Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kebanggaan Menjadi Guru

Kebanggaan Menjadi Guru

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (wordpress.com/winterwing)
Ilustrasi (wordpress.com/winterwing)

dakwatuna.com – “Subhanallah… Inikah bahagianya menjadi guru?” batinku ketika melihat anak-anak itu berebut menyapa, kemudian bergantian menyalami dan mencium tanganku. Hatiku terharu melihat mereka berkerumun bercerita ini-itu, seolah aku adalah orang penting yang lama mereka tunggu. Tanpa terasa, bulir air mataku jatuh.

Menjadi guru sesungguhnya bukan cita-citaku sejak dulu. Ketika masih belajar di sekolah, aku tidak punya cita-cita khusus besok ingin menjadi apa. Sampai pada tingkat Madrasah Aliyah, aku memilih mondok di sebuah pesantren. Alasanku simple, karena aku menyukai pelajaran agama.

Mondok selama tiga tahun, aku mendapat pelajaran seperti di Madrasah Aliyah pada umumnya. Bedanya, di pesantren tempatku mondok, bahasa Arab dan bahasa Inggris adalah bahasa harian. Pesantren melarang keras santri berbicara dengan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia hanya boleh dipakai untuk enam bulan pertama. Setelah itu, santri wajib berbicara dengan sesama santri dan guru memakai bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Aku lebih menyukai dan menguasai bahasa Arab. Sehingga lulus dari pesantren, aku melanjutkan kuliah di Fakultas Tarbiyah, mengambil jurusan bahasa Arab. Sampai di situ belum ada niatku untuk menjadi guru. Aku ingin menekuni bahasa Arab, yang menjadi minatku sejak di pondok dulu. Aku jalani kuliah sambil bekerja sampai lulus pada semester sembilan.

Setelah lulus kuliah itulah aku kemudian mencoba melamar menjadi guru. Sekali lagi, ini bukan karena aku ingin menjadi guru, atau karena aku memang alumni Tarbiyah. Mulanya, aku sekadar ingin mendapat pekerjaan, karena sejak menikah aku memutuskan keluar dari tempat kerjaku yang dulu.

Tetapi mungkin inilah suratan yang digariskan Tuhan. Aku akhirnya merasakan kebanggaan tersendiri dengan menjadi guru, meski bukan cita-citaku dari dulu. Bagiku, menjadi guru sangat berbeda dengan profesi lain. Secara materi, penghasilan guru memang tidak bisa dibilang besar. Toh, kebanggaan menjadi guru tidak bisa diukur dari materi. Ada kebanggaan moral-spiritual yang tidak akan dimiliki oleh selain guru.

Menjadi guru berarti menjadi pemburu dan pecinta ilmu. Guru ‘dipaksa’ untuk terus berolah pikir. Mengembangkan ilmu yang diperoleh selama di sekolah dan kuliah. Tidak jarang, guru bahkan mendapat ilmu baru yang tidak ada di bangku sekolah atau kuliah. Belum lagi beragam persoalan menyangkut murid, semakin menambah kematangan pribadi guru dalam berfikir dan bersikap. Inilah universitas kehidupan yang sesungguhnya.

Guru terus berupaya menempa diri sebagai modal untuk mendidik murid. Menanamkan kebaikan sebanyak mungkin kepada murid adalah harapan dan doanya. Maka keburukan pribadinya sebisa mungkin disembunyikan agar jangan sampai ketahuan oleh murid. Bukan sikap munafik atau sok suci. Tujuannya, tidak lain, agar keburukan miliknya tidak menular kepada murid. Di sini guru berusaha sekuat daya untuk bisa menjadi suri teladan utama bagi muridnya.

Tidak tersisa keinginan dan harapan guru terhadap muridnya kecuali kebaikan. Perasaan bahagia dan bangga datang ketika guru melihat muridnya menjadi lebih baik dan pandai. Itulah kenapa tidak ada guru yang merasa iri jika kualitas muridnya mengungguli dirinya. Justru gurulah yang paling sedih ketika muridnya mengalami kegagalan. Itulah juga kenapa ketika murid mendapat nilai terbaik atau memenangi suatu perlombaan, misalnya, yang paling bahagia adalah gurunya.

Prestasi murid adalah kebanggaan guru. Kesuksesan murid adalah kebahagiaan guru. Guru turut bangga melihat muridnya memiliki posisi mapan dan mulia di masyarakat. Bukan karena ingin mengharap imbalan jasa. Bukan itu! Guru sangat bersyukur, karena upaya dan doanya kini telah berbuah.

Tidak ada ruang kebencian di hati guru kepada murid. Termasuk kepada murid yang paling nakal sekalipun. Guru menganggap, kenakalan adalah proses menuju kebaikan. Maka ketika ada murid yang dulunya nakal tetapi kini sukses ‘menjadi orang’, guru menggodanya dengan mengingatkan masa lalunya selama di sekolah. Bukan berarti meledek. Ini adalah salah satu bentuk ungkapan syukur bahwa dia yang dulu nakal akhirnya berubah menjadi baik dan sukses.

Itulah suara nurani seorang guru. Benarlah ungkapan, hubungan guru dan murid seperti hubungan anak dan orang tua. Tidak ada istilah mantan guru, seperti juga tidak ada sebutan mantan orang tua. Dan seperti orang tua, guru juga tidak pernah akan menagih jasa. Sekadar diingat atau disapa oleh murid saja, sering hati guru menjadi terharu dan tersentuh. Apalagi jika murid itu kini sudah dalam posisi puncak kemapanan tapi masih menyisakan ingatan dan waktu untuk bertegur sapa dengan gurunya.

Itulah puncak keharuan, kebahagiaan, dan kebanggaan menjadi guru yang tidak mungkin bisa diongkosi dengan materi atau upah tinggi sekalipun.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Pendidik dan Penulis Tinggal di �Kota Soto� Lamongan

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization