Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / ADK, Yuk Move On!

ADK, Yuk Move On!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Ketika kita ‘melabeli’ diri kita dengan sebutan Aktivis Dakwah Kampus (ADK) disematkan dalam diri kita, tentu banyak pasangan mata akan menyoroti setiap pergerakan kita baik di dalam maupun di luar kampus. Tetapi, saya tidak akan membahas pandangan orang lain (baca : bukan ADK) terhadap kinerja ADK. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas hasil pengamatan saya sebagai sesama ADK.

Aktivis Dakwah Kampus (ADK), secara struktural dan sistematis memiliki wadah pergerakannya masing-masing. Wadah (wajihah) tersebut biasanya dijadikan penanda mesin pergerakan dan ideologi para ADK. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Lembaga Dakwah (LD), dan organisasi-organisasi bidang keilmuan yang ada di kampus baik di tingkat fakultas maupun universitas; merupakan wadah penting yang harus ditiupkan napas-napas dakwah. Beberapa wadah tersebut adalah organisasi-organisasi yang mencakup ranah siyasi, ‘ilmiy, dan tentunya ranah dakwi. Namun, ADK dalam pergerakannya membawa misi-misi dakwah tidak selalu berjalan mulus. Seringkali mereka menemui masalah-masalah yang dapat menjegal pergerakan dakwahnya. Masalah atau kendala yang biasa ditemui dalam pergerakan dakwah diataranya :

Pertama, budaya “One Man Show”.

Budaya “One Man Show” melekat pada setiap wajihah yang ada. Hal ini ditandai dengan adanya satu individu saja yang dominan dalam kegiatan atau rapat rutin yang ada di departemen, divisi, dan/atau dinas yang ada di wajihahnya masing-masing. Pada waktu acara si fulan yang dominan, pada waktu rapat (syuro’) si fulan lagi yang dominan. Ketua pelaksana si fulan juga, pimpinan rapat si fulan lagi. Jika dibiarkan terus-menerus hal ini dapat menyebabkan mengeroposnya sistem pengkaderan. Sehingga, seolah-olah yang ada di wajihah tersebut hanya ada si fulan saja. Budaya “Super Team” yang selama ini dibangun bisa berubah menjadi budaya “Super Man”. Mari kita mengingat kembali bahwa islam ini kokoh karena budaya ramai-ramainya (jamaah).

Kedua, pudarnya ketsiqohan jundiyah terhadap qiyadah.

Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khattab radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Tiada Islam tanpa jamaah. Tiada jamaah tanpa qiyadah. Tiada qiyadah tanpa ketaatan”. Perkataan tersebut tersebut menandakan pentingnya ketsiqohan anggota terhadap pemimpin. Jika sudah terasa gejala-gejala pudarnya ketsiqohan kita terhadap qiyadah, maka hal yang pertama harus kita lakukan adalah mengingat dan meluruskan niat, bahwasanya niat kita adalah lillahita’ala. Niat kita adalah mencari ridha dan mengharapkan rahmat-Nya dengan wasilah atau jalan melalui pergerakan dakwah kampus. Cukuplah perang uhud sebagai cerminan betapa pentingnya ketsiqohan itu. Misi dakwah yang terkalahkan oleh tergiurnya dengan ghonimah. Mari kita tata dan bersihkan kembali hati kita dari perkara “ghonimah-ghonimah” yang dapat membengkokkan tujuan dan misi dakwah ini.

Ketiga, munculnya paradigma “yang penting jalan” dalam menampilkan dakwah.

Dalam menjalankan agenda-agenda dakwah, seringkali terdapat oknum-oknum yang mengerucutkan definisi dakwah itu sendiri. Sangat disayangkan jika agenda-agenda dakwah yang telah dirancang sedemikian rupa tetapi ditampilkan secara parsial. Para kader dakwah dituntut militansinya dalam menampilkan dakwah, karena menampilkan dakwah secara profesional akan lebih besar pengaruhnya dibandingkan menampilkan dakwah dengan prinsip “yang penting jalan”. Memperlihatkan dakwah secara profesional, energic, dan kuat itu sangatlah penting.

Dalam ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu ibadah yang suci yaitu thawaf di ka’bah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing para sahabat untuk menutupkan kain ihromnya ke pundak kiri dan pundak kanan tidak boleh ditutup pada saat mengelilingi ka’bah dalam umroh (satu tahun setelah perjuangan hudaibiyah) terutama ketika melewati ka’bah dari rukun yamani sampai hajar aswad agar terlihat ummat muslim itu gagah dan kuat (pada saat itu musyrikin ‘ubaish menonton kaum muslim dari jabal ’ubaish), bahkan diperintahkan mengubah jalan para sahabat menjadi setengah lari supaya terlihat seperti pasukan yang siap siaga. Begitupun kita, seharusnya dalam perjuangan dalam berdakwah ini jangan “yang penting jalan” karena sesungguhnya Allah menilai proses kita. Sudah semestinya kita tampil energic, tampil totalitas kita, dan tampil kekuatan kita dalam mensyiarkan agama Allah.

Keempat, minimnya kualitas kader.

Sekarang ini, untuk mendapatkan gelar ADK itu sangatlah mudah. Orang yang berkecimpung dalam ranah siyasi, ilmiy atau dakwi, rajin shalat di masjid lima waktu dan berprilaku baik, bertudung labuh dan sering terlihat dalam kegiatan mentoring sudah bisa dikatakan ADK. Dari sana kita melihat minimnya standar alim di lingkungan kita. Padahal hal semacam itu adalah kewajiban seorang muslim. Sejatinya manusia memang tidak ada yang sempurna. Kita juga tidak bisa menunggu sempurna baru mulai bergerak untuk berdakwah. Karena dakwah bukan karena kita yang terbaik tapi bagaimana caranya kita menggiring umat untuk sama-sama berproses menjadi baik. Namun, sudah sepantasnya bahwa ADK harus memiliki kapasitas yang lebih dari masyarakat kebanyakan, baik dari segi pengetahuan maupun kualitas dan kuantitas ibadah. Tapi apabila kita tinjau menggunakan lembar mutaba’ah yaumiyah, maka akan terlihat minimnya kuantitas dan kualitas ibadah ADK tersebut.

Selanjutnya, ujub.

Permasalahan ADK semakin kompleks dengan munculnya oknum-oknum yang kemudian memisahkan diri dari kelompok masyarakat ammah dan menatap aneh kepada mereka yang tidak berpenampilan dan berperilaku seperti dirinya. Padahal dakwah yang sebenarnya adalah apabila kita mampu membawa mereka yang ammah itu untuk kenal dan paham dengan syariat-syariat Islam untuk kemudian secara besama-sama dapat menjalani kehidupan Islam secara kaffah, bukan meninggalkannya dengan mencelanya. Karena hakikatnya kita adalah sama dengan mereka, hanya saja Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan kita lebih dahulu. Sesungguhnya ilmu itu bukan seberapa banyaknya hafalan kita, bukan seberapa maksimalnya kualitas dan kuatitas ibadah kita, tapi ilmu itu adalah yang mampu menimbulkan rasa takut di hati kita terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.

Permasalahan-permasa­lah diatas adalah permasalahan yang harus kita tumpas bersama dalam rangka sampainya syiar-syiar Islam yang diridhoi ini. Mari kembali meluruskan niat dan merapatkan barisan. Eksistensi ADK harus mampu membawa atmosfer baik dilingkungannya.

Wallahu’alam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ketua Umum Lembaga Dakwah Barokah FKIP Unsri.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization