Topic
Home / Berita / Opini / Surat Untuk Sutradara

Surat Untuk Sutradara

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bagaimana kabarnya? Apa syuting hari ini sudah selesai? Hehe, maaf yah mengganggu dengan kedatangan surat ini.

ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sebelum berlanjut jauh ke arah tujuan mengapa surat ini berharap Anda baca, saya yang semoga dilindungi dari sifat ria, ingin memperkenalkan diri. Nama saya Mutmainna Fil Jannah, tapi Bapak, Ibu, Abang sutradara cukup panggil saya Nanna. Saya berharap itu menjadikan kita nanti bisa berbincang lebih hangat jika bertemu. Oh iya, dengan sangat bangga saya menyatakan bahwa saya adalah seorang guru yang sekarang mengabdi di perbatasan Negeri ini, Sambas-Kalimantan Barat. Maaf yah, perkenalan singkat saja. Semoga itu berarti di lain hari kita bisa bertemu untuk berkenalan lebih jauh sekaligus berdiskusi mengenai isi surat ini.

Bapak, Ibu, Abang sutradara yang saya hormati. Saya tahu, mungkin Bapak, Ibu, atau Abang sutradara lagi sibuk kelarin syutingnya. Apalagi kalo sinetronnya stripping. Maka sungguh saya minta maaf jika pada akhirnya membaca surat ini menambah beban kerja Bapak, Ibu, atau Abang sutradara. Tapi saya juga sungguh mengharapkan bahwa Bapak, Ibu, atau Abang sutradara bersedia membaca surat ini. Saya sudah lama ingin menyampaikan hal ini. Ada kerisauan di hati saya dan akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi, seiring dengan berubahnya status saya dari seorang mahasiswa yang punya seorang adik usia sekolah dasar menjadi guru ratusan siswa-siswi sekolah dasar.

Lalu apa hubungannya dengan saya? Bapak, Ibu, atau Abang sutradara mungkin akan berkata demikian. Begini pak, semalam saya yang jarang nonton TV di malam hari (tapi tahu updetan sinetron dari anak-anak), datang menghampiri siswa-siswi saya yang sedang ramai menonton. Otomatis, saya juga ikutan nonton. Tayangan yang mereka saksikan tentu saja tayangan sinetron hasil karya Bapak, Ibu, atau Abang sutradara. Sinetron yang juga terus mereka perbincangkan di sekolah. Saya sungguh kaget dengan apa yang anak-anak saya ramai saksikan itu, karya Bapak, Ibu, atau Abang sutradara. Adegannya itu loh pak, apa memang pemeran cewek harus selalu jatuh dan ditimang oleh pemeran cowok? Entah cuma berapa menit saya sanggup menontonnya, tapi entah berapa kali adegan itu terus berulang. Muka siswa-siswi saya sampai merona, sembunyi-sembunyi mengintip ke arah saya.

Lalu Bapak, Ibu, atau Abang sutradara, kenapa pula pegangan tangan, tatapan mesra, itu juga terus berulang. Yang bikin saya tidak tahan, sinetron karya Bapak, Ibu, atau Abang sutradara itu kan ngambil settingannya 90 persen di sekolah yah (ehmmm, itu lahan mengabdi saya). Harusnya pelajari dulu, apa sebenarnya visi misi pendidikan kita. Kami para guru sedang digenjot untuk mengarahkan siswa-siswi kami untuk memiliki karakter seorang manusia yang berbudi pekerti luhur (Insya Allah). Kenapa seenaknya mempertontonkan sikap-sikap non-intelek para siswa dengan settingan di sekolah. Seragam ngasal, rambut awut-awutan, dan sikap kasar. Parahnya, kenapa guru disulap menjadi tidak berkepribadian pendidik. Guru laki-laki tua menggoda guru perempuan muda. Belum lagi, kalau sinetronnya ngambil setting di rumah. Orangtua dibentak, banting sana-banting sini. Astaghfirullah…

Bapak, Ibu, atau Abang sutradara, saya harus akui, keberadaan saya untuk membuat anak-anak saya tumbuh dengan pribadi anggun nan cerdas lebih banyak kalah dengan keberadaan sinetron. Bapak, Ibu, atau Abang sutradara tahu, karena di sinetron Anda banyak memperlihatkan geng-geng. Siswa-siswi saya jadi ikutan punya geng, punya sekat antara kelompok ini dan itu dalam bergaul. Selain itu mereka bisa tiba-tiba berubah menjadi hewan-hewan buas dan menyerang temannya persis seperti di sinetron karya Bapak, Ibu, atau Abang sutradara. Lalu ke mana lagi saya akan mengadu hal ini? Saya tahu, pada saat penayangan sinetron karya Bapak, Ibu, atau Abang sutradara itu, ada tanda R dan BO sebagai tanda bahwa itu hanya tayangan buat remaja dan orangtua, tapi sungguh, di kampong kami, tak ada larangan dari orangtua kepada anaknya untuk tidak menonton. Bahkan mereka menonton bersama, larut dalam sinetron karya Bapak, Ibu, atau Abang sutradara. Terus, saya yang harus melarang begitu? Di sini, TV adalah hiburan satu-satunya ketika malam tiba untuk melepas lelah para orangtua yang seharian bekerja di kebun.

Bapak, Ibu, atau Abang sutradara, mereka adalah anak-anak kita. Generasi yang akan menentukan bagaimana Negeri ini ke depannya. Dan tentu saja, kita semua sepakat jika kita memiliki generasi yang sukses secara sikap dan otak. Maka marilah kita bersama-sama memberikan teladan pada hal-hal yang baik. Karena apa? Anak-anak kita adalah makhluk peniru. Mereka belum bisa memilah yang benar dan salah sehingga tugas kitalah orang dewasa untuk mengarahkannya pada kebaikan.

Oke Bapak, Ibu, atau Abang sutradara,, sekian dulu surat dari saya. Sungguh saya berterima kasih jika Anda bersedia membacanya apalagi menyepakatinya dengan cara menghilangkan adegan-adegan yang saya maksud. Tentu saya doakan, sinetron Anda tetap laris manis.

Semangat perubahan!

Salam guru pelosok khatulistiwa!

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sekarang sedang mengabdi di Kabupaten Sambas, Kalbar sebagai relawan pendidikan di Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa. Pendidikan Terakhir S1 Bimbingan Konseling, Universitas Negeri Makassar.

Lihat Juga

Emir Qatar Janjikan Pendidikan untuk Satu Juta Anak Perempuan

Figure
Organization