Topic
Home / Berita / Opini / Krisis Listik Mengancam Jalur Gaza

Krisis Listik Mengancam Jalur Gaza

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Anak-anak Gaza belajar malam tanpa listrik. (republika.co.id)

dakwatuna.com – Jalur Gaza merupakan salah satu wilayah Palestina yang dikenal dunia karena diserang oleh penjajah zionis berkali-kali. Dulu, Ia merupakan tempat lahir salah satu ulama mazhab dunia, yaitu Imam Syafi’i. Ia merupakan lalu lintas perdagangan darat antara Syam dan Mesir. Ia membuat yahudi tidak betah untuk tinggal di atas tanahnya sehingga mereka harus lari menginggalkannya pada tahun 2005.

Kini, Jalur Gaza dihuni oleh dua juta orang lebih (pertanggal, 12/10/2016) dengan luas hanya 360 km². Wilayahnya dikelilingi oleh kawat pembatas. Orang yang berada di dalamnya tidak bebas keluar dan orang yang berada di luar Gaza tidak bebas masuk. Ada 6 pintu perbatasan, empat diantaranya dikuasai oleh penjajah zionis dan dua sisanya berbatasan dengan Mesir.

Selain blokade, Gaza juga diserang terus menerus. Tiga kali terjadi serangan besar-besaran atas wilayah Gaza (tahun 2008-2009, 2012 dan 2014). Bukan hanya rakyat sipil yang menjadi korban, tapi juga pelayanan umum mendapatkan dampaknya. Salah satu fasilitas umum yang terkena dampak adalah pelayanan listrik.

Listrik merupakan daya atau kekuatan yang ditimbulkan oleh adanya pergesekan atau melalui proses kimia, dapat digunakan untuk menghasilkan panas atau cahaya, atau untuk menjalankan mesin. Di dalam kehidupan modern, manusia tidak akan bisa lepas dari listrik. Hal ini terjadi, karena hampir semua kebutuhan manusia yang berkaitan dengan peralatan elektronik menggunakan listrik sebagai energinya. Misalnya pelayanan rumah sakit, sekolah, penerangan jalan, telepon genggam, kendaraan bermotor, dll.

Untuk mendapatkan listrik, dibutuhkan sumber energi listrik. Sumber energi yang besar bisa didapat melalui pembangkit listrik. Jalur Gaza sebagai salah satu bagian dari Palestina, hanya memiliki satu pembangkit listrik yang terletak di daerah Nuseirat. Itu pun pernah dibombardir pasukan Israel pada perang lalu.

Krisis listrik di Jalur Gaza bukanlah yang pertama kali di tahun ini. Hal tersebut sudah terjadi sejak dimulainya blokade terhadap Gaza pada Juni 2006. Tapi kini krisis listrik di Gaza dipakai sebagai senjata oleh pihak Otoritas Palestina, agar Gaza tunduk pada pemerintahan Ramallah. Caranya, Otoritas Palestina menaikkan pajak bahan bakar sehingga Otoritas Pembangkit Listrik di Gaza tidak mampu membeli lebih banyak lagi bahan bakar.

Pada bulan Januari lalu, terjadi demonstrasi di Gaza karena kurangnya pasokan listrik. Turki dan Qatar sepakat untuk membantu pasokan bahan bakar untuk pembangkit listrik selama tiga bulan, cukup untuk listrik 6-12 jam sehari. Pasokan tersebut habis pada pekan kedua bulan April, yang memaksa warga Gaza mempersiapkan diri dengan listrik yang lebih sedikit lagi. Gaza hanya mengandalkan pasokan listrik yang diimpor dari Israel dan Mesir, walaupun hanya memenuhi kurang dari sepertiga permintaan.

Juru bicara Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan bahwa pihaknya akan membatalkan 200-250 tindakan operasi per hari karena pemadaman listrik. Salah seorang warga Gaza Tengah telah mengganti tiga kulkas dan empat mesin cuci selama sepuluh tahun akibat dari seringnya pemadaman listrik. Deputi Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Robert Piper, mengatakan bahwa PBB telah memperingatkan selama beberapa tahun bahwa masalah kronis di Gaza terakumulasi, dimana kondisi Gaza menjadi ‘tidak dapat dipercaya’.

Itulah yang terjadi di Jalur Gaza kini. Sumber energi yang harusnya milik rakyat itu dijadikan permainan politik penguasa. Tentu yang menjadi korban adalah rakyat yang tidak berdosa. Dunia pun hanya menonton ‘kegelapan’ yang terjadi di Gaza. (msy)

Redaktur: Muh. Syarief

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir pada bulan Mei 1982 di Jakarta. Alumni Al-Azhar Mesir pada tahun 2003. Pernah mengikuti pelatihan fatwa intensif selama tiga tahun di Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta� al-Mishriyyah) hingga tahun 2010. Sekarang diamanahkan sebagai Sekretaris Umum Asia Pacific Community for Palestine (ASPAC For PALESTINE).

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization