Topic
Home / Pemuda / Essay / Jika Ujian Ini Terlalu Pahit

Jika Ujian Ini Terlalu Pahit

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Di saat kita memulai menapaki jalan dakwah ini, terbersit sebuah keyakinan bahwa jalan yang akan kita tempuh ini bukanlah jalan yang tanpa aral rintangan. Jika aral rintangan yang menghadang berupa sesuatu yang menyakitkan, jauh sebelumnya kita sudah menyiapkan bekal ketabahan meski terbersit kekhawatiran bahwa bekal yang kita persiapkan tidak sebanding dengan besarnya rintangan yang menghadang. Dan jika aral rintangan yang menghadang berupa sesuatu yang gemerlap indah menyilaukan, kita sudah menyiapkan diri dengan bekal kesabaran meski terbersit kekhawatiran bahwa rintangan yang begitu indah telah lebih banyak menggelincirkan para penempuh jalan ini.

Namun cita yang ingin kita gapai teramat tinggi, menjadikan ujian yang menghadang langkah kita teramat pelik, bahkan tidak kita mengerti sama sekali. Hingga sekian lama kita berjalan, seolah-olah tidak ada aral rintangan yang berarti, dan kita semakin terlena. Tanpa kita sadari serangkaian intrik, tipu daya, fitnah dan semua sarana-sarananya di berbagai penjuru telah dipersiapkan begitu rapi. Kita terus menapaki berbagai keberhasilan dengan hati berbunga-bunga, sementara hakekatnya kita sedang memasuki lorong-lorong jebakan.

Hingga sampailah ujian yang harus kita hadapi berlangsung di tempat yang hitam tidak lagi tampak hitam dan putih tidak lagi tampak putih. Yang harus kita hadapi bukan sekedar ketabahan menghadapi hal-hal yang menyakitkan atau kesabaran menghalau hal-hal yang menyilaukan. Kita menghadapi sebuah pilihan sulit antara melewati panggung sandiwara dengan memerankan karakter-karakter yang teramat memuakkan atau memilih hengkang dari jalan ini. Jika selama ini kita menyiapkan sebuah cita-cita menjadi seorang mujahid, penegak kebenaran dan pembela orang-orang lemah, namun di jalan dakwah yang dilalui ini sampai pada saat dimana kita kebagian peran sebagai penjual agama, pembela kedzaliman dan penipu rakyat. Sebuah pilihan yang teramat pelik, sebuah ujian yang terlalu pahit.

Terbersit keinginan untuk meninggalkan jalan ini, namun terbayang kegembiraan musuh atas keberhasilan mereka tidak hanya mengambil alih jalan dakwah ini, bahkan menjadi penunjuk dan penuntun jalannya. Terbersit keinginan untuk mencari jalan lain dan memulai lagi segalanya dari awal, namun tergambar rintangan serupa yang akan menghadang. Di saat mencoba bertahan merasakan kepahitan ini, sementara musuh terus mematahkan satu per satu hujjah yang kita miliki. Di saat kepenatan menginginkan diri ini untuk berhenti dari jalan ini, namun musuh terus memaksa agar kita tetap menjadi bagian dari rangkaian cerita yang mereka buat ini, agar cerita indah ini tidak terlalu singkat untuk dinikmati.

Menghadapi sebuah ujian yang tengah menimpa tak semudah memandang kembali ujian yang telah berlalu. Andai kita kembali berada di tengah-tengah para pemanah Uhud, dengan mudah kita berandai-andai menjadi diri yang paling loyal, tetapi manakala ujian serupa tentang loyalitas menghampiri kita dalam bentuk yang belum terbayangkan sebelumnya, benar-benar menimbulkan keraguan. Andai kita kembali berada di tengah peristiwa ifki, dengan mudah kita berandai-andai menjadi diri yang paling tsiqoh di antara kebohongan yang menerpa, tetapi manakala ujian serupa datang dalam bentuk kita, kegamangan tetap menimpa diri.

Manakala menghadapi ujian pada tingkat berikutnya, beratnya ujian sebelumnya seolah tiada berarti. Tapi bukan berarti semua itu bisa menepis kegelisahan tentang ujian yang sedang dihadapi, apalagi kegelisahan tentang hasil akhirnya. Terbersit kekhawatiran tentang semakin banyaknya diri yang berguguran, apalagi cita yang ingin diraih bukan tujuan-tujuan rendah mudah dipetik.

Kadang kala timbul kekhawatiran bahwa kesungguhan dan keteguhan tidaklah memadai lagi untuk menyelesaikan ujian kali ini, hingga ada pertanyaan apakah upaya menghalalkan segala cara dan menebar kebohongan harus diikutsertakan dalam menghadapi ujian ini, sementara kita tidak memiliki bakat yang cukup untuk memainkan apiknya sebuah permainan kedzaliman. Di antara beratnya perjalanan ini, begitu beratnya menjaga diri agar tak tergiur untuk singgah di tujuan-tujuan rendah.

Tetapi bukankah kebanyakan kesatria tidak lahir dengan mewarisi berbagai kemudahan, namun kebanyakan kesatria lahir dengan mewarisi persoalan yang seolah tiada memiliki jawaban atau misi yang seolah tak mungkin terwujudkan. Tidakkah kita ingin menjadikan ujian ini sebagai penutup lobang-lobang keteledoran, pengurai simpul-simpul kemalasan, mencegah diri-diri ini terlalu tergesa untuk menjadi tempat disematkannya sebuah prestasi kemenangan, sementara belum pernah merasakan pahitnya sebuah penindasan, belum pernah menyuguhkan manisnya doa yang mengiringi berbagai kedzaliman.

Hingga keterpurukan ini semoga menjadi pengikis kesombongan atas kemampuan yang kita miliki, menambah ketundukan dan kepasrahan kita kepada-Nya. Kepedihan ini semoga mengikis ego dan keangkuhan kita, menanamkan rasa kesetiakawanan yang sempat terkubur oleh keberhasilan yang selalu kita banggakan. Betapa pun kita menillai kehebatan diri, namun tak berarti apa-apa di hadapanNya. Jika selama ini kita tidak pernah mempersiapkan diri untuk mengakui sebuah kesalahan, terlalu sedikit petunjuk jalan yang bisa diambil orang-orang di belakang kita. Di antara ketidakberdayaan ini, bukankah kita memiliki apa yang tidak mungkin dimiliki para musuh, sebuah ketulusan dan pengharapan kepada-Nya.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization