Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Membangun Kader Dakwah Militan

Membangun Kader Dakwah Militan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Siluet Pejuang 2dakwatuna.com – Mari sejenak kita berpikir. Keluar dari rutinitas pikiran yang begitu mengambil alih banyak waktu dan tenaga kita. Mari bersama kita renungkan. Di era yang serba modern ini, dengan segala kemajuan teknologi yang ada, jarak bukanlah alasan untuk memisahkan. Adanya jaringan telekomunikasi dengan berbagai fiturnya, mulai dari yang hanya bisa melakukan panggilan sampai dengan video call, membuat ribuan kilometer terasa hanya beberapa meter saja, bahkan lebih dekat lagi. Tidak hanya kemajuan di bidang komunikasi saja, namun kemajuan di bidang transportasi juga turut andil dalam “mendekatkan” jarak dan meminimalisir waktu tempuh yang ada. Aneh rasanya jika ada orang sehat wal ‘afiat dengan segala kelonggaran waktu yang ada lebih memilih berdiam diri di tempat tinggalnya, beralasan bahwa jarak yang jauh dan waktu tempuh yang lama menjadi batasan dia untuk beranjak dari kamarnya.

Mari kita pikirkan sejenak. Begitu mudahnya kita dalam berdakwah. Segala fasilitas sudah tersedia apalagi bagi mereka tinggal di kota-kota besar. Fasilitas yang ada sangat mendukung, mulai dari internet yang kehadirannya mewarnai tiap sudut kota, transportasi dengan jalan yang layak, perangkat ­mobile yang selalu siap ada di saku celana atau tas kita, dan lain sebagainya. Hidup yang begitu lengkap, mudah, dan nyaman. Ya sangat lengkap, mudah, dan nyaman jika dibanding dengan mereka yang melakukan aktivitas di daerah yang terpencil. Bahkan mungkin tak terpencil lagi, orang kota tahu saja pun mungkin tidak. Bayangkan mereka yang harus jalan naik turun bukit, berbasah-basahan, menyusuri belantara hutan berpacu dengan waktu agar tak terdahului sang senja, hanya untuk mengajarkan anak-anak pedalaman membaca AlQuran. Dan tidak hanya itu saja, target dakwah yang kita orang kota tuju jauh lebih mudah daripada mereka yang ada di pedalaman.

Mengapa lebih mudah? Karena orang kota mayoritas sudah berpendidikan, minimal mampu mengerti bahasa Indonesia. Dan apakah hal tersebut juga terjadi di pedalaman? Mungkin ya tapi probabilitasnya sangat kecil. Bahkan di beberapa lokasi di Indonesia sangat timur sana, bahasa yang digunakan masih bahasa tradisional setempat dan sulit berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Tak hanya kendala bahasa saja, kalau hanya kendala bahasa mungkin bisa meminjam jasa penerjemah, kita tahu dan orang sana juga tahu. Semua sama-sama tahu. Namun bagaimana jika kader tersebut harus berdakwah dengan suku pedalaman yang masih kental atmosfer animisme dan dinamismenya. Bangsa ini masih begitu banyak menyimpan potensi objek dakwah, namun hanya sedikit dari mereka yang mampu dan mau mendatanginya.

Dalam bukunya, Quantum Tarbiyah, Solikhin Abu Izzudin menceritakan bahwa di Aceh sana ada seorang wanita yang sedang hamil rela berjauh-jauh hingga menempuh jarak kurang lebih 80 km hanya untuk mengisi ta’lim. Atau ada lagi kisah ustadz Irfan yang beliau lebih memilih untuk mengabdikan dirinya terjun ke lapangan, mengurusi tujuh kecamatan yang lokasi satu sama lainnya berjauhan. Hingga akhirnya ia syahid di perjalanan. Dan masih banyak kisah lagi dan itu semua hanya secuil kisah dari penjuru negeri ini. Masih ada lagi kader-kader yang begitu ikhlas mau mengabdikan dirinya untuk terjun ke masyarakat di berbagai penjuru negeri ini hanya untuk menyampaikan satu dua ayat kebaikan.

Ke depannya memang perlu dipikirkan bagaimana agar kader-kader yang berada di wilayah terpencil ini bisa terbantu dan dimudahkan dalam berdakwah. Dari beberapa sumber yang ada, yang melakukan dakwah ke masyarakat di pelosok-pelosok tidak hanya orang Muslim tapi juga non-Muslim pun melakukannya. Yang ironi adalah para “pendakwah” non-Muslim itu bergerak bersama dan terorganisir sedangkan masih kurangnya keberjamaahan yang dilakukan oleh kader dakwah Muslim menyebabkan penyebaran Islam di daerah tujuan sulit berkembang. Bukan karena ajarannya yang sulit, namun kalah secara strategi.

Allah menyediakan ganjaran besar dan derajat yang tinggi bagi mereka yang senantiasa sabar dalam menjalani ujian yang diberikan. Jika yang diberikan hanya ujian dengan taraf yang biasa saja, maka lulus dari ujian itupun menjadi hal yang biasa pula. Tak terlihat ada hal yang luar biasa. Di situlah letak nilai yang perlu ditekankan, letak hikmah yang perlu digarisbawahi bahwasanya seorang kader dakwah harus senantiasa bersungguh-sungguh dalam menjalani dakwah ini. Perlu adanya pengorbanan dan kerja keras disertai kesungguhan hati. Perjuangan dakwah ini bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kemauan lemah, karena jalan dakwah ini begitu berat dan penuh pengorbanan.

Dakwah akan tumbuh berkembang di tangan orang yang memiliki daya juang yang tinggi, atau dengan kata lain di tangan mereka yang memiliki jiwa militansi. Jiwa yang selalu menggelorakan semangat juang tinggi yang tak pernah sira dan pudar. Ajaran yang meraka ajarkan tetap hidup dan menghidupi, walaupun raga yang menyampaikan sudah tak lagi ada di dunia ini. Ajaran mereka akan selalu ada. Buat apa punya usia panjang dan hidup lama namun tak ada hal berarti yang disampaikan.

Tak ada yang suka dengan yang namanya kemiskinan. Dan di antara berbagai jenis kemiskinan yang ada, jenis kemiskinan yang paling parah adalah kemiskinan akan tekad. Kemiskinan akan tekad atau azam ini lebih mematikan daripada miskin akan harta. Karena harta bisa dicari dengan tekad kuat sebagai bahan bakarnya. Namun jika manusia kehilangan tekad maka harta pun ikut melayang. Hal ini memiliki korelasi dengan tekad dalam berdakwah. Dakwah adalah jalan yang sulit dan perjuangan akan selalu ada di setiap langkahnya. Tidak mungkin orang akan keluar dari “kegelapan” jika tidak ada tekad untuk meneranginya. Kita adalah pembawa lentera yang bertugas menyampaikan cahaya dari lentera yang kita bawa itu. Kegelapan akan tetap selamanya menjadi kegelapan jika tekad untuk meneranginya lemah. Perlu azam yang kuat untuk melangkahkan kaki kita merobek kegelapan.

Berkorban di jalan Allah adalah mengembalikan sesuatu ke tempat asalnya, tempat yang seharusnya ia berasal. Tujuan pengembaliannya tak lain dan tak bukan adalah Allah semata. Misalnya saja kita menginfakkan harta kita. Maka sejatinya kita sedang mengembalikan harta yang Allah titipkan ke kita. Sama hal nya dengan waktu dan tenaga yang kita miliki. Segala ilmu, waktu, dan tenaga yang kita miliki semuanya milik Allah dan kita wajib mengembalikannya. Dan cara paling tepat untuk melakukannya adalah dengan mendakwahkannya. Menyampaikan kebenaran agar kebenaran itu diketahui orang banyak dan diaplikasikan dalam kehidupan. Semoga Allah memudahkan langkah kita untuk menjadi penyampai kebenaran, pembawa lentera yang siap berjuang menyinari mereka yang masih dalam kegelapan.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
- Ketua Sentra Kerohanian Islam Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM - Peserta Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS) Nurul Fikri 2014-2016

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization