Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Berani Itu Berarti

Berani Itu Berarti

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (amidda.blogspot.com)
Ilustrasi. (amidda.blogspot.com)

dakwatuna.com – Perjalanan itu membawa saya pada sebuah arti kenyataan hidup yang akan dijalani, sebuah testimoni yang menarik, terkadang membuat jiwa ini miris dalam pandangan yang tak berarti, itulah yang dinamakan perjalanan hidup. Saya benar-benar baru merasakan indahnya hidup, di mana punya keluarga yang bahagia, terpandang dalam sorotan masyarakat tapi bukan terpandangnya yang saya banggakan melainkan kebahagiaan dalam suatu keluarga itu yang membuat saya merasa tenang.

Di balik semua itu ternyata membuat rasa yang tidak nyaman di hati saya, entah kenapa dalam keluarga itu saya merasa hidup ini terlalu mudah, saya tidak tahu sebenarnya tujuan hidup itu seperti apa, perjalanan yang saya lakukan hanya untuk menghabiskan hari-hari yang saya lalui, segala yang saya inginkan tersedia seolah-olah tidak ada akhir dari hidup yang saya jalani. Tiap harinya saya hanya melakukan aktifitas yang sama. Sama halnya seperti pergantian nama-nama hari dalam setiap minggunya atau sama dengan jumlah waktu dalam setiap harinya. Dari mulai bangun tidur, ke kampus kalau hari itu lagi mood saya akan masuk, kalau saya tidak ingin maka saya tidak masuk. Kalaupun saya di rumah saya akan mengurung diri di sebuah kamar yang lumayan besar bisa dikatakan seperti kamar bintang 7 yang dilengkapi dengan segala fasilitas. Seandainya mau makan tingggal panggil saja si mboknya, pasti makanannya lansung datang dalam hitungan detik bukan hitungan menit apalagi hitungan jam, karena kalau sampai hitungan menit saya pasti akan marah-marah sama si mboknya.

Pernah suatu ketika saat minta ambilkan minum pada si mbok yang sedang menyetrika. Kemudian si mbok bilang “tunggu sebentar ya” tapi saya merasa tidak sabar dan merasa kalau si mbok tidak menanggapi. Namun, selang beberapa menit air yang saya minta akhirnya datang dibawakan si mbok sambil tergopoh-gopoh diletakkan di atas meja, sesaat kemudian belum sempat si mbok melangkahkan kakinya untuk keluar saya langsung melemparkan gelas berisi air tersebut di hadapan si mbok dengan bantingan yang sangat kuat. Sementara si mbok yang berada di depan saya hanya bisa terdiam seribu bahasa sambil menatap lantai, seolah-olah sedang menghitung berapa jumlah pecahan gelas yang barusan saya banting.

“Sudah sana pergi ..!! Bentak saya.
Sambil manggut-manggut si mbok lansung keluar dari kamar dengan tetesan butir air mata yang tidak tertahankan. Mulai saat itu si mbok tidak pernah lagi telat ketika saya panggil, walau terkadang dia lagi banyak pekerjaan selalu diusahakan untuk tetap tidak terlambat bahkan sampai berlari secepat kilat, seperti mengalahkan teknologi yang dirancang oleh orang-orang hebat. Bedanya si mbok dirancang oleh orang tuanya yang bodoh dan miskin sehingga dia tidak pernah merasakan nyaman dan bahagia dalam hidupnya, begitulah pikiran yang dulu terlintas di benak saya.

Walau semua perjalanan hidup yang saya lalui begitu indah, enak, bahagia dalam pandangan luar tapi saya merasakan masih ada kekurangan dari semua itu, kekurangan kedamaian dan kebahagiaan batin. Hari demi hari yang saya lalui, tidak merasakan indahnya hidup yang sebenarnya, detik demi detik merupakan kehancuran jiwa yang saya alami, semuanya tidak pernah sempurna, sesempurna kehidupan yang sebenarnya.

Beda rasanya, ketika saya melintas di sekumpulan perempuan yang berjilbab besar seperti mengenakan selimut, mungkin memang selimut tidur mereka yang kelupaan sehingga bisa terbawa keluar, tapi ketika melihat mereka ada sebuah tanda tanya besar yang timbul dalam diri saya “Kenapa ya mereka tidak pernah merasa kepanasan dengan jilbab selimut mereka itu..??”. “Kok sepertinya mereka tidak punya masalah, kenapa tidak tergambar dari wajah mereka tentang suatu kesulitan hidup padahal mereka kan pada miskin-miskin..??”. “Nah yang aneh nya lagi kok sepertinya mereka sangat kuat menahan lapar untuk puasa di tengah panas teriknya matahari ini, kenapa mereka tidak minum atau makan saja..??”

Satu-persatu pertanyaan itu muncul secara bergantian dalam pikiran saya. Semua perasaan itu saya bawa pulang sampai kerumah dan saya pendam rasa penasaran tersebuat sedalam-dalamnya, ingin sekali bertanya tapi tidak tahu pada siapa. Ketika di kampus, saya mulai tertarik dengan aktivitas para perempuan yang mengenakan jilbab besar, mereka tidak pernah merasa putus asa dan memiliki tujuan hidup, sementara saya hanya sebuah jasad hidup yang tidak tau tujuan hidup. Setiap sore saya menyempatkan waktu luang untuk duduk di sebuah taman di samping masjid, di sana saya memantau setiap aktivitas yang mereka kerjakan. Setiap mereka keluar dari masjid mereka selalu melemparkan senyum tulus pada saya yang sebelumnya tidak pernah saya dapatkan.

Pagi itu tidak seperti biasanya saya bisa bangun cepat dan langsung mandi, si mbok pun heran melihat tingkah saya pagi itu yang terkesan aneh, tak biasa.

“Mbok, siapin sarapan saya ya…!!”
“Iya non,”
“Buruan mbok, saya sudah telat nih”
Si mbok tambah melongo di depan saya dengan kening yang mengerut.
“Mbok nggak dengar ya saya bilang apa..?? saya mau sarapan dan siapin sekarang juga,” teriak saya dengan nada keras
“I…i..iya non,” saking gugupnya si mbok membuatkan sarapan saya.
“Lho, minumnya mana mbok..??”
“Iya non, maaf tunggu sebentar mbok ambilin..”
“Tidak usah mbok biar saya ambil sendiri aja,” ujar saya sambil berlalu.

Hari itu adalah hari di mana membuat orang-orang yang di sekitar saya kebingungan dengan sikap saya yang berubah secara tidak menentu, entah ada angin apa sehingga saya bisa berubah baik sesaat. Seperti biasanya saya duduk lagi di taman di samping masjid, tapi ada hal yang aneh saya temukan “Kok pagi-pagi seperti ini ada yang shalat ya..?” tanya saya dalam hati. Saya ingin sekali menanyakan hal itu tapi tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Ada perasaan bahagia dan tenteram ketika melihat mereka melakukan aktivitas yang seperti itu. Lalu dengan langkah yang ragu saya mencoba untuk mendekati masjid dengan wajah yang selalu menunduk, baru saja beberapa langkah, Rini teman saya menghentikan langkah saya sambil berkata; “Woi, mau kemana sudah insaf ya..?” Ngapain sih shalat, masih muda kok, nanti kalau sudah tua baru kita shalat, mendingan sekarang kita ke kafe tempat biasa nongkrong.”

Sambil menarik tangan saya, Rini memaksa untuk ikut dia ke kafe, saya hanya bisa terdiam dalam kebingungan dan saya juga malu karena sempat kepergok sama Rini pergi ke masjid. Ada perasaan tidak enak di dalam hati melihat keadaan yang seperti ini, kemudian saya pamit untuk pulang dengan alasan kurang enak badan. Dengan bingung Rini menyetujui, ketika pulang saya sengaja tidak ingin diantarkan sama pak Man, supir yang sudah lama bekerja di keluarga kami, saya lebih memilih jalan kaki daripada naik mobil.

“Yakin Non, nggak mau bapak antarkan..?” tanya pak Man ragu.

“Iya pak, Bapak pulang duluan saja. Insya Allah saya bisa kok”. Saya heran dengan kalimat yang barusan saya ucapkan, “Kenapa saya bilang Insya Allah ya?” sambil menggaruk kepala saya langsung berlalu, sekilas saya melihat wajah pak Man tersenyum dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut saya, sebuah kalimat yang tidak pernah saya ucapkan bahkan artinya saja saya tidak tahu.

Di perjalanan pulang saya menemukan seorang bapak dengan baju basah bersimbah keringat sambil mendayung sepeda tua yang berisi kerupuk untuk dijual. Tidak ada sedikit pun jualan bapak itu yang berkurang, semuanya masih utuh secara sempurna, secara tidak sadar saya melangkahkan kaki ke tempat bapak itu. “Mau beli kerupuk, Non…?” tanya bapak itu dengan suara yang sangat lembut.
“Hemmm..” bingung saya mau jawab apa, sebenarnya saya tidak selera dengan kerupuknya tapi ada perasaan sedih ketika melihat bapak tersebut.
“Iya pak, berapa harga kerupuknya satu bungkus, Pak?”
“Seribu aja Non, mau berapa bungkus?” tanya bapak tersebut.
“Hah… seribu?” tanya saya dalam hati yang seolah-olah tidak percaya dengan apa yang bapak tersebut katakan.
“Bapak nggak salah..??” ujar saya kembali bertanya.
“Kenapa Non, kemahalan ya..?”
“Lho ini bapak malah mikir kemahalan..? Tanya saya dalam hati, dibandingin dengan belanja satu hari saya hanya 1%. Saya hanya bisa terdiam dengan pertanyaan bapak tersebut. Tanpa disadari mata saya memerah karena menahan air mata yang tidak bisa saya sembunyikan karena melihat keadaan bapak tersebut yang sangat sederhana dalam kehidupannya, tapi dia tetap bersyukur dalam segala hal.

Sesampainya di rumah, saya menceritakan hal itu kepada mama tapi mama hanya bisa terdiam seribu bahasa tidak memberi tanggapan apa-apa tentang cerita saya, yang seolah-olah hanya sebuah dongeng belaka. Saya hanya bisa maklum karena mama belum pernah merasakan kehidupan yang sepahit itu, selama ini mama hidup dengan segala kecukupan dan kemewahan bergelimang dengan harta.

Subuh itu, saya terbangun dan berniat untuk melaksanakan shalat subuh dengan bacaan shalat yang belepotan, walaupun seperti itu saya berusaha untuk khusuk dalam shalat. Sesudah shalat, tiba-tiba saya teringat dengan si mbok yang sering saya marahi karena kesalahan-kesalahan yang kecil. Kemudian saya menuju kamar si mbok tetapi dari balik pintunya saya mendengar sebuah suara yang sangat indah, ternyata si mbok sedang mengaji. Subhanallah ternyata si mbok orang taat yang selama ini saya katakan bodoh dan miskin, ternyata saya lah orang bodoh tersebut. Saya terpaku di depan pintunya si mbok sembari mendengarkan alunan suara Al-Quran yang si mbok baca, sampai tidak melihat si mbok yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu dengan wajah pucat dan langkah tergopoh.

“Maaf Non, tadi mbok nggak dengar kalau Non manggil mbok,” ujar si mbok.

“Saya nggak manggil mbok, tapi saya ingin mendengarkan mbok baca Al-Quran, mbok bisa  ajarin saya nggak arti dari bacaan yang barusan mbok baca?”

“Oh, boleh Non, sangat boleh malahan, ayo Non masuk dulu”

Lalu si mbok membacakan artinya dengan suara yang merdu “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan perempuan yang lain), karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok), janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang-siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat : 11).

Tidak bisa saya tahan tangis yang begitu sesak, setelah mendengar ayat tersebut, ingin rasanya untuk memutar kembali bumi pada porosnya dan mengulang waktu yang telah banyak dosa saya lakukan, tapi semua itu mustahil terjadi bukankah pepatah mengatakan bahwa waktu itu adalah pedang yang siap untuk membunuh orang-orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu secara baik?

****

Waktu sudah menunjukkan jam 08:00. Saya bersiap-siap untuk ke kampus karena ada mata kuliah yang saya ikuti jam 10:00, hari itu adalah hari bahagia yang tidak pernah saya rasakan karena saya bangga dengan jilbab yang dikenakan. Saya berdiri di depan cermin sambil merapikan jilbab yang dulunya sangat saya benci, “Ternyata saya lebih cantik pakai jilbab” ucap saya dalam hati. Ketika pamitan dengan mama, ia bingung melihat perubahan saya yang sangat drastis, tanpa memperdulikan kebingungan mama saya langsung berlalu, takut dengan banyaknya komentar yang mama lontarkan. Bahkan bukan mama saja yang bersikap seperti itu, teman-teman di kampus juga menatap saya dengan aneh, apa lagi Rini teman dekat saya itu tidak henti-hentinya menertawakan saya dan menganggap saya orang kampungan.

Alhamdulilah, ternyata Islam itu indah pikirku dalam hati. Islam bisa mendamaikan jiwa umatnya. Saya tidak peduli dengan semua orang yang menertawakan saya suatu saat mereka tahu siapa yang sebenarnya pantas untuk ditertawakan.

Ketika makan malam bersama keluarga, mama mulai bicara dengan mengangkat pembahasan tentang jilbab yang saya pakai. Ternyata mama tidak suka melihat saya mengenakan jilbab yang katanya seperti nenek-nenek aja, sedangkan papa hanya diam tidak memberikan komentar apa-apa. Saya berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa tidak ada batasan usia dalam mengenakan jilbab, karena jilbab itu kewajiban setiap muslim untuk menutup aurat bahkan perempuan yang sudah baligh tidak menutup aurat akan mendapat azab di akhirat kelak. Namun sayangnya, mama selalu saja membantah semua penjelasan saya, “Pokoknya mama tidak setuju kamu pakai jilbab dan mulai besok tidak boleh lagi pakai jilbab ya”. “Ta..ta…p…pii….” saya berusaha untuk membela diri. “Tidak ada tapi-tapian pokoknya tidak boleh, titik.” Jawab mama tegas.

Mendengar ucapan mama yang sangat menekan batin itu, membuat saya lemas dan langsung pergi meninggalkan meja makan. Saya tidak bisa menahan tangis serta dada yang sesak menahan amarah yang ingin meluap. “Ya Allah, bantu hamba keluar dari masalah ini” doa saya dalam sujud yang tidak tertahankan.

Keesokan harinya, ketika pergi kuliah mama kembali melihat saya dengan tatapan sinis, sambil berkata “Nenek mau kemana.. Ke pasar ya??“ Saya hanya diam..

“Ya Allah, berikanlah kekuatan pada hamba-Mu yang lemah ini” doa saya dalam hati sambil berpamitan mencium tangan mama walau mama tidak ikhlas dengan semua itu tapi saya tidak peduli. Hari itu, saya berkenalan dengan seorang akhwat di kampus bernama Farah, ternyata Farah adalah aktivis kampus dan dia mengajak saya bermain ke rumahnya. Sehabis pulang dari tempat Farah, saya langsung pulang ke rumah, ternyata mama sedang keluar sama papa ketika itu. Hanya ada si mbok sendirian di rumah, ia bercerita kalau mama sangat marah sama saya karena sikap saya yang tidak patuh kepada mama. Saya harus mempertahankan kebenaran itu walau mama tidak setuju selagi saya berada di jalan yang benar. Memang benar surga itu di bawah telapak kaki seorang ibu tapi selama itu salah, tidak ada hak untuk kita selalu tunduk dan patuh kepadanya. Saya mencoba menjelaskan kepada si mbok, dengan gaya seperti ustadzah yang terlalu paham tentang agama.

Selang beberapa menit, mama dan papa akhirnya pulang, saya bergegas mendekat dan langsung mengecup tangan mama dan papa. Kali ini papa yang angkat bicara dengan nada keras “Syifa, papa harap kamu tidak memakai jilbab lagi mulai detik ini, kalau kamu tetap tidak mau, silakan keluar dari rumah ini..!”

Entah setan apa yang merasuki papa sehingga papa bisa sekasar itu dan memberi ancaman yang sangat kejam. “Maaf pa, ma, saya tidak bisa menuruti perintah mama dan papa, kalau memang saya tidak diizinkan tinggal di rumah ini lagi saya akan pergi”. Sesaat saya berubah menjadi seorang anak yang sangat tegar karena keadaan, tidak terasa air mata sudah mengali di pipi, saya segera bergegas ke kamar, berlari setengah hati dan mengambil pakaian untuk pergi, walau tidak tahu harus pergi kemana. Tangis yang semakin menjadi-jadi tidak menyurutkan langkah yang ingin saya tempuh.

Kaki ini tidak sanggup rasanya untuk melangkahkan semua keinginan hati, berat serta sedih bercampur dalam emosi, namun saya tetap tegar dalam semua ujian ini,

“Ini semua ATM dan uang belanja yang mama kasih dulu, terima kasih pa, ma. Izinkan saya tetap menjadi anak yang berbakti buat papa dan mama walau mama dan papa tidak membutuhkan saya yang lemah ini, dan saya akan selalu mendoakan papa sama mama selalu dalam keadaan sehat wal afiat serta selalu dalam lindungan Allah Swt.”

Si mbok hanya bisa menangis sedih melihat kepergian saya, melihat wajah mama yang tidak tega melepaskan kepergian saya, tapi rasa keegoisan yang selalu mengalahkan sifat lembut dan hati nurani mama.  Dalam perjalanan yang sangat berbeda, saya berfikir kemanakah tempat yang harus dituju, uang saja tidak ada. Tapi saya tidak peduli dengan semua itu, saya yakin keputusan yang saya ambil sudah tepat dan saya berani meninggalkan segala kesenangan harta yang tidak memberikan kedamaian dalam jiwa, saya lebih senang tidak punya segala harta tapi punya Allah yang selalu ada bersama saya. Sebuah keputusan dan keberanian yang telah memberikan saya pelajaran mengenai arti sebuah kehidupan. Di tengah jalan sambil menahan kesedihan dan air mata yang tidak berhenti menetes, saya berlari sekuat tenaga, dan tetap terus berlari kencang walau tidak tahu arah yang akan dituju sambil berteriak “SAYA SAYANG PAPA DAN MAMA, TAPI SAYA LEBIH MENCINTAI ALLAH.”

Berani atas segala jalan kebenaran yang sudah saya tetapkan. Sekarang saya bukanlah anak kecil dan juga bukan anak yang selalu dimanjakan lagi.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang manusia kecil yang bercita-cita menjadi mulia terhadap dunia, pharmacist dan trainer muda.

Lihat Juga

Seberapa Berani Anda Membela Islam?

Figure
Organization