Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ahmad Dahlan dan Arah Kiblat

Ahmad Dahlan dan Arah Kiblat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Saat itu Tahun 1898 , Diskusi panas antara Ahmad Dahlan dan ulama keraton menjadi. Laku Masjid Keraton yang begitu sakral dianggapnya telah menyalahi tata kiblat. Dan semua orang mulai jengah. Beberapa kyai mengangguk, setuju, namun tak sedikit yang berhaluan lain dengan argumen Ahmad Dahlan: bahwa kiblat Masjid Keraton Yogyakarta terlalu miring ke barat.

Belum menemukan titik temu, maka Sang Pencerah datang mengadukan masalah ini kepada Kepala Penghulu Keraton, KH. Muhammad Chalil Kamaludiningrat,karena ini bukan hanya berhubungan dengan ahli tidaknya seseorang, bukan. Ini adalah masalah ibadah wajib, jika ada syarat dan ketentuan tak terpenuhi, maka batal. Konsekuensi yang berat. Namun tak jua beliau memberi restu.

Karena saat itu, pengubahan arah kiblat menjadi titik jenuh KH Ahmad Dahlan menyikapi problem multidimensi masyarakatnya, hingga suatu malam, sebagai pertanggungjawaban seorang yang paham, beliau memutuskan menyatakan wacana itu dalam bentuk tindakan.

Langkah berani terpijak, bersama murid-murid nya, Beliau beranjak menuju Masjid Keraton yang telah sepi, menyematkan garis-garis putih di bilah-bilah shaf, meluruskannya hingga tegak menghadap Makkah, bukan lagi ke Afrika. Wacana itu beliau nyatakan.

Esoknya, Pembesar Keraton gerah , ini dianggap pelanggaran besar nan patut dikecam. Dan akhirnya, langkah benar Ahmad Dahlan yang berani harus dibayar dengan pemecatan beliau dari deretan nama khatib amin di Masjid Agung Yogyakarta.

Dan disitulah Titik mula Pembeda.

Pada mata manusia, pemecatan itu tidaklah menjadi untung bagi KH Ahmad Dahlan, justru menjadi momok perbincangan negatif. Namun disitu kembali Allah mengulang sunnatullah-Nya, justru dari situ golongan muda bangkit dan telah menemukan pusat pusarannya. Dan –dengan keberanian- KH Ahmad Dahlan menjadi pusat pusaran gelombang perbaikan, yang radiusnya berlabuh sampai ujung-ujung nusantara, Muhammadiyah namanya, 18 November 1912 ,disebut-sebut para sejarawan sebagai dampak gelombang Tajdid Raksasa yang bermula dari Mesir.

 

Berbicara tentang Ahmad Dahlan dan gagasan beliau yang heroik, kita seakan juga diminta menengok siroh Nabi –semua nabi- yang kesemuanya mempunyai laku benar, berjuang dan mendapat tantangan yang sama; tradisi yang mengikat, budaya yang tak layak, fanatisme duniawi yang menjadi-jadi. Dan, terjadilah… manusia pilihan ini menjalani hari mereka dengan keberanian , cinta dan pengharapan besar pada pertolongan Allah.

Bukan keputusan sepele ketika Ibrahim Muda mengapak patung-patung di sekitar Kuil Namrudz, beliau tahu apa yang nantinya terjadi, beliau tahu apa resiko yang kelak terasa. Namun yang beliau tahu, janji Allah benarlah adanya.

Bukan pula sembarangan Nabi Musa menghadap Presiden Mesir tatkala itu- Fir’aun- dan mengajaknya dengan kelembutan menuju Diinullah. Beliau tahu apa nanti yang kan menghadapnya, beliau telah paham situasi dan kondisi sosial yang nanti akan menyudutkannya. Yang beliau tahu, janji Allah benarlah adanya.

Apatah lagi Rasul Bijak bestari nan cemerlang kebenarannya, Nabi Muhammad. Gelar Al-Amin yang dahulu disebut orang-orang  ketika memanggilnya, silih berganti waktu berubah menjadi kalimat sumpah serapah dan ketakabburan tiada kira. Rasulullah terkasih tahu apa yang akan menimpanya. Rasulullah yang mulia paham bagaimana respon rakyat menanggapi risalah langit ini. Bahkan paham betul.

Namun jika tanpa keberanian dan Keyakinan, bagaimana mungkin Risalah terang benderang itu menggeser telak tradisi jahili. Jika Para Rasul terkasih hanya berpaku tangan dan sekedar berwacana, manamungkin manusia tahu dan beranjak meninggalkan lembah nista?

Maka, itulah. Kata Herry Nurdi, unsur cinta dan keberanianlah yang membuat seseorang mempunyai pengikut. Berani mengambil Lurus ketika manusia beramai-ramai berbelok. Itulah kekuatan yang menjadikan seorang memiliki daya tarik , ia mempunyai ledakan yang debumnya dirasakan manusia, seketika ada yang lari menjauh, ada pula yang mengumpat, dan bagi mereka yang cerdas, berfikir dan mengambil langkah padanya.

Hingga keberanian menjadi kekuatan . Contohlah hal yang sangat sepele. Ketika suatu hari anak-anak SD tidak mau disuntik pada hari kesehatan, adalah seorang anak pemberani datang kepada dokter, lalu dengan mantap berkata,

“Dok, saya mau disuntik…”

Satu, dua , tiga… lima detik. Sang anak Pemberani turun dari dipan, tersenyum bangga melihat kawan-kawannya ,pandangan matanya seakan berkata “Nih, aku aja nggak apa-apa”. Dan berbondonglah anak-anak lain bergiliran ingin disuntik.

Keberanian untuk mengawali.

Atau juga, kadang perhatikanlah saat-saat menunggu lampu merah. Semua kendara taat dan patuh, namun estetika ketaatan dilacur dengan abainya salah seorang pengendara motor, tanpa tedeng aling-aling langsung menembus lampu merah. Lampu merah belum berganti hijau , namun terlihat beberapa kendaraan mengikuti ‘keberanian’ sang pengendara motor pertama tadi. Suasana jadi buyar.

Keberanian dalam keburukan.

Pada hakikatnya, disinilah letak tinggi rendahnya daya pikat karakter. Ibarat umat manusia adalah gelombang-gelombang. Maka manusia yang berani adalah pusat pusaran air itu. Ada banyak sekali pusaran-pusaran di muka bumi ini, entah itu pusaran kebenaran atau kebatilan, keduanya saling berebut arus dan pengikut. Pusat-pusatnya saling adu berani. Siapa yang paling berani menantang peradaban, maka manusia akan terperangah dan mengikuti jejaknya.

Di situlah, nabi-nabi kita terkasih adalah manusia paling berani di masanya. Tokoh-tokoh baru yang besar adalah manusia berani yang mengkolaborasikan wacana dan tindakan, bersamaan.

Maka bagaimana dengan kita? Seandainya saat Itu kita adalah Ahmad Dahlan, beranikah kita mengambil langkah memugar garis shaf yang ‘dianggap sakral’ itu? atau mengalah saja dan biarkan orang tersesat dalam kesalahan bertubi-tubi, hingga tak ada lagi kebenaran tergema?.

Tapi, pepatah jawa memberi hikmah. Jangan menjadi bener ming ra pener. Benar tapi bukan tempatnya. Kita faham bahwa ada hal yang salah, kita paham bahwa ini itu belum benar. Namun gerakan ishlah harus disesuaikan dengan kondisi kita. Kita sedang jadi apa, kita sedang berstatus apa, kita sedang punya kedudukan apa. Karena asas ajakan terbaik adalah dengan kasih sayang dan nasehat peluluh hati, cantiknya.

Ud’uu ila sabiili rabbika bil hikmati wal mau’idhatil hasanah

Berani itu hidup. Hidup harus berani. Tentu karena Allah.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswa Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir | Alumni SMPIT Ihsanul Fikri Mungkid Magelang | Alumni Ponpes Husnul Khotimah Kuningan

Lihat Juga

Ustadz Abdul Somad yang Terpanggang dari Dua Arah

Figure
Organization