Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kisah Ketabahan Nenek Pemungut Sampah Ibu Kota

Kisah Ketabahan Nenek Pemungut Sampah Ibu Kota

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (vivanews.com)
Ilustrasi. (vivanews.com)

dakwatuna.com – Sendiri aku terhening memikirkan akan sang nenek yang tua renta, aku lihat di pinggir jalan ibu kota, seakan hidupnya sedang berada diujung tanduk masa. Bagaimana tidak, dia berjalan dengan nafas yang tersengal-sengal, rambut memutih, kulitnya yang keriput bagai laut yang bergelombang.

Hidup di Jakarta dengan hiruk pikuk suasana kota tak membuat sang nenek itu putus asa. Dengan semangat yang dibilang muda, dia membawa gerobak kecilnya untuk mengail sampah berserakan di pinggir jalan Ibu Kota yang bisa dijual. Dia adalah pemungut sampah jalanan, yang mana setiap sampah yang dia pungut, dia jual demi menyambung hidupnya.

Saya tak tahu betul nenek itu berasal dari mana, namun saat aku ucapkan salam, dia menjawab salamku dengan senyuman serta bertanya aku akan pergi ke mana. Aku tak sempat untuk bertanya akan namanya, karena saya sedang terburu-terburu ke kampus saat itu.

Sesampainya di kampus biru, aku baru sadar bahwa di tas saya ada 2 roti yang saya beli sebelum berangkat di sebuah toko dekat asrama, saya meyesal kenapa tak kuberikan satu untuk dia. Saya merasa kasihan dengan dia, dengan umur yang sangat tua, seharusnya dia beristirahat tanpa harus bekerja sekeras seperti itu. Seketika itu aku berjanji jika suatu hari nanti jika aku bertemu dia lagi akan kuberi dia sesuatu yang aku punya, entah itu makanan atau uang.

Ternyata Allah mengabulkan doaku. Usai kuliaah, dan saat aku berjalan pulang aku melihat nenek itu sedang duduk di bawah tangga halte. Akupun bergegas menemuinya. Aku lihat dia sangat capek. Terlihat keringat yang dia usap dengan bajunya dengan nafas yang tersengal-sengal. Akhirnya kuambil air yang ada ditasku dan kuberikan kepadanya.

Setelah mengobrol lama, aku baru tahu dia bukan asli jakarta. Dia adalah perantau sama seperti saya. Dia tinggal sebatang kara dengan suaminya yang sudah tak berdaya untuk bekerja karena sakit yang dideritanya. Dia bercerita bahwa hasil dari mungutnya ini setiap harinya hanya bisa dia buat untuk membeli makan sekali. Aku tak kuasa menahan air mata mendengar ceritanya, akupun lemas, badanku bergemetar dan terasa kaku semua.

Dia melanjutkan ceritanya. Dulu dia pernah memiliki anak 2, tapi kedua anaknya meninggal dunia karena kecelakaan kerja. Sebelum anaknya meninggal, nenek itu tak bekerja, karena kedua anaknya yang memenuhi kebutuhannya. Tapi semua berubah saat kedua anaknya telah tiada. Nenek terpaksa banting tulang memeras keringatnya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Bahkan dia sempat cerita bahwa dia pernah dalam dua hari tak makan, karena sakit dan tak bisa bekerja. Dia tidak mampu membeli sesuap nasi karena tak punya uang. Dia hanya minum tanpa makan. Air mataku tak henti-hentinya mengalir di sela-sela ceritanya.

Bertambah keherananku saat aku ambil beberapa lembar uang dari sakuku untuk aku berikan kepadanya, tapi nenek itu menolak. Aku tak tahu kenapa, tapi dia bilang uangnya disimpan aja, buat jajan saya. Aku berusaha memaksa nenek itu untuk menerima pemberianku, tapi nenek itu tetap teguh dengan pendiriannya. Akhirnya aku pasrah dan bertanya kenapa dia tak mau menerima pemberianku. Dia menjawab “Anakku, aku masih mampu kok mencari uang, aku tak mau belas kasihan dari orang. Saya malu sama Allah Swt yang telah memberiku kehidupan sampai sekarang, selagi aku mampu berjalan untuk bekerja dan cari uang, aku tak mau menerima belas kasihan. Anakku, kau memberikan uang itu kepadaku karena belas kasihan dan aku tak butuh belas kasian manusia karena aku punya Allah Swt yang maha kaya, dan aku bisa meminta kepada-Nya. Untuk apa nikmat sehat yang diberikan-Nya kalau saya tak mensyukurinya. aku hanya ingin mensyukuri nikmat-Nya saja”.

Aku tak tahu harus berbicara apa, mulutku terbungkam, kakiku seakan terikat tak bisa berjalan. Akhirnya nenek itupun berpamitan kepadaku untuk pergi kemasjid dekat halte, untuk shalat asar, dan akupun semakin terharu dengan nenek itu, dengan keadaan seperti dia masih menjaga sholatnya. Sebelum dia berpisah dia berpesan pada saya. “Anakku, kau masih muda, jadilah anak yang membanggakan orang tua, jangan lupa kau doakan mereka, dan jangan sampai kau meninggalkan ibadahmu selamanya”. Akupun menyempatkan diri untuk mencium tangannya. Akhirnya kami berpisah dan sampai sekarang aku tak bertemu lagi dengannya.

Sungguh pertemuan sore itu membuat diriku sadar, bahwa selagi ada Allah di hati kita maka janganlah kau takut kepada dunia, karena dunia adalah ciptaan-Nya, Dia Maha Kaya, Dialah pengatur rezeki hamba-Nya. Aku hanya bisa mendoakan nenek itu disela-sela shalatku, semoga nenek itu selalu dijaga dan dilindungi oleh Allah Swt.

 

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Nama Saiful Bahri, lahir di tanah Jawa tepatnya di Kota Tuban Jawa Timur, pendidikan pesantren mulai dari MTs-MA, sekarang sedang menempuh study di Lembaga Islam dan Bahasa Arab atau lebih dikenal LIPIA Jakarta tingkat syari�ah semester 2. Tinggal sementara di dekat pasar minggu Jakarta Selatan.

Lihat Juga

Rumah Zakat Pelopori Bank Sampah di Tegal

Figure
Organization