Topic
Home / Keluarga / Pendidikan Keluarga / Bercermin Pada Hajar: Sudahkah Kita Menaklukkan Ego Kita?

Bercermin Pada Hajar: Sudahkah Kita Menaklukkan Ego Kita?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: wordpress.com)
Ilustrasi. (Foto: wordpress.com)

Episode 1

dakwatuna.com – Wanita mulia itu tak bisa berbuat  apa-apa lagi setelah sang suami mengatakan bahwa apa yang ia lakukan atas perintah Allah. Hanya tawakal yang tersisa.  Bersama anaknya Ismail yang masih bayi, ia ditinggal di tempat di mana tidak orang lain menjadi tempat bertanya dan meminta pertolongan.  Allah-lah yang menjadi tempat ia berlindung dan  bergantungnya. Tidak ada tempat tinggal yang bisa jadikan untuk berteduh dari panasnya sengatan matahari. Tidak ada fasilitas hidup yang mendukungnya kecuali alam yang keras.

Sepi, lengang, gersang. Beralaskan pasir dan bebatuan. Beratapkan langit dalam sengatan matahari yang terik. Namun Hajar tak mengeluh. Tak sedikit pun keluar dari bibirnya penyesalan karena telah menikah dengan Ibrahim , yang akhirnya harus ditinggal di tempat yang asing hanya berteman sang bayi. Hanya keyakinan bahwa ini adalah perintah Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya. Ia kuat dan tegar menjalani ujian tersebut.

Tinggallah Hajar bersama bayinya sendiri tanpa siapa pun kecuali Allah. Sampai akhirnya air dan perbekalan makanan (kurma) yang disediakan Ibrahim telah habis. Air susunya pun telah kering. Hajar tidak tega melihat bayinya terus menangis kehausan. Hajar berjalan mencari air sampai ke bukit Shafa. Lalu berjalan lagi ke Marwa. Tak ia temukan juga air yang ia cari. Begitulah berulang-ulang sampai tujuh kali. Namun Allah Maha Melihat dan Maha Penyayang. Ikhtiar gigihnya mencari air akhirnya berbuah manis. Allah memerintahkan malaikat untuk menggali air di sekitar kaki mungil Ismail.

Episode 2

Anak kecil itu kebingungan mencari ibunya. Tangisnya pecah ketika tak ada seorang pun di sekelilingnya yang ia kenal. Anak yang berumur 3 tahun itu ditinggal ibunya seorang diri di pusat perbelanjaan.  Dengan alasan himpitan ekonomi, sang ibu tega meninggalkan buah hatinya sendiri.  Atas nama himpitan ekonomi pula, hampir tiap hari kita saksikan bayi-bayi yang tak berdosa  dibuang ibunya di tong sampah, di pinggir jalan, di depan pintu rumah orang. Hilang sudah naluri seorang ibu; penyayang, pengasih, dan pelindung dalam dirinya. Dari data Kementerian Sosial, sampai tahun 2015 terdapat sekitar 4,1 juta anak terlantar di Indonesia.

Atas nama “mengejar kesejahteraan” pula, banyak ibu rela menitipkan  anak bayinya kepada sang nenek. Ibu yang sudah tua renta yang harusnya kita jaga dan kita rawat, malah kita repotkan untuk merawat cucunya yang ditinggal ibunya mengejar kepuasan dunia.

Harusnya kita malu pada Hajar. Ia mampu meninggalkan keegoannya demi anaknya. Mungkin jika menuruti keegoannya, mendengar Ismail terus menangis, ia akan kesal dan meninggalkan anak tersebut sendiri.

Seorang ibu senantiasa mendahului kepentingan anak-anaknya daripada kepentingan dirinya sendiri. Hormon cinta ibu akan mendorong seorang wanita untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, tidak egois, dan senantiasa bersedia mengorbankan segala sesuatunya demi kebahagiaan buah hatinya.

Hajar berjuang keras mencari air agar ia bisa meminumnya sehingga asi susunya (ASI-nya) terisi kembali dan Ismail tidak kehausan lagi. Lalu bagaimana dengan ibu-ibu saat ini? Hari ini kita saksikan masih banyak  ibu yang enggan menyusui anaknya dengan ASI. Memilih susu formula yang mudah dan instan. Padahal  Air susu ibu (ASI) merupakan gizi terbaik untuk bayi. Terutama untuk kekebalan tubuh bayi, sehingga terhindar dari berbagai penyakit. Sayangnya, tak semua ibu mau menyusui bayinya. Alasan para wanita memilih berhenti memberikan ASI berkaitan dengan banyak hal. Seperti, rasa sakit saat menyusui, volume susu rendah, kembali bekerja, khawatir bentuk payudara rusak.

Harusnya kita malu pada Hajar. Di saat kita hidup dengan berbagai kemudahan, kita masih terus mengeluh. Fasilitas hidup kita sudah sangat lengkap Allah berikan, namun tetap saja tak muncul rasa syukur pada bibir dan sikap kita. Masih kurang inilah, masih kurang itulah. Belum punya inilah, belum punya itulah. Nafsu keserakahan telah menguasai hati dan pikiran kita.  (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ibu rumah tangga dengan empat orang anak. Lulusan Fakultas Sastra UI.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization