Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Balada Finger Print

Balada Finger Print

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Januarita Sasni)
Ilustrasi. (Januarita Sasni)

dakwatuna.com – Finger print merupakan alat absensi digital yang mulai dipakai di sekolah penempatanku sejak pertengahan bulan Januari lalu. Seiring dengan kedatanganku ke sekolah ini sebagai relawan pendidikan yang ditugaskan oleh Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Tugasku di sini mengajar di MI serta melakukan program pemberdayaan masyarakat berbasis pendidikan (PPMBS). Di samping itu aku juga mengajar anak-anak mengaji selepas sekolah serta menjadi pengajar juga di MTs yang kebetulan satu atap dengan MI.

Baiklah kembali ke awal, pembahasan tentang finger print di sekolahku. Alat ini melayani absensi dengan sidik jari, setiap guru harus melakukan scan dua kali sehari. Sesuai dengan jam kedatangan serta jam pulang dari sekolah. Bagus bukan, absensinya akurat karena tidak bisa diwakili serta tidak bisa negosiasi waktu.

Alat ini begitu “jujur”, namun terkadang kejujurannya tidak begitu membantu kedisiplinan yang seharusnya. Tiga hari pertama di awal kedatanganku finger print harus moving dari sekolah ke rumah salah seorang guru yang letaknya berbeda kampung serta beda kecamatan dengan sekolahku. Tepatnya di rumah yang aku tempati saat ini, tujuannya karena scan sidik jari untuk jam pulang harus jam 2 siang, sementara sekolah selesai sesaat sebelum adzan dzuhur. Jadilah para guru mencari akal agar bisa tercatat sesuai waktu yang seharusnya. Memang pilihan ini membantu sebagian besar guru yang rumahnya masih di sekitar rumah guru tersebut, sementara bagi guru yang tempat tinggalnya dekat sekolah semua ini cukup membuat beliau kerepotan. Demi melakukan scan sidik jari beliau mesti menempuh perjalanan kurang lebih satu kilometer dengan medan yang lumayan rumit.

Tidak sedikit keluhan yang aku terima dari para guru yang begitu “kaget” dengan sistem absensi digital ini. Ada yang mengadu “Bu, bagaimana ya saya kan selalu hadir untuk mengajar, karena tempat tinggal saya jauh dari sini, maka saya sering telat. Di absensi saya tercatat tidak hadir, sementara yang lain yang rumahnya dekat, tidak masuk mengajar tapi mereka terhitung hadir karena melakukan scan tepat waktu. Saya bingung bu, saya harus gimana”, ditanya begitu aku pun kelabakan menjawabnya, namun kucoba menjawab berdasarkan pengetahuanku saja, “Ya sudah pak, serahkan semuanya pada yang Kuasa, Allah itu Maha Tahu segalanya”. Guru tersebut sepertinya bisa menerima jawaban reflekku itu.

Di lain kesempatan seorang guru datang lagi berbagi kisah, “Bu saya bingung, kita harus scan setiap hari sementara saya jumat dan sabtu kan kuliah, jadi saya harus bagaimana?” Oh iya dari sebelas orang guru yang mengajar MI dan MTs di sekolahku hanya empat orang yang sarjana, yang lainnya ada yang sedang kuliah juga. Waktu itu kucoba memberikan saran untuk meminta surat keterangan mahasiswa ke kasubag kemahasiswaan di kampus beliau. Hanya itu yang bisa aku sarankan di samping meminta mereka untuk berdiskusi dengan kepala sekolah tentang kebijakan penggunaan finger print agar masing-masing bisa mendapatkan kejelasan.

Setelah tiga hari mengajar aku harus izin meninggalkan sekolah kembali karena ada kegiatan membangun jaringan dengan media dan birokrat yang ada di kota. Namun aku masih kepikiran tentang finger print yang membawa dilema. Saat mulai masuk sekolah lagi tiga belas hari kemudian kurasakan ada yang berbeda dengan finger print. Setiap pagi saat datang ke sekolah hanya ruangan guru yang sepi serta beberapa orang siswa yang kutemui. Biasanya finger print akan datang seiring dengan kedatangan kemenakan kepala sekolah, tapi kini finger print terbungkus manis dalam tas di ruangan kepala sekolah. Aku pun berkesimpulan bahwa sepertinya mereka telah terbiasa dengan kehadiran finger print. Saat pulang sekolah pun finger print di biarkan mendekam sendiri di ruang guru.

Kini hanya satu dua orang guru yang datang ke sekolah hanya untuk scan tanpa ada jadwal mengajar. Berhubung aku datang ke sekolah setiap hari, aku pun secara tidak sengaja melakukan pengamatan karena aku semakin penasaran dengan kelanjutan cerita finger print. Belakangan mulai tidak ada guru yang datang ke sekolah hanya untuk scan sidik jari, mungkin mereka mulai lelah. Memang jarak ke sekolah yang lumayan jauh dengan kondisi harus memakai sepatu boot cukup membuat lelah, apalagi jika hanya untuk sekadar bolak balik scan sidik jari.

Saat ada kesempatan berbicara dengan kepala sekolah langsung kugunakan kesempatan ini untuk mencari tahu tentang keberadaan finger print yang seakan membuat sebagian guru “tertekan”. Hasil obrolan berdaya kami hari itu adalah, absensi menggunakan finger print ini merupakan kebijakan dari Departemen Agama (Depag) yang membawahi madrasah yang ada di pandeglang. Awalnya penggunaan finger print ini hanya untuk guru yang sudah mendapat tunjangan fungsional. Apalagi jika guru kelas, maka mereka harus hadir setiap hari. Sementara untuk guru honorer scan sidik jari menggunakan finger print tidak diwajibkan. Namun belakangan ada lagi wacana entah kebijakan atau apalah namanya yang mengharuskan semua guru scan dengan finger print. Tetapi semua ini masih tahap percobaan, meskipun tidak tahu entah sampai kapan.

Sebenarnya begitu banyak nilai positifnya menggunakan finger print untuk absensi guru. Semua ini bisa menjadikan guru lebih disiplin datang dan pulang sekolah. Namun menurutku semuanya butuh sosialisasi yang lebih jelas dari instansi terkait, agar semuanya paham tentang tujuan pengunaan finger print, bagaimana evaluasi serta hal lainnya. Sesuatu yang tidak jelas tentulah akan sulit sekali untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya. Kita akan sama-sama menunggu bagaimanakah kelanjutan nasib finger print yang akan membantu pendisiplinan guru. Apapun kebijakan yang akan dikeluarkan nanti semoga itu akan menyumbangkan nilai positif untuk perbaikan kualitas pendidikan Indonesia ke depannya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization