Topic
Home / Narasi Islam / Sejarah / Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Guru Berjiwa Sastra dan Tegar Pendirian

Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Guru Berjiwa Sastra dan Tegar Pendirian

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Buya Hamka. (wikipedia)
Buya Hamka. (wikipedia)

dakwatuna.com – Siapa yang tidak kenal dengan buya Hamka! Yah, nama familiar yang sudah melekat di hati rakyat Indonesia terutama masyarakat Minang Kabau. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Seorang tokoh nasional yang bersinar berasal dari ranah Minang tepatnya daerah Maninjau. Beliau di samping sebagai seorang ulama besar dan pernah menjadi ketua MUI pada era orde baru, dia juga dikenal sebagai seorang sastrawan, guru, aktivis Muhammadiyah dan seorang politikus tangguh. Perjalanan hidup buya (begitulah panggilannya) yang panjang memberikan banyak pelajaran dan ibrah bagi kita yang hidup saat ini dan generasi berikutnya. Makanya dalam rangka mengenang hari kelahiran yang ke 107 buya Hamka, perlu kiranya kita menelusuri jejak perjuangannya dalam rangka menghormati dan menghargai perjuangannya yang penuh warna.

Kelahiran Buya Hamka

Buya Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim bin Amrullah yang dikenal sebagai Haji Rasul. Beliau merupakan pelopor gerakan islah (pembaharuan) di ranah Minang. Berbagai usaha dakwah dan pendidikan dilakukan oleh Haji Rasul dalam memurnikan aqidah umat. Berbagai rintangan dan tantangan dihadapi Haji Rasul dalam berdakwah dan mengingatkan umat. Dengan tekad kuat dan semangat yang membara perjuangannya menghasilkan buah manis yang membahagiakan. Harapan besar dalam melanjutkan perjuangannya sangat diharapkan pada anaknya, buya Hamka yang memang sudah dipersiapkan sejak usia dini.

Ayahnya Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau haji rasul, dari keluarga seorang ulama terkenal dan seorang pelapor gerakan pembaruan/modernis dalam gerakan islah (tajdid) di Minangkabau. Ayah Hamka terlahir pada tanggal 17 Safar 1296 H / 10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau. Lunak Agama Sumatra Barat dan Beliau wafat pada tanggal 21 Juni 1945.[2]

Sedangkan ibunya bernama Siti Safiyah, istri pertama Syekh Abdul Karim di desa kampung Molek, sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Ibunya dari keluarga bangsawan. Satu kesukaan Hamka ialah mengembara mengunjungi perguruan pencak Silat, mendengar senandung dan kaba yaitu kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan saluang (alat tiup khas minang) kegemaran lainnya adalah menonton film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahnya yang merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton melalui inspirasi untuk menulis.[3]

Sejak muda Hamka dikenal sebagai seorang pengelana bahkan ayahnya memberi gelar Si Buyung jauh. Pada usia 15 tahun beliau berangkat ke Jawa. Ketika ia berada di Yogyakarta beliau tertarik untuk menimba ilmu tentang gerakan sosial politik, khususnya gerakan Islam modern, ia mulai kursus-kursus. Ceramah seperti : H.D.S Tjokroaminoto, Suryo Pranoto dan disinilah ia menentukan pendirian hidupnya. Setelah itu ia pindah ke Pekalongan dan belajar pada A.R Sutan Mansyur serta mulai untuk memperlebar komunikasi.

Istri Buya Hamka ialah Siti Raham Binti Endah Sutan yang pada saat itu berusia 15 tahun, beliau menikah pada tanggal 5 April 1929 yang sebelumnya telah dipertunangkan oleh kedua orang tua mereka. Dari pernikahan itu beliau dikaruniai 7 orang anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Tahun 1972 istri beliau meninggal, setahun berselang beliau menikah lagi dengan Hajjah Siti Khadijah dari Cirebon.

Pada tanggal 24 juli 1981 beliau wafat tepatnya di RS Pertamina Jakarta beliau meninggal pada usia 73 tahun.[6]

Pendidikan Buya Hamka

Semasa kecil, Hamka hanya mendapat pendidikan rendah di Sekolah Rendah Maninjau. Ketika beliau berumur 10 tahun, ayahnya membuka Thawalib di Padang Panjang, Hamka kemudian belajar dan menguasai bahasa Arab di sekolah tersebut. Beliau juga menjadikan Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Yah cendekiawan Muslim tersohor di negeri ini sebagai mentornya (guru pribadinya). Hal ini berarti bahwa Buya Hamka belajar dari satu ulama ke ulama lainnya dalam mempelajari banyak ilmu terutama ilmu Islam

Di samping itu Buya Hamka belajar secara otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya dan kemampuan penguasaan bahasa asing lainnya, beliau dapat mendalami karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal serta mempelajari dan meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Wah luar biasa, itulah yang menyebabkan wawasan keilmuaannya begitu luas dan mendalam. Kemudian buya Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal. Dengan demikian pergaulan dan persahabatannya sangat luas yang menjadikan dirinya sebagai seorang tokoh yang disegani.

Buya Hamka Menjadi Guru

Buya Hamka pernah menetap dan menjadi guru agama di Tebing Tinggi dan Padang Panjang, kemudian beliau juga menjadi dosen di Universiti Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah,Rektor Perguruan Tinggi Jakarta dan Pengawai Tinggi Agama Indonesia. Disamping itu, beliau juga aktif menyampaikan dakwah melalui media massa (televisi dan radio) bahkan beliau menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang sangat terkenal pada waktu itu, sebagai sarana menyampaikan dakwah Islam dan kritik sosial.

Sebagai guru atau dosen, Hamka juga aktif dan produktif dalam menulis, banyak karya dan bukunya yang merupakan buah pikiran yang cemerlang menghiasi dunia penulisan di negeri ini, salah satu karya fenomenal yang sangat terkenal sampai hari ini adalah Tafsir Al Quran ‘ Al Azhar 30 juz (5 jilid) yang dikarangnya, justru ketika beliau berada di dalam penjara. Ternyata penjara baginya, tidak membelenggu hati dan pikiran buya namun merupakan saat-saat yang indah untuk mendapatkan inspirasi yang luar biasa.

Kiprah Buya Hamka dalam Dunia Sastra

Buya Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif atau sastra indah seperti novel dan cerpen. Di antara Karya ilmiahnya adalah Falsafah Ideologi Islam 1950, Keadilan Sosial dalam Islam 1950 dan Tasauf Modren. Sedangkan di bidang sastra, beliau banyak menulis novel yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Indonesia bahkan sampai kenegeri jiran Malaysia, Brunai dan Singapura. Sebut saja, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli bahkan sebagian novelnya telah diangkat ke layar perak dan mendapat apresiasi yang dahsyat dari masyarakat.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946

Fitnah Menghampiri Hidup Buya Hamka

           Kehidupan Buya tidak sepi dari penderitaan dan kepahitan. Salah satu pragmen kehidupan pahit dirasakan beliau adalah ketika fitnah menghampiri hidupnya. Peristiwa itu terjadi ketika masa Demokrasi terpimpin yang berlangsung 1959-1965. Masa ini merupakan periode sangat kacau sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia. Pasalnya, Presiden Soekarno membubarkan Majlis Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat yang telah dipilih secara demokratis, jujur dan damai. Sebagai pengantinya diangkatlah anggota Majlis dan Dewan ini oleh presiden tanpa melalui pemilu. Di saat yang sama kekuatan oposisi dibungkam dan partainya di bubarkan seperti Masyumi dan PSI. Media (koran dan majalah) yang tidak sehaluan dan kritis pada pemerintah diberengus seperti Indonesia Raya, Abadi dan Pedoman. Sementara PKI mendapat tempat di sisi pemerintahan dan berusaha mempengaruhi Soekarno dengan gagasan komunisnya.Surat kabar terpenting pro-PKI yang melancarkan misinya dalam membentuk opini masyarakat adalah Harian Rakjat, Bintang Timur dan Warta Bhakti

Melalui surat kabar Bintang Timur dengan tajuk Lentera di bawah asuhan novelis Pramoedya Ananta Toer, melakukan serangan gencar dan pembentukan oponi jahat terhadap para seniman atau sastrawan yang bersemberangan dengan PKI. Makanya buya Hamka, H.B Jasin, St Takdir Alisjahbana dan sastrawan lainnya yang berjiwa Islami menjadi sasaran berita bohong dari koran tersebut. Apalagi buya Hamka termasuk tokoh besar Muhammadiyah dan Masyumi yang sangat menentang komunis. Maka dituduhlah buya Hamka terlibat dalam sebuah komplotan yang berencana untuk membunuh Presiden Soekarno dan Menteri Agama Syaifuddin Zuhri. Sebuah tuduhan yang tidak masuk akal dan tidak ada bukti dari tuduhan tersebut. Namun demikian Buya Hamka tetap ditangkap tanpa proses pengadilan. Buya Hamka tak berdaya menghadapi tangan besi penguasa, dirinya sabar menghadapi fitnah dahsyat ini. Buya menyadari bahwa penjara bukanlah tempat hina bagi seseorang, apalagi dirinya tidak melakukan perbuatan melawan hukum negara dan agama. Tentu ada hikmah di balik peristiwa tersebut dan buya sangat memahami hakikat semua ini.

Namun yang sangat membuat hatinya pilu adalah mengenang nasib istri dan sepuluh orang anaknya yang memang sangat membutuhkan biaya besar. Selama ini pendapatan keluarga besar ini berasal dari royalti buku-buku Buya yang sedang booming pada waktu itu, di samping Buya juga menerima honor dari tulisannnya di majalah, ceramah di radio dan televisi dan kegiatan seminar lainnya. Sementara sebelumnya, buya sudah menyatakan mundur dari pegawai Kementerian Agama karena ingin konsentransi membinan umat. Praktis penghasilan hidup keluarga buya berasal dari royalti dan honor dari usahanya tersebut. Yang sangat membuat buya Hamka bersedih, ketika berita yang beredar sampai ketelinganya, pemuda PKI menyita buku-bukunya yang ada di toko-toko seluruh Indonesia padahal semua ini merupakan sumber pendapatan yang dapat diharapkan. Masih beruntung, buku-bukunya yang beredar di Sumbar aman dan laris manis di pasaran bahkan dicetak ulang beberapa kali seperti, Tenggelamnya Kapal Van der Wicjk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli dan lain-lain. Dari hasil royalti inilah dapat memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak buya.

Selama dalam penjara, Buya Hamka memanfaatkan waktunya lebih banyak lagi untuk beribadah pada Sang Kuasa. Buya merasakan suasana yang berbeda dalam bermunajat pada Allah yang selama ini tidak dirasakannya di luar penjara. Suasa hening dan tidak banyak aktivitas membuat Buya Hamka lebih khusu’ dalam menyapa Allah melalui shalat, zikir dan doa. Buya tidak menyesal dengan nasib ini karena banyak ulama-ulama dunia yang istiqamah selama ini juga pernah masuk penjara. Sebut saja, Imam Malik dan Ibnu Taimiyah juga diceploskan ke dalam penjara karena dakwah dan perjuangannya. Belajar dari situlah buya Hamka mengambil hikmah dan memanfaatkan waktunya untuk juga menulis. Luar biasa, selama buya mendekam dalam penjara 2 tahun 4 bulan, Buya berhasil menyelesaikan penulisan buku monumental “ Kitab Tafsir Al Azhar “, yang merupakan karya gemilang Buya Hamka, tafsir Al Quran 30 jus itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya Hamka semasa hidupnya. Buya Hamka baru dibebaskan setelah terjadi peristiwa G 30 S PKI yang berakhir dengan terjungkalnya presiden Soekarno dan majunya Soeharto menjadi presiden baru.

Perginya Istri Buya untuk Selama-lamanya

Buya Hamka sangat menyayangi istrinya, karena dia adalah belahan hati, teman seperjuangan dan tempat berbagi ketika suka duka dalam hidupnya. Apalagi dari rahim wanita yang dicintai ini lahir 12 orang anak yang membuat hidupnya lebih hidup. Sebuah karunia yang luar biasa yang sangat membahagiakan hatinya. Di tengah kesibukannya membina umat, peran seorang ibu sangat terasa dalam membentuk dan membina anak-anaknya. Hal ini telah dilakukan istrinya dengan baik dan sempurna hingga anak-anak tumbuh dan berkembang dalam suasana Islami dan pendidikan yang berarti

Beberapa tahun belakangan ini, istrinya mengalami penyakit diabetes. Akibatnya, kadar gula darahnya terus meningkat. Dampaknya, penyakit lain seperti asam urat, jantung kemudian menjalar ke ginjal di rasakan istrinya. Buya Hamka membawa istrinya berobat ke rumah praktik dr. Karnen Bratawidjaya spesialis jantung yang tidak jauh dari rumahnya. Suatu hari karena sesak napas, istrinya dilarikan ke rumah sakit Cipto dan dirawat di Paviliun Cendrawasih. Buya mendampingi istrinya dan selalu menyemangatinya. Buya berharap agar istrinya dapat sehat dan kembali ke rumahnya. Karena memang anaknya banyak, maka buya membagi tugas anak-anaknya menjaga umminya. Malam hari buya pulang ke rumah agar dapat juga isirahat apalagi kesehatannya sudah mulai juga menurun. Paginya sudah berada lagi di rumah sakit menemui istrinya yang masih dipasangi alat bantu pernapasan dan infusan.

Kesehatan istrinya semakin menurun dan buya hanya dapat mendoakan dengan khusyu’ untuk kesembuhan istrinya. Nyawa dalam gengaman Allah swt dan umur manusia telah ditentukan dengan cermat. Maka tepat tanggal 1 Januari 1971, istri tercinta kembali ke Khaliknya dengan tenang dan diridhai. Buya Hamka dan anak-anaknya merasa kehilangan sangat. Istri yang selama ini mengisi hari-harinya dalam suka dan duka pergi untuk selama-lamanya. Buya Hamka menangis dan mengucurkan air mata tanda cintanya pada istri yang selama 42 tahun bersamanya. Istrinya meninggal dalam usia 56 Tahun dan dikebumikan keesokan harinya di TPU Blok P. Kebayoran.

Amanah Menjadi Ketua MUI

Di samping peran di atas, Hamka juga diamanahkan sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 1975-1985. Sebagai ketua MUI, beliau berusaha melaksanakan tugas berat ini dengan baik dan konsisten dalam membimbing dan menuntun umat. Hamka menyadari bahwa dalam menyampaikan kebenaran akan menghadapi berbagai tantangan dan rintangan termasuk dari penguasa orde baru pada waktu. Fatwa MUI yang penting lahir pada masanya adalah “ Fatwa Haram Natal Bersama “ dalam menyelamatkan aqidah umat. Dengan adanya fatwa ini, penguasa tidak setuju dan merasa terngangu serta meminta fatwa ini dicabut lagi namun Hamka tidak bergeming sekalipun mendapat ancaman dari penguasa. Akhirnya, beliau rela melepaskan jabatannya sebagai ketua MUI karena ketegasan dan ketegaran prinsip dirinya.

Akhir Hayat Buya Hamka

Hamka berpulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sampai hari ini. Pikiran, gagasan, kebijakan dan jasanya tetap diwariskan oleh generasi berikutnya. Majalah dan bukunya (jumlah ratusan judul ) menjadi inspirasi dan literatur bagi ulama dan juga guru yang tersebar di persada ini, Terima kasih semoga amal jasamu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Batusangkar tanggal 28 September 1967. SD sampai SMA di Batusangkar dan menamatkan S1 pada Fakultas Tarbiyah IAIN �Imam Bonjol� Batusangkar. Tamat April 1993 dan kemudian mengajar di MTSN Batusangkar sebagai tenaga honorer. Tahun 1992-2005 aktif mengelola kegiatan Pendidikan dan Dakwah Islam di bawah naungan Yayasan Pendidikan Dakwah Islam Wihdatul Ummah. Tahun 1995 bersama aktivis dakwah lainnya, mendirikan TK Qurrata A�yun , tahun 2005 mendirikan SDIT dan PAUD. Semenjak tahun 1998 diangkat sebagai guru PNS dan mengajar di SMAN 2 Batusangkar sampai sekarang. Tahun 2012 mendirikan LSM Anak Nagari Cendekia yang bergerak di bidang dakwah sekolah dan pelajar diamanahkan sebagai ketua LSM. Di samping itu sebagai distributor buku Islami dengan nama usaha � Baitul Ilmi�. Sejak pertengahan Desember 2012 penulis berkecimpung dalam dunia penulisan dan dua buku sudah diterbitkan oleh Hakim Publishing Bandung dengan judul: "Daya Pikat Guru: Menjadi Guru yang Dicinta Sepanjang Masa� dan �Belajar itu Asyik lho! Agar Belajar Selezat Coklat�. Kini tengah menyelesaikan buku ketiga �Guru Sang Idola: Guru Idola dari Masa ke Masa�. Di samping itu penulis juga menulis artikel yang telah dimuat oleh Koran lokal seperti Padang Ekspress, Koran Singgalang dan Haluan. Nama istri: Riswati guru SDIT Qurrata A�yun Batusangkar. Anak 1 putra dan 2 putri, yang pertama Muthi�ah Qurrata Aini (kelas 2 SMPIT Insan Cendekia Payakumbuh), kedua Ridwan Zuhdi Ramadhan (kelas V SDIT ) dan Aisyah Luthfiah Izzati (kelas IV SDIT). Alamat rumah Luak Sarunai Malana Batusangkar Sumbar.

Lihat Juga

Karya Kreator Muslim Perlu Miliki Dua Kriteria Ini

Figure
Organization