Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ketulusan Tanpa Pamrih

Ketulusan Tanpa Pamrih

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sesekali terdengar bunyi sendawa dari dalam kamarnya. Bukan, bukan sendawa karena makan kenyang, melainkan karena masuk angin. Hampir setiap malam aku mendengarnya. Inginku menengoknya namun gengsi mengalahkan rasa kepedulianku terhadapnya.

Barulah ketika beliau tidur aku berani menengoknya. Ternyata di balik kecantikan wajah ibuku, tersimpan raut muka yang menyedihkan. Ibuku terlihat sangat kelelahan, layaknya dia sedang melepas seluruh beban yang memberatkannya dan bersiap untuk menyambut beban baru esok hari.

Tak ada kata-kata yang sanggup menggambarkan apa yang aku rasa ketika menengok ibuku yang sedang terlelap. Begitu berat perjuangan ibu membantu ayah. Ia rela bekerja dari subuh hingga larut malam. Tak kenal lelah dan pantang menyerah.

***

Ibu selalu tersenyum. Aku tahu, senyum manis yang terpasang sepanjang hari merupakan selimut untuk menutupi keluh kesahnya. Semua itu dilakukan agar anak-anaknya tidak merasa terbebani dengan keadaan ibu yang sebenarnya. Sungguh, hati ini rasanya teriris mengingat hal-hal yang telah ibu korbankan untuk aku dan keluarga.

Perjuangan ibu tak sampai disitu. Sebelum dikandung, ibu menginginkan aku ada. Sebelum dilahirkan, ibu telah menyayangiku. Susah payah membawaku dalam rahimnya. Antara hidup dan mati melahirkanku. Sungguh luar biasa kasih sayang seorang ibu. Begitu tulus, tak bersyarat, dan tanpa pamrih.

Selama 19 tahun aku diasuh dan dibesarkan ibuku. Dari mulai dalam kandungan sampai duduk di bangku kuliahan sekarang. Memandikan, mengganti popok, membersihkan kotoranku, menyusui, menyuapi, mengajarkan membaca, berhitung, mengantar ke sekolah, menyiapkan bekal, membantu mengerjakan PR, sampai menemaniku mengurus keperluan-keperluan lain yang aku butuhkan.

Semua itu dilakukannya dengan tulus dan ikhlas. Ia tidak pernah meminta untuk mengganti maupun membalas perbuatannya karena memang tak ada yang mampu membalasnya.

***

Ketika aku pulang larut malam, ibu dengan sangat khawatir menanyakan keadaanku. Mengapa aku belum pulang, apa yang aku lakukan, dengan siapa, hingga sudah makan atau belum. Tak jarang juga aku menggerutu karena terlalu dikhawatirkan oleh ibu. Kemudian aku sadar bahwa apa yang dilakukannya semata-mata karena ia sangat menyayangiku. Ibu tidak mau hal buruk terjadi kepadaku.

Ketika aku nakal, membantah, tidak mau mendengarkan omongannya, menolak perintahnya, hingga mengeluh dan membentak ibu . “Ibu gak pengertian banget, deh. Aku kan sudah besar, kok masih diatur-atur, sih?” gerutuku kesal.

Sering aku membuat ibu kesal dan kecewa. Pernah juga aku membuat ibu menangis. Aku tak tahu bagaimana perasaan ibu saat aku berperilaku yang sangat tak sepadan dengan sikapnya yang tulus membesarkan dan mengasuh aku dari kecil. Pasti sangat sakit.

Pernah suatu saat ibu sangat marah kepadaku hingga akhirnya terucap “Mending kau bunuh saja ibu sekalian, dek!” Dheg! Hatiku terasa ditikam oleh ribuan pisau yang paling tajam. Aku hanya bisa diam tanpa berani meminta maaf. Entah setan apa yang merasuki jiwaku saat itu hingga aku berani durhaka terhadap ibu. Aku menyesal telah berbuat seperti itu. Maafkan aku bu, aku tidak berniat menyakitimu.

***

Ibu mampu memberikan waktunya 24 jam sehari untuk aku, tidak ada perkataan siang mau pun malam, tidak ada kata lelah atau pun tidak mungkin. Ibu selalu mendoakan dan mengingat anaknya setiap hari, bahkan setiap saat. Rasa sayang ibu ke anaknya itu otomatis, namun rasa sayang anak ke ibunya kadang masih pikir-pikir dahulu.

Entah apa jadinya aku tanpa ibu. Maafkan aku yang sering tak mendengar nasehatmu. Maafkan aku yang sering melawan ibu. Maafkan aku yang sering membuat ibu kecewa.

Tidak mudah bagi ibu membesarkan dan mendidik aku hingga aku menjadi seperti sekarang ini. Aku berhutang kepada ibu. Meski seluruh berlian di dunia ini pun tak sanggup membayar hutangku kepada ibu. Hanya tuhan yang mampu membalasnya. Hanya doa yang aku panjatkan kepada Tuhan yang mampu aku berikan kepada ibu.

Semoga Tuhan memberi ibu umur yang panjang, agar ibu bisa melihatku sesuai yang ibu harapkan. Semoga Tuhan megampuni segala dosa ibu, dosa yang terukir demi hadirkan mimpi di setiap rengekanku. Semoga ibu ditempatkan di surga-Nya kelak sebagai balasan ketulusan ibu selama ini.

Terima kasih ibu atas semua kasih sayang serta ketulusan yang ibu berikan kepadaku. Ibu adalah sosok yang sangat menginspirasi. Kelak aku ingin menjadi seorang ibu seperti ibu.

Tak akan kubiarkan engkau bersedih ibuku. Aku akan memberikan yang terbaik untukmu. Ingin rasanya aku memeluk ibu dan berkata aku bangga menjadi anak ibu. Satu pelukan ibu, sejuta harapan untuk anak-anaknya. Aku sayang padamu, ibu.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization