masuk tengah malam, sudah sejak sore tiba di tempat kerja, karena takut ada pembegalan. Manusia kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Mereka warga bangsa ini yang konon adalah negeri yang ramah, sopan, terkenal dengan budaya adi luhungnya

Fenomena batu akik menyentuh sendi terdalam dari akar bangsa ini. Negeri Muslim ini sedang terkena fitnah besar, kembali ke “zaman batu”. Tawaran penghasilan instan mendorong seluruh potensi usia produktif bangsa ke fokus yang sama. Namun tanpa disadari, fenomena kemusyrikan telah mendapat tempatnya dalam wadah modernisasi dan kapitalisme. Animisme dan Dinamisme yang pernah menjadi pepesan kosong dan punah, kini hidup kembali di tengah perkembangan perangkat teknologi yang dahsyat. Aqidah bangsa ini diganggu oleh batu. Ada apresiasi nilai seni di sana, tetapi tidak sedikit harganya melambung tinggi tidak rasional, karena alasan batu tersebut bertuah.

Tidak mustahil dengan maraknya kasus pembegalan, batu akik yang memberikan kekebalan akan diburu banyak orang agar orang yang memakainya memiliki kekebalan. Ada batu akik penglaris barang, untuk mengatasi lilitan ekonomi yang makin menjadi. Ada batu akik bertuah untuk mendapat jabatan tertinggi dalam politik. Ternyata dunia sosial, ekonomi, dan politik negeri ini terkena imbas batu akik. Iman dan Islam menjadi barang pajangan yang dimuseumkan. Keduanya hanya dipakai pada saat pernikahan dan kematian. Selebihnya dibungkus rapi menjadi pujaan.

Di tengah kegalauan sosial, politik, ekonomi, dan yang lebih besar lagi fenomena fitnah aqidah umat, perlu ada solusi untuk membangun kesadaran umat, merujuk kepada surat Ali Imron ayat 103. Ada 3 hal yang Allah pesankan dalam ayat tersebut. Pertama, berpegang teguh sekuat-kuatnya dengan Alquran dan Hadits; dua pusaka yang menjadi jalan kesuksesan hakiki. Semua perintah di dalamnya adalah kebaikan bagi manusia, dan semua larangan di dalamnya dipastikan merugikan manusia. Kedua, menghindari perpecahan sesama umat. Perbedaan dalam hal-hal yang tidak prinsipil sesungguhnya perbedaan dalam jalur kebenaran. Tidak seharusnya merongrong kesatuan umat demi kepentingan yang sangat sederhana. Kemuliaan Islam jangan sampai tergadai oleh kepentingan hawa nafsu poltik seperti Fir’aun, dan hawa nafsu ekonomi seperti Qarun. Ketiga, hidayah menjadi seorang Muslim adalah nikmat yang tak terbilang, yang harus disyukuri dan dipelihara. Nikmat itulah yang menjadi pembebas manusia dari azab yang pedih dalam Neraka. Semoga bangsa ini akan terus bangkit dengan konsep Robbani yaitu iman dan takwa yang mengundang limpahan karunia dari langit dan bumi.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen STIU Al-Hikmah

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization